Oleh: mbahnur | 23 Februari 2010

PENGUMUMAN UJIAN

DIUMUMKAN KEPADA SEMUA MAHASISWA S2 UNMUH SURABAYA BAHWA UJIAN AKHIR SEMESTER DILAKSANAKAN PADA TANGGAL 27 PEBRUARI 2010

Oleh: mbahnur | 22 Februari 2010

Bagaimana Cara menguatkan Status Semantik

Bagaimana Cara menguatkan Status Semantik

Mengumpulkan ciri dasar bhs yg disepakati linguis bhw ciri dasar itu hrs dijelaskan dlm semantik.
1) Semua bhs bergantung pd kata-kata dan kalimat-kalimat yg bermakna (setiap kata atau kaimat diasosiasikan dg sedikitnya satu makna).
2) Makna Kata-kata dan kalimat-kalimat itu berkaitan dengan makna kata-kata dan kalimat-kalimat yg lain. Keterkaitan antarmakna memunculkan hubungan makna: sinonim, kontradiksi, pelibatan (implikasi), hiponim, dll.

Syarat Teori Semantik

1) utk bhs apa saja (mampu menangkap hakikat makna kata dan makna kalimat, dan mampu menjelaskan hakikat hubungan yg terdapat di antaranya
2) mampu meramalkan ketaksaan bentuk bhs, baik pd tingkat kata maupun kalimat
3) Mampu menjelaskan hubungan sistematik (sinonim, pelibatan, dll.) antara kata-kata dan kalimat-kalimat suatu bhs

Oleh: mbahnur | 22 Februari 2010

PARADIGMA DUNIA PENDIDIKAN

PARADIGMA DALAM DUNIA PENDIDIKAN
CATALYSTS TEACHING FOR
OLEH : LENA, S. Pd.

Pascasarjana Bhs Indonesia UNMUH SURABABAYA

Membicarakan Pendidikan melibatkan banyak hal yang harus direnungkaan.Sebab, Pendidikan meliputi keseluruhan tingkah laku manusia yang dilakukan demi memperoleh kesinambungan, pertahanan dan peningkatan kehidupan.Sehingga Keseluruhan tingkah laku tersebut membentuk keutuhan Manusia berbudi luhur.karena itu apa yang dimaksudkan dengan pendidikan tidak terbatas hanya kepada pengajaran.Pendidikan hendaknya berkisar antara dua dimensi hidup yaitu penanaman rasa tagwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Pengembangan rasa kemanusiaan kepada sesama.Manusia Indonesia seutuhnya perlu memiliki keunggulan dan ketangguhan untuk dapat bersaing diabad millennium ini.keterbukaan dan persaingan di berbagai bidang akan semakin meningkat.Agar bangsa Indonesia dapat bersaing dengan bangsa-bangsa lain didunia, maka diperlukan watak dan karakter bangsa yang unggul, tangguh memiliki nasionalisme yang tinggi.
Pembangunan merupakan proses yang berkesinambungan yang mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat, termasuk aspek social, ekonomi, politik dan cultural, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan warga bangsa secara keseluruhan dalam proses pembangunan peranan pendidikan amatlah strategis. Perlu kita tahu bahwa peran pendidikan diantaranya adalah memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai social budaya, mempersiapkan tenaga kerja untuk memerangi kebodohan, kemiskinan, dan mendorong perubahan sosial. Peran yang pertama merupakan fungsi politik pendidikan dan dua fungsi yang lain merupakan fungsi peran ekonomi.berkaitan dengan peranan pendidikan dalam pembangunan nasional muncul dua paradigm pendidikan yang menjadi kiblat bagi pengambil kebijakan dalam pengembangan kebijakan pendidikan: Paradigma Fungsional dan paradigma sosialisasi.Paradigma Fungsional melihat bahwa keterbelakangan dan kemiskinan dikarenakan masyarakat indonesis tidak memiliki cukup penduduk yang memilki pengetahuan, kemampuan dan sikap modern.karena pada umumnya lembaga pendidikan pendidikan formal system persekolahan merupakan lembaga utama mengembangkan pengetahuan melatih kemampuan dan keahlian dan menanamkan sikap modern para individu yang diperlukan dalam proses pembangunan. Bukti-bukti menunjukkan kaitan yng erat antara pendidikan formal seseorang dan partisipasinya dalam pembangunan. Kelompok pendidik yang menganut sistim cataliysts teacher for bertujuan memberikan kontribusi yang lebih untuk pembangunan bangsa Indonesia secara utuh .
Terkait dengan hal diatas kalau kita melihat dengan seksama apakah kelompok cataliysts teacher for cataliysts teacher for mampu memberikan dua peran yang dihasilkan oleh anak didik dengan mengikuti program kurikulum pendidikan yang telah diputuskan secara sentralisasi. pendidikan formal hanya memiliki kurang lebih seperempat dari waktu yang ada yang rata rata masuk jam 7 sampai jam 12 jadi apabila 1 mapel kemudian langsung praktek dan rata rata 1 jam mapel itu 45 menit maka waktu tersebut untuk pelaksanaan praktek membutuhkan watu sangatlah kurang dan tidak memungkinkan siswa bisa menguasai contens untuk tiap mata pelajaran lainnya dikarenakan waktu habis untuk pelaksanaan praktek . sementara kelompok ini mengharapkan siswa memiliki ilmu dan skill yang bertujuan lulusannya mampu memberikan sumbangsih untuk tujuan pembangunan nasional. Waktu yang terbatas inilah yang menjadikan kendala kelompok cataliysts teaching for untuk pencapain yang lebih optimal. Oleh karena itu muncullah paradigma baru dalam dunia pendidikan yaitu keberhasilan suatu pendidikan bukan hanya menjadi tanggung jawab sekolah namun orang tua juga menjadi penentu dalam keberhasilan dalam dunia pendidikan hal ini dikarenakan waktu lebih banyak di lingkungan rumah dari pada disekolah. Kemudian pemerintah membentuk organisasi-organisasi untuk menunjang keberhasilan pendidikan diantaranya paguyuban kelas ,komite sekolah,Dewan pendidikan dll.
Paguyuban kelas ini merupakan peran penting dalam menunjang keberhasilan dalam dunia pendidikan. Karena paguyuban kelas ini mampu menampung aspirasi tiap kelas dan hal-hal lain yang di butuhkan siswa untuk menungkatkan prestasi dalam proses belajar mengajar . yang kemudian disampaikan ke komite sekolah yang beranggotakan : tokoh Masyarakat , guru dan orang Tua dan Murid.Dasar hokum komite sekolah ini pertama kalinya adalah undang-undang nomor 25 tahun 2000 tentang program pendidikan nasional ( Propenas)kemudian tiap satuan pendidikan membentuk anggota komite sekolah disemua satuan pendidikan dasar dan menengah. Adapun peran komite sekolah diantaranya
(1)pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan ditingkat satuan pendidikan
(2)Pendukung (Supporting agency) baik yang berwujud financial, pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan ditingkat satuan pendidikan.
(3)pengontrol (Controlling agency) dalam rangka transparasi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan disatuan pendidikan.
(4)Mediator antara pemerintah(eksekutif)dengan masyarakat disatuan pendidikan.
Mediator antar sekolah dengan keluarga dan masyarakat. Empat peran diatas akan mampu meningkatkan mutu layanan pendidikan dan sekaligus peningkatan mutu pendidikan.adapun fungsi komite sekolah antara lain :
1. Mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
2. Melakukan kerjasama dengan masyarakat dan pemerintah berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu
3. Menampung dan menganalisis, ide, tuntutan dan berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat.

Dengan melihat fakta yang ada dalam masyarakat tentunya kita semua harus bijak dalam menghadapi dilematika dalam dunia pendidikan. Mulailah merubah diri( guru) dalam melakukan proses belajar mengajar liatlah pada kenyataan yang ada untuk sekarang dan kedepan.cam kan dalam setiap pendidik apa dari tujuan pembangunan nasional karena anak-anak didik inilah penerus keberhasilan bangsa ini.

PARADIGMA DALAM DUNIA PENDIDIKAN
COSUALTIES TEACHING DESPITE
OLEH : LENA, S. Pd.
Pascasarjana Bhs Indonesia UNMUH SURABABAYA

Masih terngiang dibenak kita ketika menapaki jenjang demimjenjang pendidikan mulai tingkat pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Untuk masuk gerbang SMP kita dihadapkan pada aturan pusat bahwa masuk smp menggunakan Nila ujian Nasional ( NEM ) sebagai syarat untuk memasuki jenjang SMP, Begitupun Ketika kita llulus SMP pada tahun 1985 pertama kali diberlakukannya system Nilai Ujian murni sebagai syarat satu-satunya memasuki bangku SMA . tentu saja dengan nilai ujian yang bagus para calon tidak perlu lagi melaksanakan tes masuk.pada saat iitu banya anak didik yang merasa kebingungan terutama bagi mereka yang memiliki jumlah nilai ujian yang rendah. Mereka ini yakin tidak akan diterima dimana-mana.
Diawal tahun pelajaran baru , kita semua tahu kemanakah para orang tua dan siswa beerbondong-bondong mendaftarlkan sekolahnya? Bahkan sebelum pendaftaran dimulai mereka sudah menerobos gerbang sekolah hanya sekedar untuk mengetahui kapan pendaftaran sekolah tersebut dibuka,hari pertama dibuka ruang pendaftaran sudah sesak dengan calon calon siswa ataupun mahasiswa yang baru.alasan apa yang sebeNarnya mendasari mereka mendaftar di sekolah tersebut? Itulah yang menjadi pertanyaan saya , begitu saya Tanya jawaban mereka “
“Sekolah tersebut menjadi juara 1 nem terbaik sejawa timur”sekilas mendengar alasan tersebut alasan yang logis. Dan kita tidak bisa memungkiri bahwa sekolah ini jelas pilihan yang tepat .pemerintah pun memberi label sekolah yang memiliki nilai tes atau nem yang baiklah yang dianggap sukses dan bermutu dalam dunia pendidikan.tentunya sekolah yang bermutu tinggi ini akan mudah mendapatkan dana atau uang yang lebih besar baik dari siswa karena memiliki siswa yang banyak dan pemerintah pun tak segan segan memberi bantuan karena dianggap telah mensukseksan program pendidikan yang sejak lama di atur secara desentralisasi .dunia pendidikan kelompok COSUALTIES TEACHING DESPITE inilah yang akan terus hidup. Karena secara umum kelompok inilah yang memiliki predikat sekolah bermutu.
Tidak bisa disalahkan jika muncullah sekolah-sekolah yang hanya mengutamakan contenKenyataan yang terjadi dalam masyarakat bahwa sekolah kelompok casualties teaching despote yaitu sekolah yang hanya mengutamakan keberhasilan konten atau ilmunya saja, yang paling banyak diminati oleh pemerintah dan orang Tua mereka beranggapan bahwa sekolah inilah yang berhasil dalam dunia pendidikan .orang tua banyak yang mendaftarkan anaknya ke sekolah agar nantinya memiliki nilai atau nem terbaik.
Inilah kelebihan dari sekolah ini mereka akan memiliki siswa yang banyak bahkan sampai menolak pendaftar karena alasan nem yang rendah. Orang tua tidak pernah melihat apakah lulusan dari kelompok casualties teaching despote ini lulusannya mampu mengaplikasikan ilmu yang telah di dapat dan bisa memberi kontribusi untuk tujuan pembangunan nasional atau tidak yang terpenting secara formal mereka telah melaksanakan pendidikan secara formal dan mendapat pengakuan dengan nilai atau nem yang sesuai dengan standart kelulusan yg telah ditentukan oleh pemerintah pusat.
Ada keprihatinan yang perlu ditanggapi dan direspon secara serius di negeri kita berkenaan dengan pendidikan.Tampaknya pendidikan belum dianggap salah satu faktor pokok penyebab terpuruknya bangsa ini . Terbukti bahwa tudingan-tudingan sebagian pengamat, dan politisi hanya diarahkan pada ekonomi dan politik.pendidikan seolah bukan pokok penyebab nyaris ambruknya negeri ini.Realitas ini menunjukkan kapasitas dan wawasan bangsa ini masih belum bisa berpikir jauh kedepan. Dan pelaku pelaku yang hanya memgutamakan ilmunya.
Seperti ada tembok pemisah antara dunia pendidikan dan dunia kerja mungkin saja seperti tembok berlin di jerman salah satu tembok yang kuat dan kokoh. Dengan adanya tembok pemisah tersebut menjadikan adanya kesenjangan antara kedua dunia tersebut. Akibatnya hubungan antara dunuia pendidikan dan dunia kerja tidak harmonis.dunia pendidikan penganut casualties teaching despote ini tak menyadari bahwa kemajuan yang terjadi di dunia kerja tidak bisa disadap oleh dunia pendidikan.Akibatnya, apa yang dihasilkan dunia pendidikan tidak cocok dengan kebutuhan dunia kerja .dan adanya pengangguran bersamaan kekurangan tenaga kerja didunia kerja tidak bisa lagi di elakkan.
Penghilangan tembok pemisah antara dunia kerja dan dunia pendidikan atau deberlinisasi ini sangat diperlukan untuk melengkapi desentralisasi.sebab desentralisasi ini sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan dalam aarti meningkatkan penguasaan pelajaran, tetapi bukan meningkatkan kemampuan bekerja.

Ada keprihatinan yang perlu ditanggapi dan direspon secara serius di negeri kita berkenaan dengan pendidikan.Tampaknya pendidikan belum dianggap salah satu faktor pokok penyebab terpuruknya bangsa ini . Terbukti bahwa tudingan-tudingan sebagian pengamat, dan politisi hanya diarahkan pada ekonomi dan politik.pendidikan seolah bukan pokok penyebab nyaris ambruknya negeri ini.Realitas ini menunjukkan kapasitas dan wawasan bangsa ini masih belum bisa berpikir jauh kedepan. Dan pelaku pelaku yang hanya memgutamakan ilmunya.

PARADIGMA DALAM DUNIA PENDIDIKAN
CAUNTERPAINTS TEACHING BEYOND
OLEH : LENA, S. Pd.
Pascasarjana Bhs Indonesia UNMUH SURABABAYA

Pembangunan merupakan proses yang berkesinambungan yang mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat, termasuk aspek sosial, ekonomi, politik dan budaya. Dengan tujuan utama meningkatkankesejahteraan warga bangsa secara keseluruhan.adapun peran pendidikan diantaranya :
1. Memasyarakatkan ideology dan nilai-nilai sosial budaya
2. Mempersiapkan tenaga kerja untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, dan mendorong perubahan sosial.
3. Untuk memeratakan kesempatan dan pendapatan.

Kalau kita amati secara seksama bahwa pendidikan formal sistim persekolahan merupakan lembaga utama mengembangkan pengetahuan, melatih kemampuan dan keahlian, dan menanamkan sikap modern para individu yang diperlukan dalam proses pembangunan. Bukti-bukti menunjukkan adanya kaitan yang erat antara

Persoalan yang kini dihadapi oleh banyak Negara, termasuk Indonesia, adalah bagaimana meningkatkan kwalitas pendidikan .Kualitas pendidikan umumnya dikaitkan dengan tinggi rendahnya prestasi yang ditunjukkan dengan kemampuan siswa mencapai score dalam tes dan kemampuan lulusan mendapatkan dan melaksanakan pekerjaan.kualitas pendidikan ini dianggap penting karena sangat menentukan gerak laju pembangunan dinegara manapun juga. Oleh karenanya hampir semua Negara di dunia menghadapi tantangan untuk melaksanakan pembaharuan pendidikan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan

Penghilangan tembok pemisah antara dunia kerja dan dunia pendidikan atau deberlinisasi ini sangat diperlukan untuk melengkapi desentralisasi.sebab desentralisasi ini sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan dalam aarti meningkatkan penguasaan pelajaran, tetapi bukan meningkatkan kemampuan bekerja.

.

Oleh: mbahnur | 17 Februari 2010

SAVI

PENDEKATAN SAVI

Anak kecil adalah pembelajar yang hebat karena mereka menggunakan seluruh tubuh dan semua indra untuk belajar. Dapatkah kita membayangkan seorang anak kecil mempelajari sesuatu sambil duduk diruang kelas untuk jangka waktu yang lama. Belajar beerdasarkan aktifitas berarti bergerak aktif secara fisik ketika belajar, dengan memanfaatkan indra sebanyak mungkin dan membuat seluruh tubuh/ pikiran terlibat dalam proses pembelajaran. (Dave Meier, 2005) .
Pembelajaran tidak otomatis meningkat dengan menyuruh anak berdiri dan bergerak. Akan tetapi menggabungkan gerak fisik dengan aktivitas intelektual dan pengunaan semua indra dapat berpengaruh besar terhadap pembelajaran. Pendekatan belajar seperti tersebut dinamakan dengan pendekatan SAVI. Unsur-unsurnya mudah di ingat, yaitu:
1. Somatis : Belajar dengan bergerak dan berbuat
2. Auditori : Belajar dengan berbicara dan mendengar
3. Visual : Belajar dengan mengamati dan menggambarkan
4. Intelektual : Belajar dengan memecahakan masalah dan merenung

Penelitian dr. Vernon magnesen, dari Universitas Texas tentang ingatan, memberikan gambaran yang dapat diilustrasikan sebagai berikut :

Bobbi De Porter, dkk, 2005, dalam bukunya Quantum Learning, mengemukakan tiga (3) modalitas belajar yang dimiliki seseorang. Ketiga modalitas tersebut adalah modalitas visual, modalitas auditoral, dan modalitas kinistetik (somatis). Pelajar visual belajar melalui apa yang mereka lihat, pelajar auditorial melakukan melalui apa yang mereka dengar, dan pelajaran kinestetik belajar lewat gerak dan sentuhan.
Beberapa ciri-ciri yang mencerminkan gaya belajar tersebut adalah:
a. Belajar visual senang menggambar diagram, gambar, dan grafik, serta menonton film. Mereka juga suka membaca kata tertulis, buku, poster berslogan, bahan belajar berupa teks tertulis yang jelas.
b. Pembelajaran auditori dengan mendengar informasi baru melalui penjelasan lisan, komentar dan kaset. Mereka senang membaca teks kunci dan merekamnya di kaset
c. Pembelajaran fisik (somatis) senang pembelajaran praktik supaya bisa langsung mencoba sendiri. Mereka suka berbuat saat belajar, misalnya: menggaris bawahi,mencorat-coret, menggambarkan, (Colin Rose, 2003)

Dave Meier, 2005 , menambahkan satu lagi gaya belajar intelektual. Gaya belajar intelektual bercirikan sebagai pemikir. Pembelajar menggunakan kecerdasan untuk merenungkan suatu pengalaman dan menciptakan hubungan, makna, rencana, dan nilai dari pengalaman tersebut. “ Intelektual” adalah bagian diri yang merenung, mencipta, memecahkan masalah, dan membangun makna. Itulah sarana yang digunakan pikiran untuk mengubah pengalaman menjadi pengetahuan, pengetahuan menjadi pemahaman, dan pemahaman menjadi kearifan.

Dibawah ini adalah beberapa contoh bagaimana membuat aktifitas sesuai dengan cara belajar/ gaya belajar siswa:

Gaya belajar
Aktifitas

Somatis
Orang dapat bergerak ketika mereka:

1. Membuat model dalam suatu proses atau prosedur

2. Menciptakan piktogram dan periferalnya

3. Memeragakan suatu proses, sistem, atau seperangkat konsep

4. Mendapatkan pengalaman lalu menceritakannya dan merefleksikannya

5. Menjalankan pelatihan belajar aktif (simulasi, permainan belajar dan lain-lain)

6. Melakukan kajian lapangan. Lalu tulis, gambar, dan bicarakan tentang apa yang dipelajari.

Auditori
Berikut ini gagasan-gagasan awal untuk meningkatkan sarana auditori dalam belajar

1. Ajaklah pembelajar membaca keras-keras dari buku panduan dan komputer

2. Ceritakanlah kisah-kisah yang mengandung materi pembelajaran yang terkandung didalam buku pembelajaran yang dibaca mereka

3. Mintalah pembelajar berpasang-pasangan menbincangkan secara terperinci apa yang mereka baru saja mereka pelajari dan bagaimana mereka akan menerapkanya

4. Mintalah pembelajar mempraktikkan suatu ketrampilan atau memperagakan suatu fungsi sambil mengucapkan secara singkat dan terperinci apa yang sedang mereka kerjakan

5. Mintalah pembelajar berkelompok dan bicara non stop saat sedang menyusun pemecahan masalah atau membuat rencana jangka panjang

Visual
Hal-hal yang dapat dilakukan agar pembelajaran lebih visual adalah:

1. Bahasa yang penuh gambar (metafora, analogi)

2. Grafik presentasi yang hidup

3. Benda 3 dimensi

4. Bahasa tubuh yang dramatis

5. Cerita yang hidup

6. Kreasi piktrogram (oleh pembelajar)

7. Pengamatan lapangan

8. Dekorasi berwarna-warni

9. Ikon alat bantu kerja

Intelektual
Aspek intelektual dalam belajar akan terlatih jika kita mengajak pembelajaran tersebut dalam aktivitas seperti:

1. Memecahkan masalah

2. Menganalisis pengalaman

3. Mengerjakan perencanaan strategis

4. Memilih gagasan kreatif

5. Mencari dan menyaring informasi

6. Merumuskan pertanyaan

7. Menerapkan gagasan baru pada pekerjaan

8. Menciptakan makna pribadi

9. Meramalkan inplikasi suatu gagasan

Belajar bisa optimal jika keempat unsur SAVI ada dalam suatu peristiwa pembelajaran. Pembelajar dapat meningkatkan kemampuan mereka memecahkan masalah (Intelektual) jika mereka secara simultan menggerakan sesuatu (Somatis) untuk menghasilkan piktogram atau pajangan tiga dimensi (Visual) sambil membicarakan apa yang sedang mereka kerjakan (Auditori). Menggabungkan keempat modalitas belajar dalam satu peristiwa pembelajaran adalah inti dari Pembelajaran Multi Indriawi.

Model Pembelajaran SAVI

April 22, 2009 oleh Herdian,S.Pd.

MODEL PEMBELAJARAN SAVI

A. Landasan Teori

SAVI singkatan dari Somatic, Auditori, Visual dan Intektual. Teori yang mendukung pembelajaran SAVI adalah Accelerated Learning, teori otak kanan/kiri; teori otak triune; pilihan modalitas (visual, auditorial dan kinestetik); teori kecerdasan ganda; pendidikan (holistic) menyeluruh; belajar berdasarkan pengelaman; belajar dengan symbol. Pembelajaran SAVI menganut aliran ilmu kognitif modern yang menyatakan belajar yang paling baik adalah melibatkan emosi, seluruh tubuh, semua indera, dan segenap kedalaman serta keluasan pribadi, menghormati gaya belajar individu lain dengan menyadari bahwa orang belajar dengan cara-cara yang berbeda. Mengkaitkan sesuatu dengan hakikat realitas yang nonlinear, nonmekanis, kreatif dan hidup.

B. Prinsip Dasar

Dikarenakan pembelajaran SAVI sejalan dengan gerakan Accelerated Learning (AL), maka prinsipnya juga sejalan dengan AL yaitu:

1) pembelajaran melibatkan seluruh pikiran dan tubuh

2) pembelajaran berarti berkreasi bukan mengkonsumsi.

3) kerjasama membantu proses pembelajaran

4) pembelajaran berlangsung pada benyak tingkatan secara simultan

5) belajar berasal dari mengerjakan pekerjaan itu sendiri dengan umpan balik.

6) emosi positif sangat membantu pembelajaran.

7) otak-citra menyerap informasi secara langsung dan otomatis.

C. Karakteristik

Sesuai dengan singkatan dari SAVI sendiri yaitu Somatic, Auditori, Visual dan Intektual, maka karakteristiknya ada empat bagian yaitu:

1) Somatic

”Somatic” berasal dari bahasa yunani yaitu tubuh – soma. Jika dikaitkan dengan belajar maka dapat diartikan belajar dengan bergerak dan berbuat. Sehingga pembelajaran somatic adalah pembelajaran yang memanfaatkan dan melibatkan tubuh (indera peraba, kinestetik, melibatkan fisik dan menggerakkan tubuh sewaktu kegiatan pembelajaran berlangsung).

2) Auditori

Belajar dengan berbicara dan mendengar. Pikiran kita lebih kuat daripada uyang kita sadari, telinga kita terus menerus menangkap dan menyimpan informasi bahkan tanpa kita sadari. Ketika kita membuat suara sendiri dengan berbicara beberapa area penting di otak kita menjadi aktif. Hal ini dapat diartikan dalam pembelajaran siswa hendaknya mengajak siswa membicarakan apa yang sedang mereka pelajari, menerjemahkan pengalaman siswa dengan suara. Mengajak mereka berbicara saat memecahkan masalah, membuat model, mengumpulkan informasi, membuat rencana kerja, menguasai keterampilan, membuat tinjauan pengalaman belajar, atau menciptakan makna-maknan pribadi bagi diri mereka sendiri.

3) Visual

Belajar dengan mengamati dan menggambarkan. Dalam otak kita terdapat lebih banyak perangkat untuk memproses informasi visual daripada semua indera yang lain. Setiap siswa yang menggunakan visualnya lebih mudah belajar jika dapat melihat apa yang sedang dibicarakan seorang penceramah atau sebuah buku atau program computer. Secara khususnya pembelajar visual yang baik jika mereka dapat melihat contoh dari dunia nyata, diagram, peta gagasan, ikon dan sebagainya ketika belajar.

4) Intektual

Belajar dengan memecahkan masalah dan merenung. Tindakan pembelajar yang melakukan sesuatu dengan pikiran mereka secara internal ketika menggunakan kecerdasan untuk merenungkan suatu pengalaman dan menciptakan hubungan, makna, rencana, dan nilai dari pengalaman tersebut. Hal ini diperkuat dengan makna intelektual adalah bagian diri yang merenung, mencipta, dan memecahkan masalah.

D. Kerangka Perencanaan Pembelajaran SAVI

Pembelajaran SAVI dapat direncanakan dan kelompok dalam empat tahap:

1) Tahap persiapan (kegiatan pendahuluan)

Pada tahap ini guru membangkitkan minat siswa, memberikan perasaan positif mengenai pengalaman belajar yang akan datang, dan menempatkan mereka dalam situasi optimal untuk belajar.

Secara spesifik meliputi hal:

a) memberikan sugesi positif

b) memberikan pernyataan yang memberi manfaat kepada siswa

c) memberikan tujuan yang jelas dan bermakna

d) membangkitkan rasa ingin tahu

e) menciptakan lingkungan fisik yang positif.

f) menciptakan lingkungan emosional yang positif

g) menciptakan lingkungan sosial yang positif

h) menenangkan rasa takut

i) menyingkirkan hambatan-hambatan belajar

j) banyak bertanya dan mengemukakan berbagai masalah

k) merangsang rasa ingin tahu siswa

l) mengajak pembelajar terlibat penuh sejak awal.

2) Tahap Penyampaian (kegiatan inti)

Pada tahap ini guru hendaknya membantu siswa menemukan materi belajar yang baru dengan cara menari, menyenangkan, relevan, melibatkan pancaindera, dan cocok untuk semua gaya belajar.

Hal- hal yang dapat dilakukan guru:

a) uji coba kolaboratif dan berbagi pengetahuan

b) pengamatan fenomena dunia nyata

c) pelibatan seluruh otak, seluruh tubuh

d) presentasi interaktif

e) grafik dan sarana yang presentasi brwarna-warni

f) aneka macam cara untuk disesuaikan dengan seluruh gaya belajar

g) proyek belajar berdasar kemitraan dan berdasar tim

h) latihan menemukan (sendiri, berpasangan, berkelompok)

i) pengalaman belajar di dunia nyata yang kontekstual

j) pelatihan memecahkan masalah

3) Tahap Pelatihan (kegiatan inti)

Pada tahap ini guru hendaknya membantu siswa mengintegrasikan dan menyerap pengetahuan dan keterampilan baru dengan berbagai cara.

Secara spesifik, yang dilakukan guru yaitu:

a) aktivitas pemrosesan siswa

b) usaha aktif atau umpan balik atau renungan atau usaha kembali

c) simulasi dunia-nyata

d) permainan dalam belajar

e) pelatihan aksi pembelajaran

f) aktivitas pemecahan masalah

g) refleksi dan artikulasi individu

h) dialog berpasangan atau berkelompok

i) pengajaran dan tinjauan kolaboratif

j) aktivitas praktis membangun keterampilan

k) mengajar balik

4) Tahap penampilan hasil (kegiatan penutup)

Pada tahap ini guru hendaknya membantu siswa menerapkan dan memperluas pengetahuan atau keterampilan baru mereka pada pekerjaan sehingga hasil belajar akan melekat dan penampilan hasil akan terus meningkat.

Hal –hal yang dapat dilakukan adalah:

a) penerapan dunia nyata dalam waktu yang segera

b) penciptaan dan pelaksanaan rencana aksi

c) aktivitas penguatan penerapan

d) materi penguatan prsesi

e) pelatihan terus menerus

f) umpan balik dan evaluasi kinerja

g) aktivitas dukungan kawan

h) perubahan organisasi dan lingkungan yang mendukung.

Sumber Bacaan:

DePorter, Bobbi. 2005. Quantum Teaching: Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang Kelas. Editor, Mike Hernacki. Diterjemahkan oleh Ary Nilandari. Bandung: Kaifa.

Meier, Dave. 2005. The Accelerated Learning Handbooks: Panduan Kreatif dan Efektif Merancang Program Pendidikan dan Pelatihan. Diterjemahkan oleh Rahmani Astuti. Bandung: Kaifa.

Sugiyanto. 2008. Model-Model Pembelajaran Inovatif. Surakarta: Panitia Sertifikasi Guru Rayon 13.

Model Pembelajaran Quantum

April 29, 2009 oleh Herdian,S.Pd.

MODEL PEMBELAJARAN/ STRATEGI QUANTUM TEACHING

A. Landasan Teori

Quantum teaching pertamakali dikembangkan oleh De Porter. Mulai dipraktekkan pada tahun 1992, dengan mengilhami rumus yang terkenal dalam fisika kuantum yaitu masa kali kecepatan cahaya kuadrat sama dengan energi. Dengan rumus itulah mendefinisikan Quantum sebagai interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya. Pembelajaran Quantum bermakna interaksi-interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya karena semua energi adalah kehidupan dan dalam proses pembelajarannya mengandung keberagaman dan interdeterminisme. Dengan kata lain interaksi-interaksi yang dimaksud mengubah kemampuan dan bakat alamiah siswa menjadi cahaya yang akan bermanfaat bagi mereka sendiri dan bagi orang lain.

Teori yang terkandung dalam Quantum Teaching adalah Accelerated Learning, Multiple Intelligences, Neuro-Linguistic Programming, Experiential Learning, dan Elements of Effective Instruction sehingga Quantum Teahing merangkaikan sebuah kekuatan yang memadukan multisensori, multikecerdasan, dan kompatibel dengan otak yang didalamnya meramu konsep berbagai teori yaitu: 1) teori otak kanan/kiri; 2) teori otak triune (3 in 1); 3) pilihan modalitas (visual, auditorial dan kinestetik); 4) teori kecerdasan ganda; 5) pendidikan holistic (menyeluruh); 6) belajar berdasarkan pengelaman; 7) belajar dengan symbol, dan simulasi/permainan.

B. Karakteristik

Secara umum, Quantum Teaching (pembelajaran kuantum) mempunyai karakteristik sebagai berikut:

1) Berpangkal pada psikologi kognitif.

2) Bersifat humanistik, manusia selaku pembelajar menjadi pusat perhatian. Potensi diri, kemampuan pikiran, daya motivasi dan sebagainya dari pembelajar dapat berkembang secara optimal dengan meniadakan hukuman dan hadiah karena semua usaha yang dilakukan pembelajar dihargai. Kesalahan sebagai manusiawi.

3) Bersifat konstruktivistis, artinya memadukan, menyinergikan, dan mengolaborasikan faktor potensi diri manusia selaku pembelajar dengan lingkungan (fisik dan mental) sebagai konteks pembelajaran. Oleh karena itu, baik lingkungan maupun kemampuan pikiran atau potensi diri manusia harus diperlakukan sama dan memperoleh stimulant yang seimbang agar pembelajaran berhasil baik.

4) Memusatkan perhatian pada interaksi yang bermutu dan bermakna. Dalam proses pembelajaran dipandang sebagai penciptaan intekasi-interaksi bermutu dan bermakna yang dapat mengubah energi kemampuan pikiran yang dapat mengubah energi kemampuan pikiran dan bakat alamiah pembelajar menjadi cahaya yang bermanfaat bagi keberhasilan pembelajar.

5) Menekankan pada pemercepatan pembelajaran dengan taraf keberhasilan tinggi. Dalam prosesnya menyingkirkan hambatan dan halangan sehingga menimbulkan hal-hal yang seperti: suasana yang menyengkan, lingkungan yang nyaman, penataan tempat duduk yang rileks, dan lain-lain.

6) Menekankan kealamiahan dan kewajaran proses pembelajaran. Dengan kealamiahan dan kewajaran menimbulkan suasana nyaman, segar sehat, rileks, santai, dan menyenangkan serta tidak membosankan.

7) Menekankan kebermaknaan dan dan kebermutuan proses pembelajaran. Dengan kebermaknaan dan kebermutuan akan menghadirkan pengalaman yang dapat dimengerti dan berarti bagi pembelajar, terutama pengalaman perlu diakomodasi secara memadai.

Memiliki model yang memadukan konteks dan isi pembelajaran. Konteks pembelajaran meliputi suasana yang memberdayakan, landasan yang kukuh, lingkungan yang mendukung, dan rancangan yang dinamis. Sedangkan isi pembelajaran meliputi: penyajian yang prima, pemfasilitasan yang fleksibel, keterampilan belajar untuk belajar dan keterampilan hidup.

9) Menyeimbangkan keterampilan akademis, keterampilan hidup dan prestasi material.

10) Menanamkan nilai dan keyakinan yang positif dalam diri pembelajar. Ini mengandung arti bahwa suatu kesalahan tidak dianggapnya suatu kegagalan atau akhir dari segalanya. Dalam proses pembelajarannya dikembangkan nilai dan keyakinan bahwa hukuman dan hadiah tidak diperlukan karena setiap usaha harus diakui dan dihargai.

11) Mengutamakan keberagaman dan kebebasan sebagai kunci interaksi. Dalam prosesnya adanya pengakuan keragaman gaya belajar siswa dan pembelajar.

12) Mengintegrasikan totalitas tubuh dan pikiran dalam proses pembelajaran, sehinga pembelajaran bias berlangsung nyaman dan hasilnya lebih optimal.

C. Prinsip Dasar

Prinsip dasar yang terdapat dalam pembelajaran Quantum adalah:

1) Bawalah dunia mereka (siswa) ke dalam dunia kita (guru), dan antarkan dunia kita (guru ke dalam dunia mereka (siswa).

2) Proses pembelajaran bagaikan orkestra simfoni, yang secara spesifik dapat dijabarkan sebagai berikut:

a) Segalanya dari lingkungan. Hal ini mengandung arti baik lingkungan kelas/sekolah sampai bahasa tubuh guru; dari lembar kerja atau kertas kerja yang dibagikan anak sampa rencana pelakanaan pembelajaran, semuanya mencerminkan pembelajaran.

b) Segalanya bertujuan. Semua yang terjadi dalam proses pembelajaran mempunyai tujuan semuanya.

c) Pengalaman mendahului pemberian nama. Pembelajaran yang baik adalah jika siswa telah memperoleh informasi terlebih dahulu apa yang akan dipelajari sebelum memperoleh nama untuk apa yang mereka pelajari. Ini diilhami bahwa otak akan berkembang pesat jika adanya rangsangan yang kompleks selanjunya akan menggerakkan rasa keingintahuan.

d) Akuilah setiap usaha. Dalam proses pembelajaran siswa seharusnya dihargai dan diakui setiap usahanya walaupun salah, karena belajar diartikan sebagai usaha yang mengandung resiko untuk keluar dari kenyamanan untuk membongkar pengetahuan sebelumnya.

e) Jika layak dipelajari, maka layak pula dirayakan. Segala sesuatu yang telah dipelajari oleh siswa sudah pasti layak pula dirayakan keberhasilannya.

3) Pembelajaran harus berdampak bagi terbentuknya keunggulan. Ada depalapan kunci keunggulan dalam pembelajaran kuantum yaitu:

a) terapkan hidup dalam integritas, dalam pembelajaran sebagai bersikap apa adanya, tulus, dan menyeluruh, sehingga akan meningkatkan motivasi belajar.

b) akuilah kegagalan dapat membawa kesuksesan. Jika mengalami kegagalan janganlah membuat cemas terus menerus tetapi memberikan informasi kepada kita untuk belajar lebih lanjut.

c) berbicaralah dengan niat baik. Dalam pembelajaran hendaknya dikembangkan keterampilan berbicara dalam arti positif dan bertanggung jawab atas komunikasi yang jujur dan langsung. Dengan niat bicara yang baik akan mendorong rasa percaya diri dan motivasi.

d) tegaslah komitmen. Dalam pembelajaran baik guru maupun siswa harus mengikuti visi-misi tanpa ragu-ragu.

e) jadilah pemilik, mengandung arti bahwa siswa dan guru memiliki rasa tanggung jawab sehingga terjadi pembelajaran yang bermakna dan bermutu.

f) tetaplah lentur. Seorang guru terutama harus pandai-pandai mengubah lingkungan dan suasana bilamana diperlukan.

g) Pertahankan keseimbangan. Dalam pembelajaran, pertahankan jiwa, tubuh, emosi dan semangat dalam satu kesatuan dan kesejajaran agar proses dan hasil pembelajaran efektif dan optimal.

4) Kerangka Perencanaan Pembelajaran Quantum

Kerangka perencanaan pembelejaran kuantum dikenal dengan singkatan “TANDUR”, yaitu:

a) Tumbuhkan.

Konsep tumbuhkan ini sebagai konsep operasional dari prinsip “bawalah dunia mereka ke dunia kita”. Dengan usaha menyertakan siswa dalam pikiran dan emosinya, sehingga tercipta jalinan dan kepemilikan bersama atau kemampuan saling memahami.

Secara umum konsep tumbuhkan adalah sertakan diri mereka, pikat mereka, puaskan keingintahuan, buatlah siswa tertarik atau penasaraan tentang materi yang akan diajarkan. Dari hal tersebut tersirat, bahwa dalam pendahuluan (persiapan) pembelajaran dimulai guru seyogyanya menumbuhkan sikap positif dengan menciptakan lingkungan yang positif, lingkungan sosial (komunitas belajar), sarana belajar, serta tujuan yang jelas dan memberikan makna pada siswa, sehingga menimbulkan rasa ingin tahu.

Berikut pertanyaan-pertanyaan yang dapat dipakai sebagai acuan guru: hal apa yang siswa pahami? Apa yang siswa setujui? Apakah manfaat dan makna materi tersebut bagi siswa? Pada bagian apa siswa tertari/bermakna?

Stategi untuk melaksanakan TUMBUHKAN tidak harus dengan tanya jawab, menuliskan tujuan pembelajaran dipapan tulis, melainkan dapat pula dengan penyajian gambar/media yang menarik atau lucu, isu muthakir, atau cerita pendek tentang pengalaman seseorang.

b) Alami.

Tahap ini jika kita tulis pada rencana pelaksanaan pembelajaran terdapat pada kegiatan inti. Konsep ALAMI mengandung pengertian bahwa dalam pembelajaran guru harus memberi pengalaman dan manfaat terhadap pengetahuan yang dibangun siswa sehingga menimbulkan hasrat alami otak untuk menjelajah.

Pertanyaan yang memandu guru pada konsep alami adalah cara apa yang terbaik agar siswa memahami informasi? Permainan atau keinginan apa yang memanfaatkan pengetahuan yang sudah mereka miliki? Permainan dan kegiatan apa yang memfasilitasi siswa?

Strategi konsep ALAMI dapat menggunakan jembatan keledai, permainan atau simulasi dengan memberi tugas secara individu atau kelompok untuk mengaktifkan pengetahuan yang telah dimiliki.

c) Namai

Konsep ini berada pada kegiatan inti, yang NAMAI mengandung maksud bahwa penamaan memuaskan hasrat alami otak (membuat siswa penasaran, penuh pertanyaan mengenai pengalaman) untuk memberikan identitas, menguatkan dan mendefinisikan. Penamaan dalam hal ini adalah mengajarkan konsep, melatih keterampilan berpikir dan strategi belajar. Pertanyaan yang dapat memenadu guru dalam memahami konsep NAMAI yaitu perbedaan apa yang perlu dibuat dalam belajar? Apa yang harus guru tambahkan pada pengertian siswa? Strategi, kiat jitu, alat berpikir apa yang digunakan untuk siswa ketahui atau siswa gunakan?

Strategi implementasi konsep NAMAI dapat menggunakan gambar susunan gambar, warna, alat Bantu, kertas tulis dan poster di dinding atau yang lainnya.

d) Demonstrasikan

Tahap ini masih pada kegiatan ini. Inti pada tahap ini adalah memberi kesempatan siswa untuk menunjukkan bahwa siswa tahu. Hal ini sekaligus memberi kesempatan siswa untuk menunjukkan tingkat pemahaman terhadap materi yang dipelajari.

Panduan guru untuk memahami tahap ini yaitu dengan cara apa siswa dapat memperagakan tingkat kecakapan siswa dengan pengetahuan yang baru? Kriteria apa yang dapat membantu guru dan siswa mengembangkan bersama untuk menuntut peragaan kemampuan siswa.

Strategi yang dapat digunakan adalah mempraktekkan, menyusun laporan, membuat presentasi dengan powerpoint, menganalisis data, melakukan gerakan tangan, kaki, gerakan tubuh bersama secara harmonis, dan lain-lain.

e) Ulangi

Tahap ini jika kita tuangkan pada rencana pelaksanaan pembelajaran terdapat pada penutup. Tahap ini dilaksanakan untuk memperkuat koneksi saraf dan menumbuhkan rasa “aku tahu bahwa aku tahu ini”. Kegiatan ini dilakukan secara multimodalitas dan multikecerdasan.

Panduan guru untuk memasukan tahap ini yaitu cara apa yang terbaik bagi siswa untuk mengulang pelajaran ini? Dengan cara apa setiap siswa akan mendapatkan kesempatan untuk mengulang?

Strategi untuk mengimplementasikan yaitu bias dengan membuat isian “aku tahu bahwa aku tahu ini” hal ini merupakan kesempatan siswa untuk mengajarkan pengetahuan baru kepada orang lain (kelompok lain), atau dapat melakukan pertanyaan – pertanyaan post tes.

f) Rayakan

Tahap ini dituangkan pada penutup pembelajaran. Dengan maksud memberikan rasa rampung, untuk menghormati usaha, ketekunan, dan kesusksesan yang akhirnya memberikan rasa kepuasan dan kegembiraan. Dengan kondisi akhir siswa yang senang maka akan menimbulkan kegairahan siswa dalam belajar lehi lanjut.

Panduan pertanyaan dalam diri guru untuk melaksanakan adalah untuk pelajaran ini, cara apa yang paling sesuai untuk merayakannya? Bagaimana anda dapat mengakui setiap orang atas prestasi mereka?

Strategi yang dapat digunakan adalah dengan pujian bernyanyi bersama, pesta kelas, memberikan reward berupa tepukan.

Macam-Macam Pendekatan Pembelajaran
Writed by: Hafiz Muthoharoh, S.Pd.I
Berikut ini adalah postingan saya sebelumnya, yaitu tentang beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam pembelajaran. Adapun maksud saya menuliskannya kembali adalah untuk mempermudah pengunjung untuk membaca tulisan ini. Beberapa pendekatan yang dimaksud antara lain sebagai berikut :

1. Pendekatan tujuan pembelajaran
Pendekatan ini berorientasi pada tujuan akhir yang akan dicapai. Sebenarnya pendekatan ini tercakup juga ketika seorang guru merencanakan pendekatan lainnya, karena suatu pendekatan itu dipilih untuk mencapai tujuan pembelajaran. Semua pendekatan dirancang untuk keberhasilan suatu tujuan.
Sebagai contoh : Apabila dalam tujuan pembelajaran tertera bahwa siswa dapat mengelompokan makhluk hidup, maka guru harus merancang pembelajaran, yang pada akhir pembelajaran tersebut siswa sudah dapat mengelompokan makhluk hidup. Metode yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut dapat berupa metode tugas atau karyawisata.

2. Pendekatan konsep
Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan konsep berarti siswa dibimbing memahami suatu bahasan melalui pemahaman konsep yang terkandung di dalamnya. Dalam proses pembelajaran tersebut penguasaan konsep dan subkonsep yang menjadi fokus. Dengan beberapa metode siswa dibimbing untuk memahami konsep.
3. Pendekatan lingkungan
Penggunaan pendekatan lingkungan berarti mengaitkan lingkungan dalam suatu proses belajar mengajar. Lingkungan digunakan sebagai sumber belajar. Untuk memahami materi yang erat kaitannya dengan kehidupan sehari – hari sering digunakan pendekatan lingkungan.

4. Pendekatan inkuiri
Penggunaan pendekatan inkuiri berarti membelajarkan siswa untuk mengendalikan situasi yang dihadapi ketika berhubungan dengan dunia fisik yaitu dengan menggunakan teknik yang digunakan oleh para ahli peneliti ( Dettrick, G.W., 2001 ). Pendekatan inkuiri dibedakan menjadi inkuiri terpempin dan inkuiri bebas atau inkuiri terbuka. Perbedaan antara keduanya terletak pada siapa yang mengajukan pertanyaan dan apa tujuan dari kegiatannya.

5. Pendekatan penemuan
Penggunaan pendekatan penemuan berarti dalam kegiatan belajar mengajar siswa diberi kesempatan untuk menemukan sendiri fakta dan konsep tentang fenomena ilmiah. Penemuan tidak terbatas pada menemukan sesuatu yang benar – benar baru. Pada umumnya materi yang akan dipelajari sudah ditentukan oleh guru, demikian pula situasi yang menunjang proses pemahaman tersebut. Siswa akan melakukan kegiatan yang secara langsung berhubungan dengan hal yang akan ditemukan.

6. Pendekatan proses
Pada pendekatan proses, tujuan utama pembelajaran adalah mengembangkan kemampuan siswa dalam keterampilan proses seperti mengamati, berhipotesa, merencanakan, menafsirkan, dan mengkomunikasikan. Pendekatan keterampilan proses digunakan dan dikembangkan sejak kurikulum 1984. Penggunaan pendekatan proses menuntut keterlibatan langsung siswa dalam kegiatan belajar.

7. Pendekatan interaktif ( pendekatan pertanyaan anak )
Pendekatan ini memberi kesempata pada siswa uuntuk mengajukan pertanyaan untuk kemudian melakukan penyelidikan yang berkaitan dengan pertanyaan yang mereka ajukan ( Faire & Cosgrove, 1988 dalam Herlen W, 1996 ). Pertanyaan yang diiajukn siswa sangat bervariasi sehingga guru perlu melakukan llangkah – langkah mengumpulkan, memilih, dan mengubah pertanyaan tersebut menjadi suatu kegiatan yng spesifik.

8. Pendekatan pemecahan masalah
Pendekatan pemecahan masalah berangkat dari masalah yang harus dipecahkan melalui praktikum atau pengamatan. Dalam pendekatan ini ada dua versi. Versi pertama siswa dapat menerima saran tentang prosedur yang digunakan, cara mengumpulkan data, menyusun data, dan menyusun serangkaian pertanyaan yang mengarah ke pemecahan masalah. Versi kedua, hanya masalah yang dimunculkan, siswa yang merancang pemecahannya sendiri. Guru berperan hanya dalam menyediakan bahan dan membantu memberi petunjuk.

9. Pendekatan sains teknologi dan masyarakat ( STM )
Hasil penelitian dari National Science Teacher Association ( NSTA ) ( dalam Poedjiadi, 2000 ) menunjukan bahwa pembelajaran sains dengan menggunakan pendekatan STM mempunyai beberapa perbedaan jika dibandingkan dengan cara biasa. Perbedaan tersebut ada pada aspek : kaitan dan aplikasi bahan pelajaran, kreativitas, sikap, proses, dan konsep pengetahuan. Melalui pendekatan STM ini guru dianggap sebagai fasilitator dan informasi yang diterima siswa akan lebih lama diingat. Sebenarnya dalam pembelajaran dengan menggunakan pendekatan STM ini tercakup juga adanya pemecahan masalah, tetapi masalah itu lebih ditekankan pada masalah yang ditemukan sehari – hari, yang dalam pemecahannya menggunakan langkah – langkah ilmiah

10. Pendekatan terpadu
Pendekatan ini merupakan pendekatan yang intinya memadukan dua unsur atau lebih dalam suatu kegiatan pembelajaran. Pemaduan dilakukan dengan menekankan pada prinsip keterkaitan antar satu unsur dengan unsur lain, sehingga diharapkan terjadi peningkatan pemahaman yang lebih bermakna dan peningkatan wawasan karena satu pembelajaran melibatkan lebih dari satu cara pandang.
Pendekatan terpadu dapat diimplementasikan dalam berbagai model pembelajaran. Di Indonesia, khususnya di tingkat pendidikan dasar terdapat tiga model pemdekatan terpadu yang sedang berkembang yaitu model keterhubungan, model jaring laba – laba, model keterpaduan.

Pendekatan dan Metode Pembelajaran
Writed By: Hafiz Muthoharoh, S.Pd.I
Dalam kenyataan sehari – hari sering kita jumpai sejumlah guru yang menggunakan metode tertentu yang kurang atau tidak cocok dengan isi dan tujuan pengajaran. Akibatnya, hasilnya tidak memadai, bahkan mungkin merugikan semua pihak terutama pihak siswa dan keluarganya, walaupun kebanyakan mereka tidak menyadari hal itu.

Agar proses belajar mengajar berjalan dengan lancar dan dapat mencapai tujuan pembelajaran, guru sebaiknya menentukan pendekatan dan metode yang akan digunakan sebelum melakukan proses belajar mengajar. Pemilihan suatu pendekatan dan metode tentu harus disesuaikan dengan tujuan pembelajaran dan sifat materi yang akan menjadi objek pembelajaran. Pembelajaran dengan menggunakan banyak metode akan menunjang pencapaian tujuan pembelajaran yang lebih bermakna.

Ketika mengajar di kelas 3 A Bu Kurniasih, S.Si merasa ragu apakah persiapan mengajar untuk konsep persilangan di SMPN 1 Kikim Barat yang sudah disiapkannya dapat digunakan di kelas ini. Berdasarkan pengalamannya kelas 3 B agak berbeda dengan kelas 3 lainnya. Karena sebagian besar siswa di kelas tersebut mempunyai kemampuan belajar lebih rendah daripada rata – rata kemampuan kelas 3 di sekolahnya. Bu Kurniasih, S.Si merencanakan materi pelajarannya dibagi menjadi beberapa kali pertemuan sehingga memerlukan waktu lebih banyak dibandingkan dengan kelas 3 yang lainnya. Metode yang digunakannya masih serupa dengan di kelas lain, hanya ditambah metode bermain peran. Bu Kurniasih, S.Si merasa gembira karena siswa yang diperkirakan akan mengalami kesulitan belajar ternyata terbantu dengan cara yang ditempuhnya.

A. Pengertian Metode dan Pendekatan
Metode dibedakan dari pendekatan. Pendekatan lebih menekankan pada strategi dalam perencanaan, sedangkan metode lebih menekankan pada teknik pelaksanaannya. Satu pendekatan yang direncanakan untuk satu pembelajaran mungkin dalam pelaksanaan proses tersebut digunakan beberapa metode. Sebagai contoh dalam pembelajaran pencemaran lingkungan. Pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran tersebut dapat dipilih dari beberapa pendekatan yang sesuai, antara lain pendekatan lingkungan.

Ketika proses pembelajaran pencemaran lingkungan dilaksanakan dengan pendekatan lingkungan tersebut dapat digunakan beberapa metode, misalnya metode observasi, metode didkusi dan metode ceramah. Supaya lebih jelas ikuti perencanaan yang dilakukan oleh seorang guru ketika akan memberi pembelajaran pencemaran lingkungan tersebut. Pada awalnya ia memilih pendekatan lingkungan, berarti ia akan menggunakan lingkungan sebagai fokus pembelajaran. Pada akhir pembelajaran melalui konsep pencemaran lingkungan siswa akan memahami tentang lingkungan sekitarnya apakah sudah tercemar atau tidak. Untuk merealisasikan hal tersebut ia menggunakan metode diskusi dan ceramah. Dalam pembelajarannya ia membuat suatu masalah untuk didiskusikan oleh siswa kemudian ia akan mengakhiri pembelajaran tadi dengan memberi informasi yang berkaitan dengan hasil diskusi.

Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa metode dan pendekatan dirancang untuk mencapai keberhasilan suatu tujuan pembelajaran.

B. Beberapa Pendekatan Dalam Proses Pembelajaran
Pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran biologi antara lain sebagai berikut :

1. Pendekatan tujuan pembelajaran
Pendekatan ini berorientasi pada tujuan akhir yang akan dicapai. Sebenarnya pendekatan ini tercakup juga ketika seorang guru merencanakan pendekatan lainnya, karena suatu pendekatan itu dipilih untuk mencapai tujuan pembelajaran. Semua pendekatan dirancang untuk keberhasilan suatu tujuan.
Sebagai contoh : Apabila dalam tujuan pembelajaran tertera bahwa siswa dapat mengelompokan makhluk hidup, maka guru harus merancang pembelajaran, yang pada akhir pembelajaran tersebut siswa sudah dapat mengelompokan makhluk hidup. Metode yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut dapat berupa metode tugas atau karyawisata.

2. Pendekatan konsep
Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan konsep berarti siswa dibimbing memahami suatu bahasan melalui pemahaman konsep yang terkandung di dalamnya. Dalam proses pembelajaran tersebut penguasaan konsep dan subkonsep yang menjadi fokus. Dengan beberapa metode siswa dibimbing untuk memahami konsep.
3. Pendekatan lingkungan
Penggunaan pendekatan lingkungan berarti mengaitkan lingkungan dalam suatu proses belajar mengajar. Lingkungan digunakan sebagai sumber belajar. Untuk memahami materi yang erat kaitannya dengan kehidupan sehari – hari sering digunakan pendekatan lingkungan.

4. Pendekatan inkuiri
Penggunaan pendekatan inkuiri berarti membelajarkan siswa untuk mengendalikan situasi yang dihadapi ketika berhubungan dengan dunia fisik yaitu dengan menggunakan teknik yang digunakan oleh para ahli peneliti ( Dettrick, G.W., 2001 ). Pendekatan inkuiri dibedakan menjadi inkuiri terpempin dan inkuiri bebas atau inkuiri terbuka. Perbedaan antara keduanya terletak pada siapa yang mengajukan pertanyaan dan apa tujuan dari kegiatannya.

5. Pendekatan penemuan
Penggunaan pendekatan penemuan berarti dalam kegiatan belajar mengajar siswa diberi kesempatan untuk menemukan sendiri fakta dan konsep tentang fenomena ilmiah. Penemuan tidak terbatas pada menemukan sesuatu yang benar – benar baru. Pada umumnya materi yang akan dipelajari sudah ditentukan oleh guru, demikian pula situasi yang menunjang proses pemahaman tersebut. Siswa akan melakukan kegiatan yang secara langsung berhubungan dengan hal yang akan ditemukan.

6. Pendekatan proses
Pada pendekatan proses, tujuan utama pembelajaran adalah mengembangkan kemampuan siswa dalam keterampilan proses seperti mengamati, berhipotesa, merencanakan, menafsirkan, dan mengkomunikasikan. Pendekatan keterampilan proses digunakan dan dikembangkan sejak kurikulum 1984. Penggunaan pendekatan proses menuntut keterlibatan langsung siswa dalam kegiatan belajar.

7. Pendekatan interaktif ( pendekatan pertanyaan anak )
Pendekatan ini memberi kesempata pada siswa uuntuk mengajukan pertanyaan untuk kemudian melakukan penyelidikan yang berkaitan dengan pertanyaan yang mereka ajukan ( Faire & Cosgrove, 1988 dalam Herlen W, 1996 ). Pertanyaan yang diiajukn siswa sangat bervariasi sehingga guru perlu melakukan llangkah – langkah mengumpulkan, memilih, dan mengubah pertanyaan tersebut menjadi suatu kegiatan yng spesifik.

8. Pendekatan pemecahan masalah
Pendekatan pemecahan masalah berangkat dari masalah yang harus dipecahkan melalui praktikum atau pengamatan. Dalam pendekatan ini ada dua versi. Versi pertama siswa dapat menerima saran tentang prosedur yang digunakan, cara mengumpulkan data, menyusun data, dan menyusun serangkaian pertanyaan yang mengarah ke pemecahan masalah. Versi kedua, hanya masalah yang dimunculkan, siswa yang merancang pemecahannya sendiri. Guru berperan hanya dalam menyediakan bahan dan membantu memberi petunjuk.

9. Pendekatan sains teknologi dan masyarakat ( STM )
Hasil penelitian dari National Science Teacher Association ( NSTA ) ( dalam Poedjiadi, 2000 ) menunjukan bahwa pembelajaran sains dengan menggunakan pendekatan STM mempunyai beberapa perbedaan jika dibandingkan dengan cara biasa. Perbedaan tersebut ada pada aspek : kaitan dan aplikasi bahan pelajaran, kreativitas, sikap, proses, dan konsep pengetahuan. Melalui pendekatan STM ini guru dianggap sebagai fasilitator dan informasi yang diterima siswa akan lebih lama diingat. Sebenarnya dalam pembelajaran dengan menggunakan pendekatan STM ini tercakup juga adanya pemecahan masalah, tetapi masalah itu lebih ditekankan pada masalah yang ditemukan sehari – hari, yang dalam pemecahannya menggunakan langkah – langkah ilmiah

10. Pendekatan terpadu
Pendekatan ini merupakan pendekatan yang intinya memadukan dua unsur atau lebih dalam suatu kegiatan pembelajaran. Pemaduan dilakukan dengan menekankan pada prinsip keterkaitan antar satu unsur dengan unsur lain, sehingga diharapkan terjadi peningkatan pemahaman yang lebih bermakna dan peningkatan wawasan karena satu pembelajaran melibatkan lebih dari satu cara pandang.
Pendekatan terpadu dapat diimplementasikan dalam berbagai model pembelajaran. Di Indonesia, khususnya di tingkat pendidikan dasar terdapat tiga model pemdekatan terpadu yang sedang berkembang yaitu model keterhubungan, model jaring laba – laba, model keterpaduan.
Perbandingan model pembelajaran terpadu
Model keterhubungan Model jaring laba – laba Model keterpaduan

C. Beberapa Metode Dalam Proses Pembelajaran
Beberapa metode yang sering digunakan dalam pembelajaran biologi adalah :

1. Metode ceramah
Metode ceramah adalah metode penyampaian bahan pelajaran secara lisan. Metode ini banyak dipilih guru karena mudah dilaksanakan dan tidak membutuhkan alat bantu khusus serta tidak perlu merancang kegiatan siswa. Dalam pengajaran yang menggunakan metode ceramah terdapat unsur paksaan. Dalam hal ini siswa hanya diharuskan melihat dan mendengar serta mencatat tanpa komentar informasi penting dari guru yang selalu dianggap benar itu. Padahal dalam diri siswa terdapat mekanisme psikologis yang memungkinkannya untuk menolak disamping menerima informasi dari guru. Inilah yang disebut kemampuan untuk mengatur dan mengarahkan diri.

2. Metode tanya jawab
Metode tanya jawab dapat menarik dan memusatkan perhatian siswa. Dengan mengajukan pertanyaan yang terarah, siswa akan tertarik dalam mengembangkan daya pikir. Kemampuan berpikir siswa dan keruntutan dalam mengemukakan pokok – pokok pikirannya dapat terdeteksi ketika menjawab pertanyaan. Metode ini dapat menjadi pendorong bagi siswa untuk mengadakan penelusuran lebih lanjut pada berbagai sumber belajar. Metode ini akan lebih efektif dalam mencapai tujuan apabila sebelum proses pembelajaran siswa ditugasi membaca materi yang akan dibahas.

3. Metode diskusi
Metode diskusi adalah cara pembelajaran dengan memunculkan masalah. Dalam diskusi terjadi tukar menukar gagasan atau pendapat untuk memperoleh kesamaan pendapat. Dengan metode diskusi keberanian dan kreativitas siswa dalam mengemukakan gagasan menjadi terangsang, siswa terbiasa bertukar pikiran dengan teman, menghargai dan menerima pendapat orang lain, dan yang lebih penting melalui diskusi mereka akan belajar bertanggung jawab terhadap hasil pemikiran bersama.

4. Metode belajar kooperatif
Dalam metode ini terjadi interaksi antar anggota kelompok dimana setiap kelompok terdiri dari 4-5 orang. Semua anggota harus turut terlibat karena keberhasilan kelompok ditunjang oleh aktivitas anggotanya, sehingga anggota kelompok saling membantu. Model belajar kooperatif yang sering diperbincangkan yaitu belajar kooperatif model jigsaw yakni tiap anggota kelompok mempelajari materi yang berbeda untuk disampaikan atau diajarkan pada teman sekelompoknya.

5. Metode demonstrasi
Metode demonstrasi adalah cara penyajian pelajaran dengan memeragakan suatu proses kejadian. Metode demonstrasi biasanya diaplikasikan dengan menggunakan alat – alat bantu pengajaran seperti benda – benda miniatur, gambar, perangkat alat – alat laboratorium dan lain – lain. Akan tetapi, alat demonstrasi yang paling pokok adalah papan tulis dan white board, mengingat fungsinya yang multi proses. Dengan menggunakan papan tulis guru dan siswa dapat menggambarkan objek, membuat skema, membuat hitungan matematika, dan lain – lain peragaan konsep serta fakta yang memungkinkan.

6. Metode ekspositori atau pameran
Metode ekspositori adalah suatu penyajian visual dengan menggunakan benda dua dimensi atau tiga dimensi, dengan maksud mengemukakan gagasan atau sebagai alat untuk membantu menyampaikan informasi yang diperlukan.

7. Metode karyawisata/widyamisata
Metode karyawisata/widyawisata adalah cara penyajian dengan membawa siswa mempelajari materi pelajaran di luar kelas. Karyawisata memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar, dapat meransang kreativitas siswa, informasi dapat lebih luas dan aktual, siswa dapat mencari dan mengolah sendiri informasi. Tetapi karyawisata memerlukan waktu yang panjang dan biaya, memerlukan perencanaan dan persiapan yang tidak sebentar.

8. Metode penugasan
Metode ini berarti guru memberi tugas tertentu agar siswa melakukan kegiatan belajar. Metode ini dapat mengembangkan kemandirian siswa, meransang untuk belajar lebih banyak, membina disiplin dan tanggung jawab siswa, dan membina kebiasaan mencari dan mengolah sendiri informasi. Tetapi dlam metode ini sulit mengawasi mengenai kemungkinan siswa tidak bekerja secara mandiri.

9. Metode eksperimen
Metode eksperimen adalah cara penyajian pelajaran dengan menggunakan percobaan. Dengan melakukan eksperimen, siswa menjadi akan lebih yakin atas suatu hal daripada hanya menerima dari guru dan buku, dapat memperkaya pengalaman, mengembangkan sikap ilmiah, dan hasil belajar akan bertahan lebih lama dalam ingatan siswa. Metode ini paling tepat apabila digunakan untuk merealisasikan pembelajaran dengan pendekatan inkuiri atau pendekatan penemuan.

10. Metode bermain peran
Pembelajaran dengan metode bermain peran adalah pembelajaran dengan cara seolah – olah berada dalam suatu situasi untuk memperoleh suatu pemahaman tentang suatu konsep. Dalam metode ini siswa berkesempatanm terlibat secara aktif sehingga akan lebih memahami konsep dan lebih lama mengingat, tetapi memerlukan waktu lama.

Pendekatan dan metode yang dipilih guru dalam memberikan suatu materi pelajaran sangat menentukan terhadap keberhasilan proses pembelajaran. Tidak pernah ada satu pendekatan dan metode yang cocok untuk semua materi pelajaran, dan pada umumnya untuk merealisasikan satu pendekatan dalam mencapai tujuan digunakan multi metode.
Metode dibedakan dari pendekatan ; metode lebih menekankan pada pelaksanaan kegiatan, sedangkan pendekatan ditekankan pada perencanaannya. Ada lima hal yang perlu diperhatikan guru dalam memilih suatu metode mengajar yaitu :
Kemampuan guru dalam menggunakan metode.
Tujuan pengajaran yang akan dicapai.
Bahan pengajaran yang perlu dipelajari siswa.
Perbedaan individual dalam memanfaatkan inderanya.
Sarana dan prasarana yang ada di sekolah.

Beberapa pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran biologi adalah pendekatan konsep, pendekatan keterampilan proses, pendekatan lingkungan, pendekatan inkuiri, pendekatan penemuan, pendekatan interaktif, pendekatan pemecahan masalah, pendekatan Sains Teknologi Masyarakat, dan pendekatan terpadu. Untuk merealisasikan suatu pendekatan dalam mencapai tujuan dapat digunakan beberapa metode antara lain metode ceramah, metode tanya jawab, metode diskusi, metode demonstrasi, metode ekspositori, metode karyawisata, metode penugasan, metode eksperimen, metode belajar kooperatif, dan metode bermain peran.

Daftar Pustaka:
Dirdjosoemarto dkk. 2004. Strategi Belajar Mengajar Biologi. Bandung : FPMIPA UPI dan JICA IMSTEP.
Roestiyah. 1991. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Rineka Cipta.
Syah Muhibbin. 1995. Psikologi Pendidikan suatu Pendekatan Baru. Bandung : Remaja Rosda Karya.

emilih Strategi Belajar Mengajar yang Tepat

Ditulis oleh Mahmuddin di/pada Oktober 29, 2009

Strategi digunakan untuk memperoleh kesuksesasan atau keberhasilan dalam mencapai tujuan. Dalam dunia pendidikan J.R. David (1976): Strategy a plan, method, or series of activities designed to achieves a particular educational goal, sehingga dapat diartikan sebagai suatu perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan pendidikan. Ada dua hal yang perlu dicermati dalam ini, yaitu: pertama, strategi pembelajaran merupakan rancangan tindakan (rangkaian kegiatan) termasuk rancangan penggunaan metode dan pemanfaatan berbagai sumber daya/kekuatan dalam pembelajaran. Kedua, strategi disusun untuk mencapai tujuan tertentu. Kemp (1995) menjelaskan bahwa strategi pembelajaran adalah suatu pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. Dick dan Carey (1985) juga menyebutkan bahwa strategi pembelajaran itu adalah suatu set materi dan prosedur pembelajaran yang digunakan secara bersama-sama untuk menimbulkan hasil belajar siswa.

Upaya mengimplementasikan rencana sudah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah disusun tecapai secara optimal, disebut Metode. Dalam satu strategi dapat digunakan beberapa metode, misalnya strategi ekspositori bisa digunakan metode ceramah sekaligus metode tanya jawab atau bahkan diskusi. Dengan demikian, strategi berbeda dengan metode. Strategi menunjuk pada sebuah perencanaan mencapai sesuatu, sedangkan metode adalah cara yang dapat digunakan untuk melaksanakan suatu strategi.

Istilah lain yang mirip dengan strategi adalah pendekatan. Pendekatan dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran. Strategi dan metode, pembelajaran yang digunakan dapat bersumber atau tergantung dari pendekatan tertentu. Roy Killen (1998) mencatat dua pendekatan dalam pembelajaran, yaitu pendekatan yang berpusat pada guru dan pendekatan yang berpusat pada siswa.

Selain strategi, metode, dan pendekatan pembelajaran juga dikenal istilah teknik dan taktik mengajar. Teknik dan taktik merupakan penjabaran dari metode pembelajaran. Teknik adalah cara yang dilakukan seseorang dalam rangka mengimplementasikan suatu metode. Taktik adalah gaya seseorang dalam melaksanakan suatu teknik atau metode tertentu, sehingga taktik bersifat lebih individual.

Suatu strategi pembelajaran yang diterapkan guru akan tergantung pada pendekatan yang digunakan. Strategi dapat didapatkan berbagai metode pembelajaran. Metode pembelajaran guru dapat menentukan teknik yang dianggap relevan dengan metode, dan penggunaan teknik memiliki taktik tersendiri oleh setiap guru.

Pertimbangan dalam Pengembangan Strategi Pembelajaran

Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan strategi pembelajaran yang akan dipilih, sebagai berikut:
Tujuan yang ingin dicapai, semakin kompleks tujuan yang ingin dicapai maka semakin rumit strategi yang akan dirancang. Tujuan pembelajaran berkenaan dengan aspek kognitif, afektif atau psikomotorik, sehingga kompleksitas tujuan berimplikasi pada rancangan strategi dan keterampilan lain yang dibutuhkan untuk pencapaiannya.
Bahan atau materi yang pembelajaran, berkaitan dengan conten yang akan dipelajarai, prasyarat tertentu dan sumber belajar yang dibutuhkan.
Pertimbangan dari sudut siswa, strategi yang dipilih harus sesuai dengan situasi dan kondisi siswa, seperti tingkat kematangan siswa, minat siswa dan gaya belajar siswa.
Pertimbangan dari strategi itu sendiri, berkaitan dengan jumlah strategi yang akan digunakan, strategi terbaik serta efektivitas dan efisiensi strategi yang akan digunakan.

Dari beberapa hal yang dipertimbangkan di atas, sebagai guru yang telah menempah diri melalui proses pendidikan dan pengalaman akan memiliki daya intuisi dalam menentukan strategi yang tepat yang dapat diterapkan pada proses pembelajaran di kelas. Bahwa proses yang baik diasumsikan dapat menghasilkan produk yang baik, maka guru sepatutnya menyediakan lingkungan belajar yang kondusif bagi perkembangan anak

Implementasi Pembelajaran Multimodel dalam Pembelajaran(3)
Membentuk Karakter Kreatif pada Diri Anak melalui Pembelajaran Bersiklus »
Manfaat Pembelajaran Multimodel bagi Pencapaian Kompetensi Anak (4)

Ditulis oleh Mahmuddin di/pada Oktober 21, 2009

Pembelajaran multimodel pada prinsipnya merupakan pendekatan pembelajaran yang secara komprehensif mempertimbangkan kondisi psikologi perkembangan anak, materi pelajaran sebagai objek dan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Secara teoritis, pembelajaran multimodel berupaya mengimplementasikan berbagai teori dan prinsip belajar yang telah ada serta mengakomodasi potensi dan modalitas siswa dalam belajar (gaya belajar). Menurut DePotter dan Hernacki (2002), secara umum ada dua kategori utama dalam belajar, yaitu bagaimana kita menyerap informasi dengan mudah dan cara kita mengatur dan mengolah informasi tersebut. Gaya belajar tersebut, kemudian dibedakan menjadi modalitas visual, auditorial dan kinestetik.

Berdasarkan tahapan belajar yang dikemukakan dalam tulisan seri (3), maka partisipasi siswa dalam pembelajaran multimodel dapat diidentifikasi sebagai berikut:
Siswa turut berpartisipasi dalam merumuskan tujuan pembelajaran, proses ini diharapkan dapat membangun partisipasi siswa selama proses pembelajaran. Dengan keterlibatan dalam perumusan ujuan di awal proses belajar, maka tujuan belajar merupakan milik siswa sehingga mereka akan memiliki rasa tanggung jawab untuk mencapai tujuan yang diinginkannya.
Siswa berpartisipasi dalam mengorganisir kelompok, mengatur peran diri masing-masing dan bekerja sama dalam mencapai target. Hal ini dapat menguatkan kesan bahwa siswalah yang menjadi pemeran utama dalam proses belajar.
Siswa berpartisipasi sebagai sumber informasi bagi orang lain/kelompok lain. Ketika siswa mengkomunikasikan hasil kerja/pikirannya, memberikan kesan bahwa siswa memiliki peran yang sangat penting dalam proses belajar di kelas sehingga dapat menguatkan rasa percaya diri dan semangat untuk menampilkan karya terbaik.
Siswa berpartisipasi dalam penilaian. Ketika siswa dilibatkan dalam proses menilai diri mereka dan menilai orang lain/kelompok lain, memberikan kesan penghargaan yang tinggi dalam menentukan keberhasilan belajar.

Menurut Aunurrahman (2009), Belajar pada dasarnya bercirikan upaya sadar atau disengaja yang dilakukan oleh individu untuk berinteraksi dengan lingkungan yang ditandai dengan adanya perubahan tingkah laku sebagai hasilnya. Proses belajar dalam pendekatan multimodel ini sangat mementingkan keterlibatan siswa dalam berinteraksi. Stimulus yang mendapatkan respon menghasilkan interaksi. Kualitas interaksi sangat ditentukan oleh kualitas respon, dan kualitas respon sangat ditentukan oleh kualitas stimulus, sehingga untuk memperbaiki kualitas interaksi belajar maka stimulus yang diciptakan guru harus berkualitas. Dalam hal ini, tercapainya tujuan pembelajaran sangat ditentukan oleh skenario dan peran guru sebagai stimulator dan partisipasi siswa sebagai bentuk respon yang diberikan sehingga terjadi interaksi belajar yang berkualitas.

Menurut Aunurrhaman (2009), belajar merupakan proses internal yang kompleks, yakni melibatkan seluruh mental yang meliputi ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Proses belajar sebagai proses internal siswa tidak dapat diamati akan tetapi dapat dipahami oleh guru. Proses belajar tersebut tampak melalui perilaku siswa mempelajari bahan ajar. Perilaku belajar tersebut merupakan respon siswa terhadp tindakan pembelajaran dari guru. Mengacu keterlibatan ketiga ranah mental dalam belajar, maka kompetensi siswa dalam belajar dapat diukur dalam tiga aspek yaitu pengetahuan, skill atau keterampilan, dan sikap atau nilai-nilai.

Pembelajaran multimodel dapat memberikan manfaat bagi pencapaian kompetensi siswa, sebagai berikut:
Pengetahuan : Keterlibatan siswa dalam mencari dan mengakses sumber informasi atau sumber belajar memungkinkan siswa dapat mengeksplorasi lebih banyak pengetahuan. Interaksi yang dilakukan secara individual dapat meningkatkan efektivitas dalam pendalaman dan penguasaan informasi dan pengetahuan siswa. Oleh Karena, siswa bebas memilih cara yang sesuai dengan style atau modalitas efektif bagi dirinya sendiri. Interaksi yang terjadi dalam kelompok dan klasikal, menuntut terjadinya kematangan bagi penguasaan informasi yang disajikan sehingga interaksi yang berkualitas dapat meningkatkan tingkat penguasaan materi bagi siswa.
Skill atau Keterampilan: Dari keseluruhan proses belajar yang disetting oleh guru dapat menstimulasi siswa melatih keterampilan siswa baik yang bersifat softskill maupun hardskill. Softkill yang dapat dilatih dari proses belajar ini seperti komunikasi, kerjasama, membangun hubungan interpersonal atau social skill, research skill, kreativitas, penyelesaian masalah dan lain sebagainya. Sedangkan hardskill yang dapat dikembangkan sangat ditentukan oleh aktivitas motorik yang dirancang oleh guru.
Sikap atau nilai-nilai: Dalam proses pembelajaran multimodel yang memperhatikan partisipasi siswa dalam proses belajar, pengembangan sikap atau nilai-nilai sangat mendapatkan ruang. Bahwa dengan tingginya partisipasi siswa dalam proses belajar, maka siswa distimulasi untuk menunjukkan perilaku belajar yang dimilikinya. Hal ini memungkinkan guru dapat memberikan merespon perilaku siswa dalam bentuk penguatan positif atau penguatan negative untuk dikembangkan sebagai perilaku baik. Bahkan guru dapat memberikan hukuman bagi siswa sebagai upaya mengurangi perilaku yang tidak diharapkan. Secara detail, pembelajaran multimodel dapat meningkatkan kesadaran diri siswa dalam belajar, rasa percaya diri, tanggung jawab, melatih kepemimpinan dan kolektivitas, kepedulian sosial, serta dapat mengembangkan sikap ilmiah siswa.

Pembelajaran multimodel sarat dengan perilaku belajar. Ketika siswa dapat berpartisipasi secara aktif dan berkesinambungan dalam proses belajar, maka siswa secara perlahan-lahan dapat menunjukkan perilakunya. Perilaku siswa yang dapat diamati guru merupakan potensi yang dapat dieksplorasi untuk dikembangkan menjadi jati diri. Dengan demikian, implementasi pembelajaran multimodel ini dapat memberikan hasil nyata dalam meningkatkan kompetensi siswa.

1. Pengantar Pembelajaran Multimodel (1)

2. Hakekat Pembelajaran Multimodel (2)

3. Implementasi Pembelajaran Multimodel dalam Pembelajaran (3)

4. Manfaat Pembelajaran Multimodel bagi Pencapaian Kompetensi Anak (4)

« Menggugah Kompetensi Guru Indonesia
Kompetensi Profesional Guru Indonesia »
Kompetensi Pedagogik Guru Indonesia

Ditulis oleh Mahmuddin di/pada Maret 19, 2008

Kompetensi Guru merupakan seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dikuasai, dan diaktualisasikan oleh Guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2007 tentang Guru, dinyatakan bahwasanya kompetensi yang harus dimiliki oleh Guru meliputi kompetensi pedagogic, kompetensi kepribadian, kompetensi social, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Kompetensi Guru tersebut bersifat menyeluruh dan merupakan satu kesatuan yang satu sama lain saling berhubungan dan saling mendukung.Kompetensi pedagogik yang dimaksud dalam makalah ini yakni antara lain kemampuan pemahaman tentang peserta didik secara mendalam dan penyelenggaraan pembelajaran yang mendidik. Pemahaman tentang peserta didik meliputi pemahaman tentang psikologi perkembangan anak sedangkan Pembelajaran yang mendidik meliputi kemampuan merancang pembelajaran, mengimplementasikan pembelajaran, menilai proses dan hasil pembelajaran, dan melakukan perbaikan secara berkelanjutan.Sedangkan menurut PP tentang Guru, bahwasanya kompetensi pedagogik Guru merupakan kemampuan Guru dalam pengelolaan pembelajaran peserta didik yang sekurang-kurangnya meliputi: a. pemahaman wawasan atau landasan kependidikan. Guru memiliki latar belakang pendidikan keilmuan sehingga memiliki keahlian secara akademik dan intelektual. Merujuk pada sistem pengelolaan pembelajaran yang berbasis subjek (mata pelajaran), guru seharusnya memiliki kesesuaian antara latar belakang keilmuan dengan subjek yang dibina. Selain itu, guru memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam penyelenggaraan pembelajaran di kelas. Secara otentik kedua hal tersebut dapat dibuktikan dengan ijazah akademik dan ijazah keahlian mengajar (akta mengajar) dari lembaga pendidikan yang diakreditasi pemerintah.b. pemahaman terhadap peserta didik. Guru memiliki pemahaman akan psikologi perkembangan anak, sehingga mengetahui dengan benar pendekatan yang tepat yang dilakukan pada anak didiknya. Guru dapat membimbing anak melewati masa-masa sulit dalam usia yang dialami anak. Selain itu, Guru memiliki pengetahuan dan pemahaman terhadap latar belakang pribadi anak, sehingga dapat mengidentifikasi problem-problem yang dihadapi anak serta menentukan solusi dan pendekatan yang tepat.c. pengembangan kurikulum/silabus. Guru memiliki kemampuan mengembangkan kurikulum pendidikan nasional yang disesuaikan dengan kondisi spesifik lingkungan sekolah. d. perancangan pembelajaran. Guru memiliki merencanakan sistem pembelajaran yang memamfaatkan sumber daya yang ada. Semua aktivitas pembelajaran dari awal sampai akhir telah dapat direncanakan secara strategis, termasuk antisipasi masalah yang kemungkinan dapat timbul dari skenario yang direncanakan.e. pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis. Guru menciptakan situasi belajar bagi anak yang kreatif, aktif dan menyenangkan. Memberikan ruang yang luas bagi anak untuk dapat mengeksplor potensi dan kemampuannya sehingga dapat dilatih dan dikembangkan.f. pemanfaatan teknologi pembelajaran. Dalam menyelenggarakan pembelajaran, guru menggunakan teknologi sebagai media. Menyediakan bahan belajar dan mengadministrasikan dengan menggunakan teknologi informasi. Membiasakan anak berinteraksi dengan menggunakan teknologi.g. evaluasi hasil belajar. Guru memiliki kemampuan untuk mengevaluasi pembelajaran yang dilakukan meliputi perencanaan, respon anak, hasil belajar anak, metode dan pendekatan. Untuk dapat mengevaluasi, guru harus dapat merencanakan penilaian yang tepat, melakukan pengukuran dengan benar, dan membuat kesimpulan dan solusi secara akurat.h. pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Guru memiliki kemampuan untuk membimbing anak, menciptakan wadah bagi anak untuk mengenali potensinya dan melatih untuk mengaktualisasikan potensi yang dimiliki.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengembangkan kemampuan ini adalah dengan melaksanakan penelitian tindakan kelas. Penelitian tindakan kelas, berbasis pada perencanaan dan solusi atas masalah yang dihadapi anak dalam belajar. Sehingga hasil belajar anak dapat meningkat dan target perencanaan guru dapat tercapai. Pada prinsipnya, Kesemua aspek kompetensi paedagogik di atas senantiasa dapat ditingkatkan melalui pengembangan kajian masalah dan alternatife solusi

Hakekat Pembelajaran Multimodel (2)
Manfaat Pembelajaran Multimodel bagi Pencapaian Kompetensi Anak (4) »
Implementasi Pembelajaran Multimodel dalam Pembelajaran(3)

Ditulis oleh Mahmuddin di/pada Oktober 21, 2009

Pada pembelajaran multimodel, situasi kelas yang tergambar dikelola dengan sangat baik dan kondusif. Proses belajar sangat mengutamakan adanya interaksi dan kerjasama yang baik antara guru dengan siswa, serta siswa dengan siswa secara demokratis sehingga proses pembelajaran sangat dinamis. Peran guru sebagai fasilitator belajar sangat vital dalam mencairkan suasana, mengontrol efektivitas tahapan-tahapan pembelajaran serta mengantar siswa melewati transisi dalam berpindah tahapan. Pendelegasian sebagian peran kepada siswa, semakin memberikan suasana kelas yang memiliki atmosfer belajar.

Fase-fase/Tahapan dalam Pelaksanaan Pembelajaran Multimodel

Pada pembelajaran multimodel, tahapan pembelajaran tidak bersifat permanen tetapi sangat ditentukan oleh konten/materi bahan pelajaran dan situasi kelas yang ingin diciptakan oleh guru. Tahapan dalam proses belajar dengan pembelajaran multimodel sangat memungkinkan terjadinya kombinasi tahapan antar model-model pembelajaran yang telah ada. Prinsip dalam penyusunan tahapan pembelajaran adalah tujuan yang ingin dicapai, pengalaman belajar yang diharapkan, partisipasi siswa dalam belajar, efektivitas dalam mengelola waktu. Namun demikian, salah satu bentuk implementasi pembelajaran multimodel dapat dikemukakan dalam bentuk fase-fase pembelajaran, sebagai berikut:

Fase I (motivasi dan perumusan tujuan)

Pada tahapan awal ini, guru sebagai fasilitator melakukan ice breaker dengan siswa, kemudian direfleksi untuk memberikan motivasi atau membangkitkan semangat belajar siswa. setelah itu, guru memfasilitasi siswa untuk merumuskan tujuan pembelajaran secara demokratis. Keterlibatan siswa dalam merumuskan tujuan belajar, membangun rasa tanggung jawab dan hubungan emosional siswa dengan aktivitas belajar.

Fase II (Penyajian data dan orientasi masalah)

Pada tahapan kedua ini, guru dapat menyajikan materi inti dari konten yang ingin dipahami, skill yang akan dilatih, sikap yang akan ditunjukkan serta mengarahkan kegiatan yang akan dilakukan. Guru dan siswa dapat saling berinteraksi dalam fase ini untuk selanjutnya, siswa memahami kegiatan yang harus dilakukan dalam tahap belajar berikutnya. Pada tahap ini, juga dapat dilakukan pengelompokan siswa secara berimbang dengan memperhatikan faktor efektivitas kegiatan dan kualitas interaksi.

Fase III (kajian masalah dan penyelesaiannya)

Pada tahapan ini siswa diberikan kesempatan untuk menyelesaikan masalah yang ada bersama baik secara individual maupun kelompok yang telah ditentukan. Siswa dapat mengeksplorasi lingkungan, literature, bereksperimen, berdiskusi dengan nara sumber atau sesama anggota kelompok. Dalam tahap ini, guru dapat melakukan pendekatan kepada siswa secara individual atau kelompok untuk pembimbingan untuk efektivitas dalam pencapaian tujuan. Guru juga dapat memberikan motivasi, penguatan dan penghargaan sebagai bentuk perhatian yang dilakukan secara merata dan tepat guna kepada siswa. Namun demikian, orientasi tetap pada tanggung jawab siswa dalam menyelesaikan masalah yang diberikan melalui proses kerja sama yang memberikan peran masing-masing secara proporsional. Teori behavioral untuk pembelajaran menekankan pentingnya pengkondisian sebagai upaya mengaitkan atau mengasosiasi stimuli serta peran konsekuensi perilaku dalam menghasilkan perubahan dalam probabilitas perlaku (Santrock, 2007).

Fase IV (Komunikasi/Penyajian hasil)

Pada tahap ini, guru memfasilitasi siswa mengkomunikasi pemahamannya dan atau menyajikan hasil karyanya untuk dishare kepada anggota kelas/kelompok lain. Pada tahap ini, kelompok lain dapat memberikan tanggapan dan penilaian terhadap materi yang disajikan sehingga terjadi interaksi dalam proses pembelajaran. Intervensi guru dalam hal ini, dapat berperan dalam klarifikasi dan mengarahkan untuk pembentukan kesimpulan. Dengan demikian, pengembangan akan informasi yang didapat akan lebih beraneka ragam. Interaksi yang terjadi dapat memicu kreatifitas dan daya berpikir yang lebih luas, sehingga dapat terbentuk asosiasi pengalaman sebagai stimulus untuk membentuk perilaku yang lebih baik.

Fase V (Refleksi dan Penghargaan/reward)

Pada tahap ini, siswa diarahkan untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap aktivitas yang telah dilakukan dan memikirkan upaya yang dapat dilakukan untuk mengembangkan aktivitas sehingga menjadi lebih baik. Siswa dapat melakukan evaluasi terhadap strategi pembelajaran yang diterapkan guru dan sebaliknya, guru juga dapat memberikan feedback kepada siswa. Setelah itu, guru menyampaikan penghargaan terhadap pencapaian hasil belajar siswa yang ditunjukkan selama proses interaksi serta hasil yang dicapai dari sebuah proses. Penghargaan dapat didukung oleh bukti rekaman aktivitas atau penilaian yang dilakukan oleh guru ataupun oleh siswa sendiri. Penghargaan dapat diberikan dalam bentuk pujian yang positif, sehingga dapat meningkatkan daya respon anak terhadap stimulus. Pada tahap ini pula, guru dapat memberikan suplemen materi, sebagai pengayaan yang dapat dipelajari siswa secara mandiri atau dengan bimbingan guru secara nonreguler.

Hal yang penting menjadi perhatian bagi guru dalam pembelajaran multimodel ini adalah pemeliharaan motivasi siswa agar tetap fokus dalam proses belajar. Dalam hal ini, guru harus kreatif dalam memulai proses belajar, jeli menciptakan kegiatan sela dalam setiap perpindahan fase atau pada setiap term waktu tertentu, serta cerdas dalam mengakhiri setiap fase dan menutup proses pelajaran. Menurut Given (2007), dalam sistem pembelajaran emosional, guru dituntut menciptakan iklim kelas yang kondusif bagi keamanan emosional dan hubungan pribadi untuk siswa agar mereka dapat belajar secara efektif. Guru yang memupuk sistem emosional berfungsi sebagai mentor bagi siswa dengan menunjukkan antusiasme yang tulus terhadap anak didik, dengan membantu siswa menemukan hasrat belajar, dengan membimbing mereka mewujudkan target pribadi yang masuk akal, dan mendukung mereka dalam upaya untuk menjadi apapun yang mereka bisa capai. Oleh karena itu, pelajarn harus menarik, menantang, relevan, berkaitan dengan apa sudah diketahui siswa, bisa dicapai, atau berada dalam zona perkembangan proksimal siswa.

1. Pengantar Pembelajaran Multimodel (1)

2. Hakekat Pembelajaran Multimodel (2)

3. Implementasi Pembelajaran Multimodel dalam Pembelajaran (3)

4. Manfaat Pembelajaran Multimodel bagi Pencapaian Kompetensi Anak (4)

Oleh: mbahnur | 17 Februari 2010

TINGKATKELULUSAN UAN

Kenaikan Standar Kelulusan Unas

Oleh Prof Dr H Zainuddin Maliki MSi
Ketua Dewan Pendidikan Jatim, rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya

Permendiknas No 78/2008 menetapkan standar kelulusan dalam ujian nasional (unas) 5,50 dengan nilai minimal 4,0 paling banyak di dua mapel dan 4,25 di mapel lain. Angka ini naik 0,25 dibanding tahun lalu.

Apa makna kenaikan standar kelulusan tersebut? Adakah permendiknas itu akan meningkatkan prestasi belajar siswa? Atau apakah permendiknas itu justru menjadikan unas sebagai momok yang kian menakutkan banyak pihak?

Sebelum menjawab dua pertanyaan tersebut, saya mencoba memahami karakteristik unas. Selama ini unas cenderung dikemas sebagai sistem evaluasi yang menggunakan asumsi pendidikan behavioristik.

Dalam tradisi behaviorisme, kata Mary James, evaluasi prestasi siswa dilakukan dengan melihat level hierarki prestasi, dan menekankan benar atau salah (lihat Gardner, 2006: 55).

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam bentuk objective test dengan lebih sering menggunakan sistem tertutup, seperti multiple choice, pencocokan (matching), menyempurnakan (completion), dan salah atau benar (true or false). Tes objektif dijadikan pilihan karena praktisi pendidikan behavioris memandang kekuatan menghafal siswa adalah sesuatu yang dipandang sangat penting.

Dalam melihat hierarki prestasi siswa, mereka yang berada di bawah standar karena banyak kesalahan dalam jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan, dinyatakan tidak lulus. Mereka diberi kesempatan memperbaiki pada mapel yang kurang atau tidak lulus tes formatif maupun sumatif, melalui program remedial. Pemerintah menyiapkan paket C, semacam remedial bagi mereka yang tidak lulus unas.

Dari Kognitif ke Metakognitif
Unas tak dapat dimungkiri bukan hanya memakan ongkos material yang besar, tetapi juga biaya immaterial. Hampir bisa dipastikan, peningkatan standar kelulusan ujian nasional akan mendorong peningkatan kecemasan banyak pihak. Ancaman tidak lulus kian jadi momok. Siswa, orang tua, guru, kepala sekolah, bahkan penyelenggara unas itu sendiri, akan mengalami tekanan psikologis yang semakin besar.

Seharusnya tekanan psikologis seperti itu dihadapi dengan semakin meningkatkan proses dan motivasi belajar. Namun, praktiknya tekanan psikologis itu justru dihadapi dengan sejumlah praktik perilaku menyimpang. Setiap tahun selalu muncul kasus pencurian soal, perjokian, kepala sekolah membuat tim sukses, mengajari anak-anak didiknya sendiri bekerja sama, bukan dalam kebaikan, tetapi ketika mengerjakan soal unas.

Dengan ongkos sebesar itu, unas faktanya hanya mengukur satu dimensi kecerdasan, yaitu dimensi kognitif saja dari sekian multidimensi intelegensia siswa. Walaupun unas masih mensyaratkan siswa harus lulus di ujian sekolah, betapapun bagusnya nilai ujian sekolah tidak bisa dijadikan kompensasi terhadap nilai unas yang berada di bawah standar kelulusan.

Para ahli pendidikan konstruktivistik memandang dimensi kognitif belum cukup dijadikan dasar untuk menghadapi kehidupan yang kompleks. Dimensi kognitif memang menjadikan siswa cerdas dan pintar. Namun, seperti yang digagas penganut pendidikan konstruktivistik, untuk dapat menghadapi kehidupan yang kompleks ini, siswa harus memiliki kecerdasan metakognitif, meliputi kecerdasan kognitif, afektif maupun motorik. Kehidupan yang kompleks ini tidak bisa dihadapi dengan kecerdasan tunggal, dalam hal ini kognitif saja.

Kehidupan yang kompleks membutuhkan respons berpikir secara divergent. Logika Jawa mengatakan, “pinter” saja tidak cukup, tetapi dalam menghadapi kehidupan ini orang harus “pinter-pinter”. Menggunakan istilah Mary James, cerdas kognitif saja tidak cukup, tetapi hidup ini memerlukan kecerdasan metacognitive, yakni perpaduan antara kecerdasan afektif, kognitif, maupun motorik.

Kecerdasan itulah yang memungkinkan lahirnya resilience behavior, yakni perilaku cerdas siswa dalam membangun keseimbangan menghadapi hidup dan kehidupan.

Dengan resilience behavior yang baik, siswa dapat menentukan arah hidupnya sendiri (self-directing) dalam membangun masa depan. Siswa juga dapat memonitor sendiri (self-monitoring) dengan senantiasa bersikap kritis terhadap apa yang selama ini dia lakukan. Siswa juga bisa melakukan penataan dan antisipasi sendiri (self-regulation) dalam memecahkan masalah.

Bandingkan dengan model evaluasi yang diterapkan dalam unas yang memilih memakai sistem tes objektif. Pemerintah sebagai penyelenggara unas memang diuntungkan karena pekerjaan evaluasi terhadap siswa dapat dilakukan dengan gampang. Mereka dapat menggunakan komputer untuk melakukan skoring hasil tes objektif siswa dengan cepat. Namun, siswa hanya diuntungkan dalam menguasai dan menghafal pengetahuan yang dirancang kurikulum dan silabus.

Dalam sistem tes objektif kemampuan siswa menggunakan kecerdasan kreatif mengantisipasi kehidupan nyata yang kompleks ini tidak termonitor secara pasti. Masalahnya, siswa hanya belajar apa yang ada dalam kurikulum dan silabus, tidak belajar apa yang ada dalam hidup dan kehidupan.

Padahal, apa yang ada dalam hidup dan kehidupan sungguh lebih kompleks daripada apa yang ditulis dalam kurikulum, silabus maupun bahan-bahan ajar.

Penilaian Otentik
Hanya dengan mengajari siswa tentang hidup dan kehidupanlah, output dan outcome pendidikan kita akan menghasilkan sumber daya manusia yang kompeten sehingga menjadikan ilmu pengetahuannya bermakna. Sistem evaluasi yang menggunakan objective test seperti yang dipakai unas sangat tidak memadai untuk dapat mengantarkan siswa menjadi manusia yang berkompeten, yang dapat menjadikan ilmu pengetahuan yang diperoleh bermakna untuk dirinya dan sesama.

Seperti yang dikatakan Wiggins (1998), sistem evaluasi akan efektif jika didasarkan prinsip-prinsip penilaian otentik. Penilaian dalam hal ini dilakukan dalam konteks pembelajaran yang nyata.

Lantas di dalamnya disusun model evaluasi yang mendorong siswa mampu melakukan konstruk dan rekonstruksi pengetahuan secara otentik, menumbuhkan disiplin mencari informasi, pengetahuan, dan nilai-nilai untuk memecahkan masalah. Bukan hanya memecahkan masalah di sekolah, tetapi dalam kehidupan nyata di luar sekolah.

Model penilaian otentik ini tidak mengandalkan pemberian tanda dan skoring, salah atau benar, melainkan menilai kondisi mentalitas kepribadian yang dilakukan dalam setting yang nyata, seperti penyelesaian tugas tertentu.

Misalnya, dalam menyelesaikan tugas membuat desain arsitektural, pemahaman dan pemanfaatan sumber daya alam tertentu, membaca perilaku anak jalanan, membaca akar kekerasan berikut pemecahannya, perilaku ekonomi politik komunitas tertentu, dan sebagainya.

Strategi penilaian otentik tidak mengedepankan tes objektif, melainkan lebih mengedepankan model evaluasi terfokus sehingga diketahui intensitas perkembangan pembelajaran siswa dalam periode tertentu, melihat profil siswa, membuat jurnal dan portfolio pembelajaran siswa, contoh-contoh penyelesaian tugas, penilaian kawan baya dan sekaligus self-evaluation siswa itu sendiri.

Jika strategi evaluasi menggunakan model penilaian otentik seperti itu, lebih bisa diharapkan pendidikan menghasilkan manusia yang benar-benar kompeten, baik dalam mengembangkan ilmu pengetahuan maupun dalam membangun kehidupan bermakna bagi dirinya serta sesama. (Sumber: Jawa Pos, 3 Januari 2009).

Oleh: mbahnur | 17 Februari 2010

PEMBELAJARAN KOOPERATIF

Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Share (TPS)
Strategi Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games-Tournament (TGT)

Ditulis oleh Mahmuddin di/pada Desember 23, 2009

Teams Games-Tournaments (TGT) pada mulanya dikembangkan oleh David DeVries dan Keith Edwards. Dalam TGT, para siswa dikelompokkan dalam tim belajar yang terdiri atas empat orang yang heterogen. Guru menyampaikan pelajaran, lalu siswa bekerja dalam tim mereka untuk memastikan bahwa semua anggota tim telah menguasai pelajaran (Slavi, 2008). Secara umum, pembelajaran kooperatif tipe TGT memiliki prosedur belajar yang terdiri atas siklus regular dari aktivitas pembelajaran kooperatif. Games Tournament dimasukkan sebagai tahapan review setelah setelah siswa bekerja dalam tim (sama dengan TPS).

Dalam TGT siswa memainkan game akademik dengan anggota tim lain untuk menyumbangkan poin bagi skor timnya. Siswa memainkan game ini bersama tiga orang pada “meja-turnamen”, di mana ketiga peserta dalam satu meja turnamen ini adalah para siswa yang memiliki rekor nilai IPA terakhir yang sama. Sebuah prosedur “menggeser kedudukan” membuat permainan ini cukup adil. Peraih rekor tertinggi dalam tiap meja turnamen akan mendapatkan 60 poin untuk timnya, tanpa menghiraukan dari meja mana ia mendapatkannya. Ini berarti bahwa mereka yang berprestasi rendah (bermain dengan yang berprestasi rendah juga) dan yang berprestasi tinggi (bermain dengan yang berprestasi tinggi) kedua-duanya memiliki kesempatan yang sama untuk sukses. Tim dengan tingkat kinerja tertinggi mendapatkan sertifikat atau bentuk penghargaan tim lainnya.

TGT memiliki dimensi kegembiraan yang diperoleh dari penggunaan permainan. Teman satu tim akan saling membantu dalam mempersiapkan diri untuk permainan dengan mempelajari lembar kegiatan dan menjelaskan masalah-masalah satu sama lain, tetapi sewaktu siswa sedang bermain dalam game temannya tidak boleh membantu, memastikan telah terjadi tanggung jawab individual.

Permainan TGT berupa pertanyaan-pertanyaan yang ditulis pada kartu-kartu yang diberi angka. Tiap-tiap siswa akan mengambil sebuah kartu dan berusaha untuk menjawab pertanyaan yang sesuai dengan angka yang tertera. Turnamen ini memungkinkan bagi siswa untuk menyumbangkan skor-skor maksimal buat kelompoknya. Turnamen ini juga dapat digunakan sebagai review materi pelajaran.

Dalam Implementasinya secara teknis Slavin (2008) mengemukakan empat langkah utama dalam pembelajaran dengan teknik TGT yang merupakan siklus regular dari aktivitas pembelajaran, sebagai berikut:
Step 1: Pengajaran, pada tahap ini guru menyampaikan materi pelajaran.
Step 2: Belajar Tim, para siswa mengerjakan lembar kegiatan dalam tim mereka untuk menguasai materi.
Step 3: Turnamen, para siswa memainkan game akademik dalam kemampuan yang homogen, dengan meja turnamen tiga peserta (kompetisi dengan tiga peserta).
Step 4: Rekognisi Tim, skor tim dihitung berdasarkan skor turnamen anggota tim, dan tim tersebut akan direkognisi apabila mereka berhasil melampaui kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya.

Sedangkan Pelaksanaan games dalam bentuk turnamen dilakukan dengan prosedur, sebagai berikut:
Guru menentukan nomor urut siswa dan menempatkan siswa pada meja turnamen (3 orang , kemampuan setara). Setiap meja terdapat 1 lembar permainan, 1 lbr jawaban, 1 kotak kartu nomor, 1 lbr skor permainan.
Siswa mencabut kartu untuk menentukan pembaca I (nomor tertinggi) dan yang lain menjadi penantang I dan II.
Pembaca I menggocok kartu dan mengambil kartu yang teratas.
Pembaca I membaca soal sesuai nomor pada kartu dan mencoba menjawabnya. Jika jawaban salah, tidak ada sanksi dan kartu dikembalikan. Jika benar kartu disimpan sebagai bukti skor.
Jika penantang I dan II memiliki jawaban berbeda, mereka dapat mengajukan jawaban secara bergantian.
Jika jawaban penantang salah, dia dikenakan denda mengembalikan kartu jawaban yang benar (jika ada).
Selanjutnya siswa berganti posisi (sesuai urutan) dengan prosedur yang sama.
Setelah selesai, siswa menghitung kartu dan skor mereka dan diakumulasi dengan semua tim.
Penghargaan sertifikat, Tim Super untuk kriteria atas, Tim Sangat Baik (kriteria tengah), Tim Baik (kriteria bawah)
Untuk melanjutkan turnamen, guru dapat melakukan pergeseran tempat siswa berdasarkan prestasi pada meja turnamen.

Keunggulan dan Kelemahan Pembelajaran TGT

Riset tentang pengaruh pembelajaran kooperatif dalam pembelajaran telah banyak dilakukan oleh pakar pembelajaran maupun oleh para guru di sekolah. Dari tinjuan psikologis, terdapat dasar teoritis yang kuat untuk memprediksi bahwa metode-metode pembelajaran kooperatif yang menggunakan tujuan kelompok dan tanggung jawab individual akan meningkatkan pencapaian prestasi siswa. Dua teori utama yang mendukung pembelajaran kooperatif adalah teori motivasi dan teori kognitif.

Menurut Slavin (2008), perspektif motivasional pada pembelajaran kooperatif terutama memfokuskan pada penghargaan atau struktur tujuan di mana para siswa bekerja. Deutsch (1949) dalam Slavin (2008) mengidentifikasikan tiga struktur tujuan dalam pembelajaran kooperatif, yaitu:
kooperatif, di mana usaha berorientasi tujuan dari tiap individu memberi konstribusi pada pencapaian tujuan anggota yang lain.
kompetitif, di mana usaha berorientasi tujuan dari tiap individu menghalangi pencapaian tujuan anggota lainnya.
individualistik, di mana usaha berorientasi tujuan dari tiap individu tidak memiliki konsenkuensi apa pun bagi pencapaian tujuan anggota lainnya.

Dari pespektif motivasional, struktur tujuan kooperatif menciptakan sebuah situasi di mana satu-satunya cara anggota kelompok bisa meraih tujuan pribadi mereka adalah jika kelompok mereka sukses. Oleh karena itu, mereka harus membantu teman satu timnya untuk melakukan apa pun agar kelompok berhasil dan mendorong anggota satu timnya untuk melakukan usaha maksimal.

Sedangkan dari perspektif teori kognitif, Slavin (2008) mengemukakan bahwa pembelajaran kooperatif menekankan pada pengaruh dari kerja sama terhadap pencapaian tujuan pembelajaran. Asumsi dasar dari teori pembangunan kognitif adalah bahwa interaksi di antara para siswa berkaitan dengan tugas-tugas yang sesuai mengingkatkan penguasaan mereka terhadap konsep kritik. Pengelompokan siswa yang heterogen mendorong interaksi yang kritis dan saling mendukung bagi pertumbuhan dan perkembangan pengetahuan atau kognitif. Penelitian psikologi kognitif menemukan bahwa jika informasi ingin dipertahankan di dalam memori dan berhubungan dengan informasi yang sudah ada di dalam memori, orang yang belajar harus terlibat dalam semacam pengaturan kembali kognitif, atau elaborasi dari materi. Salah satu cara elaborasi yang paling efektif adalah menjelaskan materinya kepada orang lain.

Namun demikian, tidak ada satupun model pembelajaran yang cocok untuk semua materi, situasi dan anak. Setiap model pembelajaran memiliki karakteristik yang menjadi penekanan dalam proses implementasinya dan sangat mendukung ketercapaian tujuan pembelajaran. Secara psikologis, lingkungan belajar yang diciptakan guru dapat direspon beragama oleh siswa sesuai dengan modalitas mereka. Dalam hal ini, pembelajaran kooperatif dengan teknik TGT, memiliki keunggulan dan kelemahan dalam implementasinya terutama dalam hal pencapaian hasil belajar dan efek psikologis bagi siswa.

Slavin (2008), melaporkan beberapa laporan hasil riset tentang pengaruh pembelajaran kooperatif terhadap pencapaian belajar siswa yang secara inplisit mengemukakan keunggulan dan kelemahan pembelajaran TGT, sebagai berikut:
Para siswa di dalam kelas-kelas yang menggunakan TGT memperoleh teman yang secara signifikan lebih banyak dari kelompok rasial mereka dari pada siswa yang ada dalam kelas tradisional.
Meningkatkan perasaan/persepsi siswa bahwa hasil yang mereka peroleh tergantung dari kinerja dan bukannya pada keberuntungan.
TGT meningkatkan harga diri sosial pada siswa tetapi tidak untuk rasa harga diri akademik mereka.
TGT meningkatkan kekooperatifan terhadap yang lain (kerja sama verbal dan nonberbal, kompetisi yang lebih sedikit)
Keterlibatan siswa lebih tinggi dalam belajar bersama, tetapi menggunakan waktu yang lebih banyak.
TGT meningkatkan kehadiran siswa di sekolah pada remaja-remaja dengan gangguan emosional, lebih sedikit yang menerima skors atau perlakuan lain.

Sebuah catatan yang harus diperhatikan oleh guru dalam pembelajaran TGT adalah bahwa nilai kelompok tidaklah mencerminkan nilai individual siswa. Dengan demikian, guru harus merancang alat penilaian khusus untuk mengevaluasi tingkat pencapaian belajar siswa secara individual.

« Strategi Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning)
Strategi Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games-Tournament (TGT) »
Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Share (TPS)

Ditulis oleh Mahmuddin di/pada Desember 23, 2009

Think-Pair-Share (TPS) pertama kali dikembangkan oleh Lyman pada tahun 1981. Resiko dalam pembelajaran TPS relatif rendah dan struktur pembelajaran kolaboratif pendek, sehingga sangat ideal bagi guru dan siswa yang baru belajar kolaboratif. TPS merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. TPS menghendaki siswa bekerja saling membantu dalam kelompok kecil (2-6 anggota).

TPS memiliki prosedur belajar yang terdiri atas siklus regular dari aktivitas pembelajaran kooperatif. Namun, tahapan TPS dimasukkan sebagai tahapan review setelah siswa bekerja dalam tim. Adapaun siklus regular pembelajaran yang dimaksud adalah :
tahapan pengajaran
tahapan belajar tim
tahapan TPS
tahapan penilaian
tahapan rekognisi/penghargaan.

Dalam TPS, guru menantang dengan pertanyaan terbuka dan memberi siswa setengah sampai satu menit untuk memikirkan pertanyaan itu. Hal ini penting karena memberikan kesempatan siswa untuk mulai merumuskan jawaban dengan mengambil informasi dari memori jangka panjang. Siswa kemudian berpasangan dengan satu anggota kelompok kolaboratif atau tetangga yang duduk di dekatnya dan mendiskusikan ide-ide mereka tentang pertanyaan selama beberapa menit.

Guru dalam hal ini dapat mengatur pasangan yang tidak sekelompok untuk menciptakan variasi gaya gaya belajar bagi siswa. Struktur TPS memberikan kesempatan yang sama pada semua siswa untuk mendiskusikan ide-ide mereka. Hal ini penting karena siswa mulai untuk membangun pengetahuan mereka dalam diskusi ini, di samping untuk mengetahui apa yang mereka dapat lakukan dan belum ketahui. Proses aktif ini biasanya tidak tersedia bagi siswa dalam pembelajaran tradisional.

Setelah beberapa menit guru dapat memilih secara acak pasangan yang ingin berbagi di hadapan kelas. Proses ini dapat dilakukan dengan meminta inisiatif siswa. Siswa biasanya lebih rela untuk merespon setelah mereka memiliki kesempatan untuk mendiskusikan ide-ide mereka dengan teman sekelas karena jika jawabannya salah, rasa malu dapat dirasakan bersama. Selain itu, tanggapan yang diterima sering lebih intelektual sehingga melalui proses ini siswa dapat mengubah atau merefleksi ide-ide mereka.

Struktur TPS juga meningkatkan keterampilan komunikasi lisan siswa ketika mereka mendiskusikan ide-ide mereka dengan satu sama lain. “Intermezzo” singkat ini juga dapat dijadikan kesempatan yang tepat bagi guru untuk membahas konsep yang akan didiskusikan atau dipelajari siswa pada periode berikutnya. Salah satu variasi dari struktur TPS ini adalah siswa dapat menuliskan pikiran mereka di sebuah kartu dan mengumpulkannya. Kemudian guru memberikan kesempatan kepada seluruh siswa untuk melihat apakah ada masalah dalam pemahaman mereka.

Dalam Implementasinya secara teknis Howard (2006) mengemukakan lima langkah utama dalam pembelajaran dengan teknik TPS, sebagai berikut:
Step 1 : Guru memberitahukan sebuah topik dan menyatakan berapa lama setiap siswa akan berbagi informasi dengan pasangan mereka.
Step 2 : Guru akan menetapkan waktu berpikir secara individual.
Step 3 : Dalam pasangan, pasangan A akan berbagi; pasangan B akan mendengar.
Step 4 : Pasangan B kemudian akan merespon pasangan A.
Step 5 : Pasangan berganti peran.

Howard (2006), memberikan stressing terhadap sebuah pilihan yang dapat diperhatikan pada struktur TPS ini, yaitu guru dapat menetapkan respon awal sebelum step 4. Misalnya, terima kasih atas sharingnya, satu hal saya telah pelajari dengan mendengarkan kamu …, saya senang mendengarkan kamu sebab….

Pembelajaran kooperatif besar karena otak yang berbeda memungkinkan untuk berkonsentrasi pada ide-ide yang sama. Semua siswa berasal dari orang tua yang berbeda dan karena itu mereka memiliki kekuatan dalam bidang yang berbeda, sehingga hal ini cocok untuk pembelajaran kooperatif. Dalam Pembelajaran TPS, jika siswa tidak kuat dalam sebuah topik, atau tidak sepenuhnya memahami konsep ide, pasangan mereka dapat membantu memahami dan menjelaskannya kepada mereka. Jika siswa masih tidak mengerti mereka bisa mencoba untuk memberi pemahaman secara sederhana dan akrab. Biasanya dua otak bekerja lebih baik dari pada satu.

Pembelajaran TPS dapat mengembangkan kemampuan mengungkapkan idea tau gagasan dengan kata-kata secara verbal dan membandingkannya dengan ide-ide orang lain. Membantu siswa untuk respek pada orang lain dan menyadari akan segala keterbatasannya serta menerima segala perbedaan. Siswa dapat mengembangkan kemampuan untuk menguji ide dan pemahamannya sendiri dan menerima umpan balik. Interaksi yang terjadi selama pembelajaran dapat meningkatkan motivasi dan memberi rangsangan untuk berpikir sehingga bermanfaat bagi proses pendidikan jangka panjang.

Pembelajaran TPS juga mengembangkan keterampilan, yang sangat penting dalam perkembangan dunia saat ini. Pembelajaran TPS bisa mengajarkan orang untuk bekerja bersama-sama dan lebih efisien, biasanya kegiatan praktik perlu dilakukan dalam jangka waktu tertentu. Dengan bekerja sama, dua orang dapat menyelesaikan sesuatu lebih cepat.

Kerugian diperoleh dengan pembelajaran kooperatif (khususnya TPS) sering didapatkan oleh siswa-siswa malas. Kadang-kadang satu orang yang tersisa dengan semua pekerjaan karena pasangan mereka tidak memberi bantuan. Biasanya dengan kerjasama dalam TPS yang diberikan adalah untuk dua orang. Kelemahan yang diperoleh adalah jika pasangan siswa tidak memahami informasi sama sekali, siswa dapat diperlambat, hanya karena dia harus menjelaskan semua materi sebelum dia benar-benar dapat memulai menyelesaikan masalah atau melakukan instruksi yang diberikan.

Kelemahan ketiga ditemukan dengan pembelajaran TPS adalah pemaksa siswa. Kadang-kadang siswa dapat terjebak dengan orang yang harus melakukan semua pekerjaan, dan tidak akan memperlambat mereka. Dalam beberapa kasus ini bisa baik, jika orang yang malas dipasangkan dengan orang yang ambisius dan tidak ada yang marah. Tapi itu memunculkan poin lain yang baik, karena kadang-kadang siswa membutuhkan pengalaman benturan kepribadian orang lain. Dalam beberapa kasus waktu yang dibutuhkan untuk praktik tidak terduga, karena siswa menghabiskan lebih banyak waktu dalam perbedaan daripada waktu yang digunakan dalam melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya.

Bagi para guru yang berencana untuk menggunakan pembelajaran kooperatif TPS dalam kelas, mereka harus melakukannya. Meskipun ada beberapa kelemahan, pembelajaran kooperatif dipercaya dalam jangka panjang keuntungan dapat diperoleh jauh lebih besar dari kerugiannya. Hal yang perlu diperhatikan adalah guru harus jeli melihat dan memasangkan siswa. Siswa memang harus mampu mengatasi perbedaan satu sama lain, tetapi hal ini tidak selalu terjadi. Siswa juga sebaiknya tidak memilih pasangan mereka, akan tetapi keterlibatan siswa dalam penetapan kelompok guru dapat meminta siswa menulis di selembar kertas lima nama yang mereka tidak keberatan bekerja bersama. Guru kemudian dapat memasangkan siswa sesuai dengan cara ini untuk menyelesaikan pekerjaan.

« Pembelajaran Berbasis Peta Pikiran (Mind Mapping)
Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Share (TPS) »
Strategi Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning)

Ditulis oleh Mahmuddin di/pada Desember 22, 2009

Perkembangan peradaban kehidupan manusia secara perspektif menuntut kecakapan hidup sebagaimana trend kebutuhan dalam era kehidupan global saat ini. Interaksi kehidupan manusia terjadi secara global, memungkinkan terjadinya banyak benturan baik yang bersifat budaya maupun kepribadian. Budaya dan kepribadian manusia sesungguhnya banyak dipengaruhi oleh keyakinan dan tingkat pengetahuan yang diperoleh dari proses pendidikan. Dengan demikian, anak sepatutnya mendapatkan pendidikan tentang budaya kehidupan global dengan bekal kemampuan interaksi dan kolaborasi yang baik.

Kurikulum pendidikan nasional tahun 2006, menetapkan prinsip pelaksanaan kurikulum didasarkan pada potensi, karakteristik, perkembangan dan kondisi peserta didik untuk menguasai kompetensi yang berguna bagi dirinya. Dalam hal ini siswa harus mendapatkan pelayanan pendidikan memberi kesempatan untuk mengekspresikan dirinya secara bebas, dinamis dan menyenangkan dengan menegakkan pilar belajar hidup dalam kebersamaan dengan saling berbagi dan saling menghargai. Pembelajaran secara konstruktif dapat memberikan pengakuan terhadap pandangan dan pengalaman siswa dalam menghadapi dan menyelesaikan situasi yang tidak tentu. Untuk mewujudkan prinsip pelaksanaan kurikulum tersebut di atas, pembelajaran harus dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan multistrategi, multimedia dan multiresource.

Salah satu strategi yang dapat diterapkan dalam pembelajaran di kelas adalah pembelajaran kooperatif. Pembelajaran kooperatif telah dikembangkan melalui riset ilmiah diberbagai negara di dunia, sehingga sitematikanya dapat diterapkan disemua tingkat pendidikan dan di semua mata pelajaran termasuk Ilmu Pengetuan Alam (Biologi). Strategi pembelajaran kooperatif telah dikembangkan dalam berbagai tipe variasi, di antaranya adalah Think-Pair-Share, Students Teams Achievement Devition, Teams Games-Turnament, Jigsaw, dan sebagainya. Tipe pembelajaran tersebut memiliki penekanan yang berbeda tetapi semuanya masih dalam konsep regular dari pembelajaran kooperatif. Misalnya, Think-Pair-Share memiliki penekanan terhadap pengembangan kemampuan siswa menguji ide dan pemahamannya sendiri dan menerima umpan balik. Sedangkan Teams Games-Tournament menekankan pada tanggung jawab individu dalam berkonstribusi terhadap kesuksesan kelompok dalam suasana kompetitif.

Hakikat Pembelajaran Kooperatif

Menurut Kagan (1994) pembelajaran kooperatif adalah strategi pengajaran yang sukses di mana tim kecil, masing-masing dengan siswa dari tingkat kemampuan yang berbeda, menggunakan berbagai aktivitas belajar untuk meningkatkan pemahaman mereka tentang suatu subjek. Setiap anggota tim bertanggung jawab tidak hanya untuk belajar apa yang diajarkan tetapi juga untuk membantu rekan belajar, sehingga menciptakan suasana prestasi bersama-sama. Students work through the assignment until all group members successfully understand and complete it. Siswa bekerja melalui penugasan sampai semua anggota kelompok berhasil memahami dan menyelesaikannya.

Pembelajaan kooperatif dikembangkan berdasarkan teori perkembangan kognitif Vygotsky. Dalam teorinya, Vygotsky percaya bahwa anak aktif dalam menyusun pengetahuan mereka. Menurut Santrock (2008), ada tiga klaim dalam inti pandangan Vigotsky, yaitu (1) keahlian kognitif anak dapat dipahami apabila dianalisa dan diinterpretasikan secara developmental; (2) kemampuan kognitif dimediasi dengan kata, bahasa dan bentuk diskursus, yang berfungsi sebagai alat psikologis untuk membantu dan mentransformasikan aktivitas mental; dan (3) kemampuan kognitif berasal dari relasi sosial dan dipengaruhi oleh latar belakang sosiokultural. Implementasi teori Vygotsky untuk pendidikan anak mendorong pelaksanaan pengajaran yang menggunakan strategi pembelajaran kolaboratif atau pembelajaran kooperatif.

Dari tinjauan psikologi belajar, Djamarah (2008) mengemukakan bahwa belajar merupakan serangkaian kegiatan jiwa raga untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya yang menyangkut kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dalam pengertian tersebut, belajar melibatkan dua unsur penyusun tubuh manusia, yaitu jiwa dan raga. Untuk mendapatkan perubahan, gerak raga harus sejalan dengan proses jiwa. Dengan demikian, perubahan yang diperoleh bukanlah perubahan fisik, tetapi perubahan jiwa dengan gerakan fisik sebagai sebab masuknya kesan-kesan baru.

Dari tinjauan fisiologi otak, neuron-neuron yang berperan dalam pemrosesan informasi membentuk modul-modul yang saling berhubungan dan membentuk jalur majemuk yang pada gilirannya membentuk daerah atau komunitas korteks. Setiap modul memiliki rancangan genetic khusus yang menjadikannya ahli dalam satu aena interaksi dengan dunia. Beberapa sirkuit memproses sejumlah emosi, beberapa memproses interaksi sosial, beberapa memproses indrawi, dan lainyya menangani pikiran atau hal-hal terkait dengan gerakan, warna dan sebagainya. Oleh karena semua sistem kompleks ini memproses informasi secara khusus, maka disebut sebagai sistem pembelajaran (Given, 2007).

Sistem pembelajaran dipandu oleh kode genetik dan dipengaruhi oleh input lingkungan dalam membentuk pola respons. Aspek genetik merupakan aspek bawaan dan bersifat permanen sedangkan input lingkungan yang paling kuat adalah pola pengasuhan dalam hal ini orang tua dan guru. Struktur dalam pembelajaran kooperatif, memberikan peluang yang sangat tinggi dalam mengembangkan lima sistem pembelajaran primer anak, yaitu emosional, sosial, kognitif, fisik dan reflektif.

Menurut Given (2007), untuk meningkatkan efektivitas belajar, guru perlu menciptakan iklim kelas yang kondusif bagi keamanan emosional dan hubungan pribadi untuk siswa. Guru yang memupuk sistem emosional berfungsi sebagai mentor bagi siswa dengan menunjukkan antusiasme yang tulus terhadap anak didik, dengan menemukan hasrat untuk belajar, dengan membimbing mereka mewujudkan target pribadi yang masuk akal, dan mendukung mereka dalam upaya menjadi apapun yang bisa mereka capai. Jika pembelajaran memenuhi kriteria ini, maka kecemasan akademis diperkecil dan sistem emosional siswa siap untuk belajar.

Kecenderungan alamiah sistem pembelajaran sosial adalah hasrat untuk menjadi bagian dari kelompok, dihormati dan menikmati perhatian dari yang lain. jika sistem emosioanl bersifat pribadi, berpusat pada diri dan internal, maka sistem sosial berfokus pada interaksi dengan orang lain atau pengalaman interpersonal. Kebutuhan sosial siswa menuntut sekolah dikelola menjadi komunitas pelajar, tempat guru dan siswa bisa bekerja sama dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah yang nyata. Dengan berfokus pada kelebihan siswa dalam konteks kelas, kita menerima perbedaan sebagai berkah individual untuk dihormati, dan bukan sebagai perbedaan yang harus diperbaiki. Cara ini dapat memaksimalkan perkembangan sosial melalui kerja sama tulus anta-individu, perbedaan di antara mereka justru menciptakan petualangan kreatif dalam pemecahan masalah.

Menurut Given (2007), sistem pembelajaran kognitif otak berhubungan dengan mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan perkembangan kecakapan akademis lainny. Sistem kognitif mengandalkan input sensoris, dan berfungsinya perhatian, pemrosesan informasi, dan beberapa subsistem memori secara memadai untuk mengontsruksi pengetahuan dan kecakapan. Perhatian pada sistem kognitif menempatkan guru pada peran fasilitator pembelajaran dan siswa pada peran pemecah masalah dan pengambil keputusan nyata. Sistem kognitif berfungsi paling baik jika sistem lain yakni emosional, sosial, fisik dan reflektif tidak bersaing dalam menarik perhatian. Jika sistem emosional dan sosial tertekan, sistem kognitif kehilangan kemampuan untuk memusatkan perhatian pada upaya mengatasi masalah dan membuat keputusan akademis. Dengan demikian, memperoleh kecakapan dan pengetahuan menjadi prioritas kedua dan ketiga dalam sistem operasi majemuk pikiran.

Pembelajaran juga sangat tergantung pada kebutuhan sistem pembelajaran fisik untuk melakukan banyak hal, serta kecenderungan siswa untuk terlibat dalam pembelajaran. Meskipun sebagian siswa menghindari pembelajaran tactual dan kinestetik, namun siswa lain bisa menikmati pembelajaran hanya jika modalitas ini dilibatkan. Sistem pembelajaran fisik menyukai tugas akademik yang menantang yang mirip olah raga, dan perlu terlibat aktif karena sistem ini tidak bisa memproses informasi secara pasif.

Sedangkan sistem pembelajaran reflektif melibatkan pertimbangan pribadi terhadap pembelajarannya sendiri. Sistem ini menuntut siswa untuk memahami diri sendiri, dan ini bisa dikembangkan dengan pelbagai cara pembelajaran. Sebagai contoh, menyimpan catatan prestasi dan interpretasi kemajuan siswa bisa menjadi petunjuk tentang sistem dan subsistem pembelajaran yang paling efektif untuk anak tertentu. untuk mengoptimalkan perkembangan sistem pembelajaran reflektif, otak perlu mendapatkan instruksi eksplisit dalam pemantauan diri dan analisis kinerja. Disinilah peran guru dalam bertindak sebagai pencari bakat yang mengenali kelebihan siswa, kemudian membimbing dan memupuk kelebihan itu menjadi bakat nyata.

Aspek penting lain yang dapat mempengaruhi efektivitas sistem kognitif di kelas adalah guru. Guru harus menunjukkan minat dan memahami dengan baik kandungan materi yang diajarkan. Jika siswa merasa bahwa guru antusias terhadap materinya, antusiasme itu menular karena dapat mendorong hasrat kuat untuk belajar dan meraih prestasi akademis. Guru pun harus menunjukkan penerimaan dan penghargaan terhadap siswa berdasarkan kelebihan dan gaya belajar yang disukai masing-masing.

Pembelajaran kooperatif dirancang untuk dapat mengakomodasi kelima sistem pembelajaran yang terdapat dalam kompleks korteks otak. Dengan rancangan pembelajaran berkelompok dalam kelas, siswa mendapat peluang mengembangkan kemampuan dan potensi diri melalui aktivitas individual dan kolaboratif yang proporsional. Menurut Slavin (2008), pembelajaran kooperatif merupakan strategi yang efektif untuk meningkatkan prestasi terutama jika disediakan penghargaan tim atau kelompok dan tanggung jawab individual.

Penghargaan atau pengakuan diberikan kepada kelompok sehingga anggota kelompok dapat memahami bahwa membantu orang lain adalah demi kepentingan mereka juga. Sedangkan tanggung jawab individual merupakan bentuk akuntabilitas individu di mana setiap orang memiliki kontribusi yang penting bagi tim atau kelompok. Metode pembelajaran kooperatif telah sering digunakan oleh para guru di sekolah selama bertahun-tahun dalam bentuk kelompok laboratorium, kelompok tugas, kelompok diskusi dan sebagainya. Namun, penelitian terakhir di Amerika dan beberapa negara lain telah menciptakan metode-metode pembelajaran kooperatif yang sistematis dan praktis yang ditujukan unutk digunakan sebagai elemen utama dalam pola pengaturan di kelas.

Elemen Pembelajaran Kooperatif

Hanya dalam kondisi tertentu bahwa usaha-usaha koperatif dapat diharapkan untuk menjadi lebih efektif dan produktif daripada upaya kompetitif dan individualistis. Oleh karena itu, pembelajaran kooperatif di desain sebagai pola pembelajaran yang dibangun oleh lima elemen penting sebagai prasyarat, sebagai berikut:
Saling ketergantungan secara positif (Positive Interdependence). Bahwasanya setiap anggota tim saling membutuhkan untuk sukses. Sekecil apapun perannya, sebuah tim membutuhkan saling ketergantungan dengan individu lain. Ibarat pepatah, tenggelam atau berenang bersama-sama.
Interaksi langsung (Face-to-Face Interaction). Memberikan kesempatan kepada siswa secara individual untuk saling membantu dalam memecahkan masalah, memberikan umpan balik yang diperlukan antar anggota untuk semua individu, dan mewujudkan rasa hormat, perhatian, dan dorongan di antara individu-individu sehinga mereka termotivasi untuk terus bekerja pada tugas yang dihadapi.
Tanggung jawab individu dan kelompok (Individual & Group Accountability). Bahwasanya tujuan belajar bersama adalah untuk menguatkan kemampuan akademis siswa, sehingga kontribusi siswa harus adil. Guru perlu mengatur struktur kelompok agar tidak ada siswa yang tidak berkontribusi, sehingga tanggung jawab seorang siswa tidak boleh dilebihkan dari yang lain. Dalam kelompok, tidak ada menumpang dan tidak ada bermalas-malasan.
Keterampilan interpersonal dan kelompok kecil (Interpersonal & small-Group Skills). Asumsi bahwa siswa akan secara aktif mendengarkan, menjadi hormat dan perhatian, berkomunikasi secara efektif, dan dapat dipercaya tidak selalu benar. Sering kali, kita harus menyisihkan waktu untuk memperhatikan hal ini dan menunjukkan bahwa keterampilan kerja sama tim sangat penting untuk mencapai tujuan pembelajaran. Salah satu cara untuk meningkatkan kerja sama tim dan keterampilan sosial siswa adalah untuk menyisihkan waktu secara berkala untuk membahas hal ini dengan siswa. Keterampilan sosial harus mengajarkan kepemimpinan, pengambilan keputusan, membangun kepercayaan, komunikasi, keterampilan manajemen konflik.
Proses kerja kelompok (group processing). Proses kerja kelompok memberikan umpan balik kepada anggota kelompok tentang partisipasi mereka, memberikan kesempatan untuk meningkatkan keterampilan pembelajaran kolaboratif anggota, membantu untuk mempertahankan hubungan kerja yang baik antara anggota, dan menyediakan sarana untuk merayakan keberhasilan kelompok. One strategy is to ask each team to list three things the group has done well and one that needs improvement (Smith, 1996). Salah satu strateginya adalah meminta setiap tim untuk mendaftar tiga hal telah lakukan dengan baik oleh kelompok dan satu yang perlu perbaikan. Guru juga dapat mendorong proses kerja bagi kelas, dengan mengamati kelompok-kelompok dan memberikan umpan balik yang baik untuk kelompok-kelompok individu atau ke seluruh kelas.

Lingkungan Belajar dan Prosedur Pembelajaran

Lingkungan belajar untuk pembelajaran kooperatif dicirikan oleh peran aktif siswa dalam menemukan apa yang harus dipelajari dan bagaimana mempelajarinya. Iklim demokratis dikembangkan oleh guru dalam mengambil keputusan terhadap pemecahan masalah yang timbul dalam pembelajaran. Dalam pembentukan kelompok, guru menerapkan suatu struktur dengan memperhatikan heterogenitas kemampuan, jenis kelamin, suku, kelas sosial, agama, kepribadian, usia, bahasa dan lain sebagainya. Semua prosedur didefinisikan secara baik sehingga semua siswa memahaminya. Namun, siswa diberi kebebasan dalam mengendalikan aktivitas mereka di dalam kelompoknya untuk mencapai tujuan yang ditargetkan bersama.

Pembelajaran kooperatif berbeda dengan strategi pembelajaran yang lain. pembelajaran tersebut dapat dilihat dari proses pembelajaran yang lebih menekankan pada proses kerja sama dalam kelompok. Dalam pembelajaran kooperatif, tujuan yang diingin dicapai bukan hanya tujuan akademik atau pengetahuan akan konten (kompetensi), akan tetapi juga unsur kerja sama dalam upaya penguasaan kompetensi tersebut. Penekanan pada kerja sama inilah yang menjadi ciri khas dari pembelajaran kooperatif (Sanjaya, 2009).

Menurut Sanjaya (2009), prosedur pembelajaran kooperatif pada prinsipnya terdiri atas empat tahap, yaitu:
penjelasan materi : proses penyampaian pokok-pokok materi pelajaran sebelum siswa siswa belajar dalam kelompok. Tahapan bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada siswa terhadap pokok materi pelajaran. Pada tahap ini, guru memberikan gambaran umum tentang materi pelajaran yang harus dikuasai yang selanjutnya siswa akan diperdalam pada pembelajaran kelompok. Guru dapat menggunakan metode ceramah, brainstorming, tanya jawab, presentasi atau demonstrasi. Penggunaan media dalam hal ini sangat penting agar penyajian dapat lebih menarik.
belajar dalam kelompok: pada tahap ini siswa bekerja dalam kelompoknya masing-masing yang telah dibentuk sebelumnya. Kelompok dibentuk secara heterogen dan mengakomodasi sebanyak mungkin variable pembeda. Melalui pembelajaran dalam kelompok, siswa didorong untuk melakukan tukar-menukar informasi dan pendapat, mendiskusikan permasalahan secara bersama, membandingkan jawaban mereka, dan mengoreksi hal-hal yang kurang tepat.
penilaian: Penilaian dalam pembelajaran kooperatif dapat dilakukan dalam bentuk tes atau kuis. Penilaian dapat dilakukan secara individual maupun secara kelompok. Penilaian individual akan memberikan informasi kemampuan setiap siswa secara individu, dan penilaian kelompok akan memberikan informasi kemampuan setiap kelompok. Hasil akhir penilaian dapat mengekuilibrasi penilaian individu dan penilaian kelompok. Nilai setiap kelompok memiliki nilai yang sama terhadap semua anggota kelompoknya, karena nilai kelompok merupakan hasil kerja sama setiap kelompok.
pengakuan tim: Pada tahap ini, guru memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap siswa. Di mana penetapan tim yang dianggap paling menonjol dan berprestasi untuk kemudian diberikan perhargaan. Pengakuan dan pemberian penghargaan diharapkan dapat memotivasi siswa dan tim untuk terus membangkitkan semangat berprestasi.

Dalam implementasinya, efektivitas keempat prinsip dalam prosedur pembelajaran kooperatif dapat dikembangkan menjadi enam fase pembelajaran. Ke enam fase pembelajaran tersebut dapat disajikan dalam table di bawah ini.

Table 1. Sintaks strategi pembelajaran kooperatif (sumber: http://ktiptk.blogspirit.com/archive/2009/01/26/tgt.html)
Fase- Fase
Tingkah Laku Guru
Fase 1Menyampaikan tujuan dan motivasi siswa Guru menyampaikan tujuan pelajaran yang ingin dicapai danmemotivasi siswa
Fase 2Menyajikan informasi Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan
Fase 3Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan embantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien
Fase 4Membimbing kelompok bekerja dan belajar Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka
Fase 5Evaluasi Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya
Fase 6Memberikan penghargaan Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu atau kelompok

Oleh: mbahnur | 17 Februari 2010

PENDEKATAN SAVI

PENDEKATAN SAVI

Anak kecil adalah pembelajar yang hebat karena mereka menggunakan seluruh tubuh dan semua indra untuk belajar. Dapatkah kita membayangkan seorang anak kecil mempelajari sesuatu sambil duduk diruang kelas untuk jangka waktu yang lama. Belajar beerdasarkan aktifitas berarti bergerak aktif secara fisik ketika belajar, dengan memanfaatkan indra sebanyak mungkin dan membuat seluruh tubuh/ pikiran terlibat dalam proses pembelajaran. (Dave Meier, 2005) .
Pembelajaran tidak otomatis meningkat dengan menyuruh anak berdiri dan bergerak. Akan tetapi menggabungkan gerak fisik dengan aktivitas intelektual dan pengunaan semua indra dapat berpengaruh besar terhadap pembelajaran. Pendekatan belajar seperti tersebut dinamakan dengan pendekatan SAVI. Unsur-unsurnya mudah di ingat, yaitu:
1. Somatis : Belajar dengan bergerak dan berbuat
2. Auditori : Belajar dengan berbicara dan mendengar
3. Visual : Belajar dengan mengamati dan menggambarkan
4. Intelektual : Belajar dengan memecahakan masalah dan merenung

Penelitian dr. Vernon magnesen, dari Universitas Texas tentang ingatan, memberikan gambaran yang dapat diilustrasikan sebagai berikut :

Bobbi De Porter, dkk, 2005, dalam bukunya Quantum Learning, mengemukakan tiga (3) modalitas belajar yang dimiliki seseorang. Ketiga modalitas tersebut adalah modalitas visual, modalitas auditoral, dan modalitas kinistetik (somatis). Pelajar visual belajar melalui apa yang mereka lihat, pelajar auditorial melakukan melalui apa yang mereka dengar, dan pelajaran kinestetik belajar lewat gerak dan sentuhan.
Beberapa ciri-ciri yang mencerminkan gaya belajar tersebut adalah:
a. Belajar visual senang menggambar diagram, gambar, dan grafik, serta menonton film. Mereka juga suka membaca kata tertulis, buku, poster berslogan, bahan belajar berupa teks tertulis yang jelas.
b. Pembelajaran auditori dengan mendengar informasi baru melalui penjelasan lisan, komentar dan kaset. Mereka senang membaca teks kunci dan merekamnya di kaset
c. Pembelajaran fisik (somatis) senang pembelajaran praktik supaya bisa langsung mencoba sendiri. Mereka suka berbuat saat belajar, misalnya: menggaris bawahi,mencorat-coret, menggambarkan, (Colin Rose, 2003)

Dave Meier, 2005 , menambahkan satu lagi gaya belajar intelektual. Gaya belajar intelektual bercirikan sebagai pemikir. Pembelajar menggunakan kecerdasan untuk merenungkan suatu pengalaman dan menciptakan hubungan, makna, rencana, dan nilai dari pengalaman tersebut. “ Intelektual” adalah bagian diri yang merenung, mencipta, memecahkan masalah, dan membangun makna. Itulah sarana yang digunakan pikiran untuk mengubah pengalaman menjadi pengetahuan, pengetahuan menjadi pemahaman, dan pemahaman menjadi kearifan.

Dibawah ini adalah beberapa contoh bagaimana membuat aktifitas sesuai dengan cara belajar/ gaya belajar siswa:

Gaya belajar
Aktifitas

Somatis
Orang dapat bergerak ketika mereka:

1. Membuat model dalam suatu proses atau prosedur

2. Menciptakan piktogram dan periferalnya

3. Memeragakan suatu proses, sistem, atau seperangkat konsep

4. Mendapatkan pengalaman lalu menceritakannya dan merefleksikannya

5. Menjalankan pelatihan belajar aktif (simulasi, permainan belajar dan lain-lain)

6. Melakukan kajian lapangan. Lalu tulis, gambar, dan bicarakan tentang apa yang dipelajari.

Auditori
Berikut ini gagasan-gagasan awal untuk meningkatkan sarana auditori dalam belajar

1. Ajaklah pembelajar membaca keras-keras dari buku panduan dan komputer

2. Ceritakanlah kisah-kisah yang mengandung materi pembelajaran yang terkandung didalam buku pembelajaran yang dibaca mereka

3. Mintalah pembelajar berpasang-pasangan menbincangkan secara terperinci apa yang mereka baru saja mereka pelajari dan bagaimana mereka akan menerapkanya

4. Mintalah pembelajar mempraktikkan suatu ketrampilan atau memperagakan suatu fungsi sambil mengucapkan secara singkat dan terperinci apa yang sedang mereka kerjakan

5. Mintalah pembelajar berkelompok dan bicara non stop saat sedang menyusun pemecahan masalah atau membuat rencana jangka panjang

Visual
Hal-hal yang dapat dilakukan agar pembelajaran lebih visual adalah:

1. Bahasa yang penuh gambar (metafora, analogi)

2. Grafik presentasi yang hidup

3. Benda 3 dimensi

4. Bahasa tubuh yang dramatis

5. Cerita yang hidup

6. Kreasi piktrogram (oleh pembelajar)

7. Pengamatan lapangan

8. Dekorasi berwarna-warni

9. Ikon alat bantu kerja

Intelektual
Aspek intelektual dalam belajar akan terlatih jika kita mengajak pembelajaran tersebut dalam aktivitas seperti:

1. Memecahkan masalah

2. Menganalisis pengalaman

3. Mengerjakan perencanaan strategis

4. Memilih gagasan kreatif

5. Mencari dan menyaring informasi

6. Merumuskan pertanyaan

7. Menerapkan gagasan baru pada pekerjaan

8. Menciptakan makna pribadi

9. Meramalkan inplikasi suatu gagasan

Belajar bisa optimal jika keempat unsur SAVI ada dalam suatu peristiwa pembelajaran. Pembelajar dapat meningkatkan kemampuan mereka memecahkan masalah (Intelektual) jika mereka secara simultan menggerakan sesuatu (Somatis) untuk menghasilkan piktogram atau pajangan tiga dimensi (Visual) sambil membicarakan apa yang sedang mereka kerjakan (Auditori). Menggabungkan keempat modalitas belajar dalam satu peristiwa pembelajaran adalah inti dari Pembelajaran Multi Indriawi.

Model Pembelajaran SAVI

April 22, 2009 oleh Herdian,S.Pd.

MODEL PEMBELAJARAN SAVI

A. Landasan Teori

SAVI singkatan dari Somatic, Auditori, Visual dan Intektual. Teori yang mendukung pembelajaran SAVI adalah Accelerated Learning, teori otak kanan/kiri; teori otak triune; pilihan modalitas (visual, auditorial dan kinestetik); teori kecerdasan ganda; pendidikan (holistic) menyeluruh; belajar berdasarkan pengelaman; belajar dengan symbol. Pembelajaran SAVI menganut aliran ilmu kognitif modern yang menyatakan belajar yang paling baik adalah melibatkan emosi, seluruh tubuh, semua indera, dan segenap kedalaman serta keluasan pribadi, menghormati gaya belajar individu lain dengan menyadari bahwa orang belajar dengan cara-cara yang berbeda. Mengkaitkan sesuatu dengan hakikat realitas yang nonlinear, nonmekanis, kreatif dan hidup.

B. Prinsip Dasar

Dikarenakan pembelajaran SAVI sejalan dengan gerakan Accelerated Learning (AL), maka prinsipnya juga sejalan dengan AL yaitu:

1) pembelajaran melibatkan seluruh pikiran dan tubuh

2) pembelajaran berarti berkreasi bukan mengkonsumsi.

3) kerjasama membantu proses pembelajaran

4) pembelajaran berlangsung pada benyak tingkatan secara simultan

5) belajar berasal dari mengerjakan pekerjaan itu sendiri dengan umpan balik.

6) emosi positif sangat membantu pembelajaran.

7) otak-citra menyerap informasi secara langsung dan otomatis.

C. Karakteristik

Sesuai dengan singkatan dari SAVI sendiri yaitu Somatic, Auditori, Visual dan Intektual, maka karakteristiknya ada empat bagian yaitu:

1) Somatic

”Somatic” berasal dari bahasa yunani yaitu tubuh – soma. Jika dikaitkan dengan belajar maka dapat diartikan belajar dengan bergerak dan berbuat. Sehingga pembelajaran somatic adalah pembelajaran yang memanfaatkan dan melibatkan tubuh (indera peraba, kinestetik, melibatkan fisik dan menggerakkan tubuh sewaktu kegiatan pembelajaran berlangsung).

2) Auditori

Belajar dengan berbicara dan mendengar. Pikiran kita lebih kuat daripada uyang kita sadari, telinga kita terus menerus menangkap dan menyimpan informasi bahkan tanpa kita sadari. Ketika kita membuat suara sendiri dengan berbicara beberapa area penting di otak kita menjadi aktif. Hal ini dapat diartikan dalam pembelajaran siswa hendaknya mengajak siswa membicarakan apa yang sedang mereka pelajari, menerjemahkan pengalaman siswa dengan suara. Mengajak mereka berbicara saat memecahkan masalah, membuat model, mengumpulkan informasi, membuat rencana kerja, menguasai keterampilan, membuat tinjauan pengalaman belajar, atau menciptakan makna-maknan pribadi bagi diri mereka sendiri.

3) Visual

Belajar dengan mengamati dan menggambarkan. Dalam otak kita terdapat lebih banyak perangkat untuk memproses informasi visual daripada semua indera yang lain. Setiap siswa yang menggunakan visualnya lebih mudah belajar jika dapat melihat apa yang sedang dibicarakan seorang penceramah atau sebuah buku atau program computer. Secara khususnya pembelajar visual yang baik jika mereka dapat melihat contoh dari dunia nyata, diagram, peta gagasan, ikon dan sebagainya ketika belajar.

4) Intektual

Belajar dengan memecahkan masalah dan merenung. Tindakan pembelajar yang melakukan sesuatu dengan pikiran mereka secara internal ketika menggunakan kecerdasan untuk merenungkan suatu pengalaman dan menciptakan hubungan, makna, rencana, dan nilai dari pengalaman tersebut. Hal ini diperkuat dengan makna intelektual adalah bagian diri yang merenung, mencipta, dan memecahkan masalah.

D. Kerangka Perencanaan Pembelajaran SAVI

Pembelajaran SAVI dapat direncanakan dan kelompok dalam empat tahap:

1) Tahap persiapan (kegiatan pendahuluan)

Pada tahap ini guru membangkitkan minat siswa, memberikan perasaan positif mengenai pengalaman belajar yang akan datang, dan menempatkan mereka dalam situasi optimal untuk belajar.

Secara spesifik meliputi hal:

a) memberikan sugesi positif

b) memberikan pernyataan yang memberi manfaat kepada siswa

c) memberikan tujuan yang jelas dan bermakna

d) membangkitkan rasa ingin tahu

e) menciptakan lingkungan fisik yang positif.

f) menciptakan lingkungan emosional yang positif

g) menciptakan lingkungan sosial yang positif

h) menenangkan rasa takut

i) menyingkirkan hambatan-hambatan belajar

j) banyak bertanya dan mengemukakan berbagai masalah

k) merangsang rasa ingin tahu siswa

l) mengajak pembelajar terlibat penuh sejak awal.

2) Tahap Penyampaian (kegiatan inti)

Pada tahap ini guru hendaknya membantu siswa menemukan materi belajar yang baru dengan cara menari, menyenangkan, relevan, melibatkan pancaindera, dan cocok untuk semua gaya belajar.

Hal- hal yang dapat dilakukan guru:

a) uji coba kolaboratif dan berbagi pengetahuan

b) pengamatan fenomena dunia nyata

c) pelibatan seluruh otak, seluruh tubuh

d) presentasi interaktif

e) grafik dan sarana yang presentasi brwarna-warni

f) aneka macam cara untuk disesuaikan dengan seluruh gaya belajar

g) proyek belajar berdasar kemitraan dan berdasar tim

h) latihan menemukan (sendiri, berpasangan, berkelompok)

i) pengalaman belajar di dunia nyata yang kontekstual

j) pelatihan memecahkan masalah

3) Tahap Pelatihan (kegiatan inti)

Pada tahap ini guru hendaknya membantu siswa mengintegrasikan dan menyerap pengetahuan dan keterampilan baru dengan berbagai cara.

Secara spesifik, yang dilakukan guru yaitu:

a) aktivitas pemrosesan siswa

b) usaha aktif atau umpan balik atau renungan atau usaha kembali

c) simulasi dunia-nyata

d) permainan dalam belajar

e) pelatihan aksi pembelajaran

f) aktivitas pemecahan masalah

g) refleksi dan artikulasi individu

h) dialog berpasangan atau berkelompok

i) pengajaran dan tinjauan kolaboratif

j) aktivitas praktis membangun keterampilan

k) mengajar balik

4) Tahap penampilan hasil (kegiatan penutup)

Pada tahap ini guru hendaknya membantu siswa menerapkan dan memperluas pengetahuan atau keterampilan baru mereka pada pekerjaan sehingga hasil belajar akan melekat dan penampilan hasil akan terus meningkat.

Hal –hal yang dapat dilakukan adalah:

a) penerapan dunia nyata dalam waktu yang segera

b) penciptaan dan pelaksanaan rencana aksi

c) aktivitas penguatan penerapan

d) materi penguatan prsesi

e) pelatihan terus menerus

f) umpan balik dan evaluasi kinerja

g) aktivitas dukungan kawan

h) perubahan organisasi dan lingkungan yang mendukung.

Sumber Bacaan:

DePorter, Bobbi. 2005. Quantum Teaching: Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang Kelas. Editor, Mike Hernacki. Diterjemahkan oleh Ary Nilandari. Bandung: Kaifa.

Meier, Dave. 2005. The Accelerated Learning Handbooks: Panduan Kreatif dan Efektif Merancang Program Pendidikan dan Pelatihan. Diterjemahkan oleh Rahmani Astuti. Bandung: Kaifa.

Sugiyanto. 2008. Model-Model Pembelajaran Inovatif. Surakarta: Panitia Sertifikasi Guru Rayon 13.

Model Pembelajaran Quantum

April 29, 2009 oleh Herdian,S.Pd.

MODEL PEMBELAJARAN/ STRATEGI QUANTUM TEACHING

A. Landasan Teori

Quantum teaching pertamakali dikembangkan oleh De Porter. Mulai dipraktekkan pada tahun 1992, dengan mengilhami rumus yang terkenal dalam fisika kuantum yaitu masa kali kecepatan cahaya kuadrat sama dengan energi. Dengan rumus itulah mendefinisikan Quantum sebagai interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya. Pembelajaran Quantum bermakna interaksi-interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya karena semua energi adalah kehidupan dan dalam proses pembelajarannya mengandung keberagaman dan interdeterminisme. Dengan kata lain interaksi-interaksi yang dimaksud mengubah kemampuan dan bakat alamiah siswa menjadi cahaya yang akan bermanfaat bagi mereka sendiri dan bagi orang lain.

Teori yang terkandung dalam Quantum Teaching adalah Accelerated Learning, Multiple Intelligences, Neuro-Linguistic Programming, Experiential Learning, dan Elements of Effective Instruction sehingga Quantum Teahing merangkaikan sebuah kekuatan yang memadukan multisensori, multikecerdasan, dan kompatibel dengan otak yang didalamnya meramu konsep berbagai teori yaitu: 1) teori otak kanan/kiri; 2) teori otak triune (3 in 1); 3) pilihan modalitas (visual, auditorial dan kinestetik); 4) teori kecerdasan ganda; 5) pendidikan holistic (menyeluruh); 6) belajar berdasarkan pengelaman; 7) belajar dengan symbol, dan simulasi/permainan.

B. Karakteristik

Secara umum, Quantum Teaching (pembelajaran kuantum) mempunyai karakteristik sebagai berikut:

1) Berpangkal pada psikologi kognitif.

2) Bersifat humanistik, manusia selaku pembelajar menjadi pusat perhatian. Potensi diri, kemampuan pikiran, daya motivasi dan sebagainya dari pembelajar dapat berkembang secara optimal dengan meniadakan hukuman dan hadiah karena semua usaha yang dilakukan pembelajar dihargai. Kesalahan sebagai manusiawi.

3) Bersifat konstruktivistis, artinya memadukan, menyinergikan, dan mengolaborasikan faktor potensi diri manusia selaku pembelajar dengan lingkungan (fisik dan mental) sebagai konteks pembelajaran. Oleh karena itu, baik lingkungan maupun kemampuan pikiran atau potensi diri manusia harus diperlakukan sama dan memperoleh stimulant yang seimbang agar pembelajaran berhasil baik.

4) Memusatkan perhatian pada interaksi yang bermutu dan bermakna. Dalam proses pembelajaran dipandang sebagai penciptaan intekasi-interaksi bermutu dan bermakna yang dapat mengubah energi kemampuan pikiran yang dapat mengubah energi kemampuan pikiran dan bakat alamiah pembelajar menjadi cahaya yang bermanfaat bagi keberhasilan pembelajar.

5) Menekankan pada pemercepatan pembelajaran dengan taraf keberhasilan tinggi. Dalam prosesnya menyingkirkan hambatan dan halangan sehingga menimbulkan hal-hal yang seperti: suasana yang menyengkan, lingkungan yang nyaman, penataan tempat duduk yang rileks, dan lain-lain.

6) Menekankan kealamiahan dan kewajaran proses pembelajaran. Dengan kealamiahan dan kewajaran menimbulkan suasana nyaman, segar sehat, rileks, santai, dan menyenangkan serta tidak membosankan.

7) Menekankan kebermaknaan dan dan kebermutuan proses pembelajaran. Dengan kebermaknaan dan kebermutuan akan menghadirkan pengalaman yang dapat dimengerti dan berarti bagi pembelajar, terutama pengalaman perlu diakomodasi secara memadai.

Memiliki model yang memadukan konteks dan isi pembelajaran. Konteks pembelajaran meliputi suasana yang memberdayakan, landasan yang kukuh, lingkungan yang mendukung, dan rancangan yang dinamis. Sedangkan isi pembelajaran meliputi: penyajian yang prima, pemfasilitasan yang fleksibel, keterampilan belajar untuk belajar dan keterampilan hidup.

9) Menyeimbangkan keterampilan akademis, keterampilan hidup dan prestasi material.

10) Menanamkan nilai dan keyakinan yang positif dalam diri pembelajar. Ini mengandung arti bahwa suatu kesalahan tidak dianggapnya suatu kegagalan atau akhir dari segalanya. Dalam proses pembelajarannya dikembangkan nilai dan keyakinan bahwa hukuman dan hadiah tidak diperlukan karena setiap usaha harus diakui dan dihargai.

11) Mengutamakan keberagaman dan kebebasan sebagai kunci interaksi. Dalam prosesnya adanya pengakuan keragaman gaya belajar siswa dan pembelajar.

12) Mengintegrasikan totalitas tubuh dan pikiran dalam proses pembelajaran, sehinga pembelajaran bias berlangsung nyaman dan hasilnya lebih optimal.

C. Prinsip Dasar

Prinsip dasar yang terdapat dalam pembelajaran Quantum adalah:

1) Bawalah dunia mereka (siswa) ke dalam dunia kita (guru), dan antarkan dunia kita (guru ke dalam dunia mereka (siswa).

2) Proses pembelajaran bagaikan orkestra simfoni, yang secara spesifik dapat dijabarkan sebagai berikut:

a) Segalanya dari lingkungan. Hal ini mengandung arti baik lingkungan kelas/sekolah sampai bahasa tubuh guru; dari lembar kerja atau kertas kerja yang dibagikan anak sampa rencana pelakanaan pembelajaran, semuanya mencerminkan pembelajaran.

b) Segalanya bertujuan. Semua yang terjadi dalam proses pembelajaran mempunyai tujuan semuanya.

c) Pengalaman mendahului pemberian nama. Pembelajaran yang baik adalah jika siswa telah memperoleh informasi terlebih dahulu apa yang akan dipelajari sebelum memperoleh nama untuk apa yang mereka pelajari. Ini diilhami bahwa otak akan berkembang pesat jika adanya rangsangan yang kompleks selanjunya akan menggerakkan rasa keingintahuan.

d) Akuilah setiap usaha. Dalam proses pembelajaran siswa seharusnya dihargai dan diakui setiap usahanya walaupun salah, karena belajar diartikan sebagai usaha yang mengandung resiko untuk keluar dari kenyamanan untuk membongkar pengetahuan sebelumnya.

e) Jika layak dipelajari, maka layak pula dirayakan. Segala sesuatu yang telah dipelajari oleh siswa sudah pasti layak pula dirayakan keberhasilannya.

3) Pembelajaran harus berdampak bagi terbentuknya keunggulan. Ada depalapan kunci keunggulan dalam pembelajaran kuantum yaitu:

a) terapkan hidup dalam integritas, dalam pembelajaran sebagai bersikap apa adanya, tulus, dan menyeluruh, sehingga akan meningkatkan motivasi belajar.

b) akuilah kegagalan dapat membawa kesuksesan. Jika mengalami kegagalan janganlah membuat cemas terus menerus tetapi memberikan informasi kepada kita untuk belajar lebih lanjut.

c) berbicaralah dengan niat baik. Dalam pembelajaran hendaknya dikembangkan keterampilan berbicara dalam arti positif dan bertanggung jawab atas komunikasi yang jujur dan langsung. Dengan niat bicara yang baik akan mendorong rasa percaya diri dan motivasi.

d) tegaslah komitmen. Dalam pembelajaran baik guru maupun siswa harus mengikuti visi-misi tanpa ragu-ragu.

e) jadilah pemilik, mengandung arti bahwa siswa dan guru memiliki rasa tanggung jawab sehingga terjadi pembelajaran yang bermakna dan bermutu.

f) tetaplah lentur. Seorang guru terutama harus pandai-pandai mengubah lingkungan dan suasana bilamana diperlukan.

g) Pertahankan keseimbangan. Dalam pembelajaran, pertahankan jiwa, tubuh, emosi dan semangat dalam satu kesatuan dan kesejajaran agar proses dan hasil pembelajaran efektif dan optimal.

4) Kerangka Perencanaan Pembelajaran Quantum

Kerangka perencanaan pembelejaran kuantum dikenal dengan singkatan “TANDUR”, yaitu:

a) Tumbuhkan.

Konsep tumbuhkan ini sebagai konsep operasional dari prinsip “bawalah dunia mereka ke dunia kita”. Dengan usaha menyertakan siswa dalam pikiran dan emosinya, sehingga tercipta jalinan dan kepemilikan bersama atau kemampuan saling memahami.

Secara umum konsep tumbuhkan adalah sertakan diri mereka, pikat mereka, puaskan keingintahuan, buatlah siswa tertarik atau penasaraan tentang materi yang akan diajarkan. Dari hal tersebut tersirat, bahwa dalam pendahuluan (persiapan) pembelajaran dimulai guru seyogyanya menumbuhkan sikap positif dengan menciptakan lingkungan yang positif, lingkungan sosial (komunitas belajar), sarana belajar, serta tujuan yang jelas dan memberikan makna pada siswa, sehingga menimbulkan rasa ingin tahu.

Berikut pertanyaan-pertanyaan yang dapat dipakai sebagai acuan guru: hal apa yang siswa pahami? Apa yang siswa setujui? Apakah manfaat dan makna materi tersebut bagi siswa? Pada bagian apa siswa tertari/bermakna?

Stategi untuk melaksanakan TUMBUHKAN tidak harus dengan tanya jawab, menuliskan tujuan pembelajaran dipapan tulis, melainkan dapat pula dengan penyajian gambar/media yang menarik atau lucu, isu muthakir, atau cerita pendek tentang pengalaman seseorang.

b) Alami.

Tahap ini jika kita tulis pada rencana pelaksanaan pembelajaran terdapat pada kegiatan inti. Konsep ALAMI mengandung pengertian bahwa dalam pembelajaran guru harus memberi pengalaman dan manfaat terhadap pengetahuan yang dibangun siswa sehingga menimbulkan hasrat alami otak untuk menjelajah.

Pertanyaan yang memandu guru pada konsep alami adalah cara apa yang terbaik agar siswa memahami informasi? Permainan atau keinginan apa yang memanfaatkan pengetahuan yang sudah mereka miliki? Permainan dan kegiatan apa yang memfasilitasi siswa?

Strategi konsep ALAMI dapat menggunakan jembatan keledai, permainan atau simulasi dengan memberi tugas secara individu atau kelompok untuk mengaktifkan pengetahuan yang telah dimiliki.

c) Namai

Konsep ini berada pada kegiatan inti, yang NAMAI mengandung maksud bahwa penamaan memuaskan hasrat alami otak (membuat siswa penasaran, penuh pertanyaan mengenai pengalaman) untuk memberikan identitas, menguatkan dan mendefinisikan. Penamaan dalam hal ini adalah mengajarkan konsep, melatih keterampilan berpikir dan strategi belajar. Pertanyaan yang dapat memenadu guru dalam memahami konsep NAMAI yaitu perbedaan apa yang perlu dibuat dalam belajar? Apa yang harus guru tambahkan pada pengertian siswa? Strategi, kiat jitu, alat berpikir apa yang digunakan untuk siswa ketahui atau siswa gunakan?

Strategi implementasi konsep NAMAI dapat menggunakan gambar susunan gambar, warna, alat Bantu, kertas tulis dan poster di dinding atau yang lainnya.

d) Demonstrasikan

Tahap ini masih pada kegiatan ini. Inti pada tahap ini adalah memberi kesempatan siswa untuk menunjukkan bahwa siswa tahu. Hal ini sekaligus memberi kesempatan siswa untuk menunjukkan tingkat pemahaman terhadap materi yang dipelajari.

Panduan guru untuk memahami tahap ini yaitu dengan cara apa siswa dapat memperagakan tingkat kecakapan siswa dengan pengetahuan yang baru? Kriteria apa yang dapat membantu guru dan siswa mengembangkan bersama untuk menuntut peragaan kemampuan siswa.

Strategi yang dapat digunakan adalah mempraktekkan, menyusun laporan, membuat presentasi dengan powerpoint, menganalisis data, melakukan gerakan tangan, kaki, gerakan tubuh bersama secara harmonis, dan lain-lain.

e) Ulangi

Tahap ini jika kita tuangkan pada rencana pelaksanaan pembelajaran terdapat pada penutup. Tahap ini dilaksanakan untuk memperkuat koneksi saraf dan menumbuhkan rasa “aku tahu bahwa aku tahu ini”. Kegiatan ini dilakukan secara multimodalitas dan multikecerdasan.

Panduan guru untuk memasukan tahap ini yaitu cara apa yang terbaik bagi siswa untuk mengulang pelajaran ini? Dengan cara apa setiap siswa akan mendapatkan kesempatan untuk mengulang?

Strategi untuk mengimplementasikan yaitu bias dengan membuat isian “aku tahu bahwa aku tahu ini” hal ini merupakan kesempatan siswa untuk mengajarkan pengetahuan baru kepada orang lain (kelompok lain), atau dapat melakukan pertanyaan – pertanyaan post tes.

f) Rayakan

Tahap ini dituangkan pada penutup pembelajaran. Dengan maksud memberikan rasa rampung, untuk menghormati usaha, ketekunan, dan kesusksesan yang akhirnya memberikan rasa kepuasan dan kegembiraan. Dengan kondisi akhir siswa yang senang maka akan menimbulkan kegairahan siswa dalam belajar lehi lanjut.

Panduan pertanyaan dalam diri guru untuk melaksanakan adalah untuk pelajaran ini, cara apa yang paling sesuai untuk merayakannya? Bagaimana anda dapat mengakui setiap orang atas prestasi mereka?

Strategi yang dapat digunakan adalah dengan pujian bernyanyi bersama, pesta kelas, memberikan reward berupa tepukan.

Macam-Macam Pendekatan Pembelajaran
Writed by: Hafiz Muthoharoh, S.Pd.I
Berikut ini adalah postingan saya sebelumnya, yaitu tentang beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam pembelajaran. Adapun maksud saya menuliskannya kembali adalah untuk mempermudah pengunjung untuk membaca tulisan ini. Beberapa pendekatan yang dimaksud antara lain sebagai berikut :

1. Pendekatan tujuan pembelajaran
Pendekatan ini berorientasi pada tujuan akhir yang akan dicapai. Sebenarnya pendekatan ini tercakup juga ketika seorang guru merencanakan pendekatan lainnya, karena suatu pendekatan itu dipilih untuk mencapai tujuan pembelajaran. Semua pendekatan dirancang untuk keberhasilan suatu tujuan.
Sebagai contoh : Apabila dalam tujuan pembelajaran tertera bahwa siswa dapat mengelompokan makhluk hidup, maka guru harus merancang pembelajaran, yang pada akhir pembelajaran tersebut siswa sudah dapat mengelompokan makhluk hidup. Metode yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut dapat berupa metode tugas atau karyawisata.

2. Pendekatan konsep
Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan konsep berarti siswa dibimbing memahami suatu bahasan melalui pemahaman konsep yang terkandung di dalamnya. Dalam proses pembelajaran tersebut penguasaan konsep dan subkonsep yang menjadi fokus. Dengan beberapa metode siswa dibimbing untuk memahami konsep.
3. Pendekatan lingkungan
Penggunaan pendekatan lingkungan berarti mengaitkan lingkungan dalam suatu proses belajar mengajar. Lingkungan digunakan sebagai sumber belajar. Untuk memahami materi yang erat kaitannya dengan kehidupan sehari – hari sering digunakan pendekatan lingkungan.

4. Pendekatan inkuiri
Penggunaan pendekatan inkuiri berarti membelajarkan siswa untuk mengendalikan situasi yang dihadapi ketika berhubungan dengan dunia fisik yaitu dengan menggunakan teknik yang digunakan oleh para ahli peneliti ( Dettrick, G.W., 2001 ). Pendekatan inkuiri dibedakan menjadi inkuiri terpempin dan inkuiri bebas atau inkuiri terbuka. Perbedaan antara keduanya terletak pada siapa yang mengajukan pertanyaan dan apa tujuan dari kegiatannya.

5. Pendekatan penemuan
Penggunaan pendekatan penemuan berarti dalam kegiatan belajar mengajar siswa diberi kesempatan untuk menemukan sendiri fakta dan konsep tentang fenomena ilmiah. Penemuan tidak terbatas pada menemukan sesuatu yang benar – benar baru. Pada umumnya materi yang akan dipelajari sudah ditentukan oleh guru, demikian pula situasi yang menunjang proses pemahaman tersebut. Siswa akan melakukan kegiatan yang secara langsung berhubungan dengan hal yang akan ditemukan.

6. Pendekatan proses
Pada pendekatan proses, tujuan utama pembelajaran adalah mengembangkan kemampuan siswa dalam keterampilan proses seperti mengamati, berhipotesa, merencanakan, menafsirkan, dan mengkomunikasikan. Pendekatan keterampilan proses digunakan dan dikembangkan sejak kurikulum 1984. Penggunaan pendekatan proses menuntut keterlibatan langsung siswa dalam kegiatan belajar.

7. Pendekatan interaktif ( pendekatan pertanyaan anak )
Pendekatan ini memberi kesempata pada siswa uuntuk mengajukan pertanyaan untuk kemudian melakukan penyelidikan yang berkaitan dengan pertanyaan yang mereka ajukan ( Faire & Cosgrove, 1988 dalam Herlen W, 1996 ). Pertanyaan yang diiajukn siswa sangat bervariasi sehingga guru perlu melakukan llangkah – langkah mengumpulkan, memilih, dan mengubah pertanyaan tersebut menjadi suatu kegiatan yng spesifik.

8. Pendekatan pemecahan masalah
Pendekatan pemecahan masalah berangkat dari masalah yang harus dipecahkan melalui praktikum atau pengamatan. Dalam pendekatan ini ada dua versi. Versi pertama siswa dapat menerima saran tentang prosedur yang digunakan, cara mengumpulkan data, menyusun data, dan menyusun serangkaian pertanyaan yang mengarah ke pemecahan masalah. Versi kedua, hanya masalah yang dimunculkan, siswa yang merancang pemecahannya sendiri. Guru berperan hanya dalam menyediakan bahan dan membantu memberi petunjuk.

9. Pendekatan sains teknologi dan masyarakat ( STM )
Hasil penelitian dari National Science Teacher Association ( NSTA ) ( dalam Poedjiadi, 2000 ) menunjukan bahwa pembelajaran sains dengan menggunakan pendekatan STM mempunyai beberapa perbedaan jika dibandingkan dengan cara biasa. Perbedaan tersebut ada pada aspek : kaitan dan aplikasi bahan pelajaran, kreativitas, sikap, proses, dan konsep pengetahuan. Melalui pendekatan STM ini guru dianggap sebagai fasilitator dan informasi yang diterima siswa akan lebih lama diingat. Sebenarnya dalam pembelajaran dengan menggunakan pendekatan STM ini tercakup juga adanya pemecahan masalah, tetapi masalah itu lebih ditekankan pada masalah yang ditemukan sehari – hari, yang dalam pemecahannya menggunakan langkah – langkah ilmiah

10. Pendekatan terpadu
Pendekatan ini merupakan pendekatan yang intinya memadukan dua unsur atau lebih dalam suatu kegiatan pembelajaran. Pemaduan dilakukan dengan menekankan pada prinsip keterkaitan antar satu unsur dengan unsur lain, sehingga diharapkan terjadi peningkatan pemahaman yang lebih bermakna dan peningkatan wawasan karena satu pembelajaran melibatkan lebih dari satu cara pandang.
Pendekatan terpadu dapat diimplementasikan dalam berbagai model pembelajaran. Di Indonesia, khususnya di tingkat pendidikan dasar terdapat tiga model pemdekatan terpadu yang sedang berkembang yaitu model keterhubungan, model jaring laba – laba, model keterpaduan.

Pendekatan dan Metode Pembelajaran
Writed By: Hafiz Muthoharoh, S.Pd.I
Dalam kenyataan sehari – hari sering kita jumpai sejumlah guru yang menggunakan metode tertentu yang kurang atau tidak cocok dengan isi dan tujuan pengajaran. Akibatnya, hasilnya tidak memadai, bahkan mungkin merugikan semua pihak terutama pihak siswa dan keluarganya, walaupun kebanyakan mereka tidak menyadari hal itu.

Agar proses belajar mengajar berjalan dengan lancar dan dapat mencapai tujuan pembelajaran, guru sebaiknya menentukan pendekatan dan metode yang akan digunakan sebelum melakukan proses belajar mengajar. Pemilihan suatu pendekatan dan metode tentu harus disesuaikan dengan tujuan pembelajaran dan sifat materi yang akan menjadi objek pembelajaran. Pembelajaran dengan menggunakan banyak metode akan menunjang pencapaian tujuan pembelajaran yang lebih bermakna.

Ketika mengajar di kelas 3 A Bu Kurniasih, S.Si merasa ragu apakah persiapan mengajar untuk konsep persilangan di SMPN 1 Kikim Barat yang sudah disiapkannya dapat digunakan di kelas ini. Berdasarkan pengalamannya kelas 3 B agak berbeda dengan kelas 3 lainnya. Karena sebagian besar siswa di kelas tersebut mempunyai kemampuan belajar lebih rendah daripada rata – rata kemampuan kelas 3 di sekolahnya. Bu Kurniasih, S.Si merencanakan materi pelajarannya dibagi menjadi beberapa kali pertemuan sehingga memerlukan waktu lebih banyak dibandingkan dengan kelas 3 yang lainnya. Metode yang digunakannya masih serupa dengan di kelas lain, hanya ditambah metode bermain peran. Bu Kurniasih, S.Si merasa gembira karena siswa yang diperkirakan akan mengalami kesulitan belajar ternyata terbantu dengan cara yang ditempuhnya.

A. Pengertian Metode dan Pendekatan
Metode dibedakan dari pendekatan. Pendekatan lebih menekankan pada strategi dalam perencanaan, sedangkan metode lebih menekankan pada teknik pelaksanaannya. Satu pendekatan yang direncanakan untuk satu pembelajaran mungkin dalam pelaksanaan proses tersebut digunakan beberapa metode. Sebagai contoh dalam pembelajaran pencemaran lingkungan. Pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran tersebut dapat dipilih dari beberapa pendekatan yang sesuai, antara lain pendekatan lingkungan.

Ketika proses pembelajaran pencemaran lingkungan dilaksanakan dengan pendekatan lingkungan tersebut dapat digunakan beberapa metode, misalnya metode observasi, metode didkusi dan metode ceramah. Supaya lebih jelas ikuti perencanaan yang dilakukan oleh seorang guru ketika akan memberi pembelajaran pencemaran lingkungan tersebut. Pada awalnya ia memilih pendekatan lingkungan, berarti ia akan menggunakan lingkungan sebagai fokus pembelajaran. Pada akhir pembelajaran melalui konsep pencemaran lingkungan siswa akan memahami tentang lingkungan sekitarnya apakah sudah tercemar atau tidak. Untuk merealisasikan hal tersebut ia menggunakan metode diskusi dan ceramah. Dalam pembelajarannya ia membuat suatu masalah untuk didiskusikan oleh siswa kemudian ia akan mengakhiri pembelajaran tadi dengan memberi informasi yang berkaitan dengan hasil diskusi.

Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa metode dan pendekatan dirancang untuk mencapai keberhasilan suatu tujuan pembelajaran.

B. Beberapa Pendekatan Dalam Proses Pembelajaran
Pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran biologi antara lain sebagai berikut :

1. Pendekatan tujuan pembelajaran
Pendekatan ini berorientasi pada tujuan akhir yang akan dicapai. Sebenarnya pendekatan ini tercakup juga ketika seorang guru merencanakan pendekatan lainnya, karena suatu pendekatan itu dipilih untuk mencapai tujuan pembelajaran. Semua pendekatan dirancang untuk keberhasilan suatu tujuan.
Sebagai contoh : Apabila dalam tujuan pembelajaran tertera bahwa siswa dapat mengelompokan makhluk hidup, maka guru harus merancang pembelajaran, yang pada akhir pembelajaran tersebut siswa sudah dapat mengelompokan makhluk hidup. Metode yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut dapat berupa metode tugas atau karyawisata.

2. Pendekatan konsep
Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan konsep berarti siswa dibimbing memahami suatu bahasan melalui pemahaman konsep yang terkandung di dalamnya. Dalam proses pembelajaran tersebut penguasaan konsep dan subkonsep yang menjadi fokus. Dengan beberapa metode siswa dibimbing untuk memahami konsep.
3. Pendekatan lingkungan
Penggunaan pendekatan lingkungan berarti mengaitkan lingkungan dalam suatu proses belajar mengajar. Lingkungan digunakan sebagai sumber belajar. Untuk memahami materi yang erat kaitannya dengan kehidupan sehari – hari sering digunakan pendekatan lingkungan.

4. Pendekatan inkuiri
Penggunaan pendekatan inkuiri berarti membelajarkan siswa untuk mengendalikan situasi yang dihadapi ketika berhubungan dengan dunia fisik yaitu dengan menggunakan teknik yang digunakan oleh para ahli peneliti ( Dettrick, G.W., 2001 ). Pendekatan inkuiri dibedakan menjadi inkuiri terpempin dan inkuiri bebas atau inkuiri terbuka. Perbedaan antara keduanya terletak pada siapa yang mengajukan pertanyaan dan apa tujuan dari kegiatannya.

5. Pendekatan penemuan
Penggunaan pendekatan penemuan berarti dalam kegiatan belajar mengajar siswa diberi kesempatan untuk menemukan sendiri fakta dan konsep tentang fenomena ilmiah. Penemuan tidak terbatas pada menemukan sesuatu yang benar – benar baru. Pada umumnya materi yang akan dipelajari sudah ditentukan oleh guru, demikian pula situasi yang menunjang proses pemahaman tersebut. Siswa akan melakukan kegiatan yang secara langsung berhubungan dengan hal yang akan ditemukan.

6. Pendekatan proses
Pada pendekatan proses, tujuan utama pembelajaran adalah mengembangkan kemampuan siswa dalam keterampilan proses seperti mengamati, berhipotesa, merencanakan, menafsirkan, dan mengkomunikasikan. Pendekatan keterampilan proses digunakan dan dikembangkan sejak kurikulum 1984. Penggunaan pendekatan proses menuntut keterlibatan langsung siswa dalam kegiatan belajar.

7. Pendekatan interaktif ( pendekatan pertanyaan anak )
Pendekatan ini memberi kesempata pada siswa uuntuk mengajukan pertanyaan untuk kemudian melakukan penyelidikan yang berkaitan dengan pertanyaan yang mereka ajukan ( Faire & Cosgrove, 1988 dalam Herlen W, 1996 ). Pertanyaan yang diiajukn siswa sangat bervariasi sehingga guru perlu melakukan llangkah – langkah mengumpulkan, memilih, dan mengubah pertanyaan tersebut menjadi suatu kegiatan yng spesifik.

8. Pendekatan pemecahan masalah
Pendekatan pemecahan masalah berangkat dari masalah yang harus dipecahkan melalui praktikum atau pengamatan. Dalam pendekatan ini ada dua versi. Versi pertama siswa dapat menerima saran tentang prosedur yang digunakan, cara mengumpulkan data, menyusun data, dan menyusun serangkaian pertanyaan yang mengarah ke pemecahan masalah. Versi kedua, hanya masalah yang dimunculkan, siswa yang merancang pemecahannya sendiri. Guru berperan hanya dalam menyediakan bahan dan membantu memberi petunjuk.

9. Pendekatan sains teknologi dan masyarakat ( STM )
Hasil penelitian dari National Science Teacher Association ( NSTA ) ( dalam Poedjiadi, 2000 ) menunjukan bahwa pembelajaran sains dengan menggunakan pendekatan STM mempunyai beberapa perbedaan jika dibandingkan dengan cara biasa. Perbedaan tersebut ada pada aspek : kaitan dan aplikasi bahan pelajaran, kreativitas, sikap, proses, dan konsep pengetahuan. Melalui pendekatan STM ini guru dianggap sebagai fasilitator dan informasi yang diterima siswa akan lebih lama diingat. Sebenarnya dalam pembelajaran dengan menggunakan pendekatan STM ini tercakup juga adanya pemecahan masalah, tetapi masalah itu lebih ditekankan pada masalah yang ditemukan sehari – hari, yang dalam pemecahannya menggunakan langkah – langkah ilmiah

10. Pendekatan terpadu
Pendekatan ini merupakan pendekatan yang intinya memadukan dua unsur atau lebih dalam suatu kegiatan pembelajaran. Pemaduan dilakukan dengan menekankan pada prinsip keterkaitan antar satu unsur dengan unsur lain, sehingga diharapkan terjadi peningkatan pemahaman yang lebih bermakna dan peningkatan wawasan karena satu pembelajaran melibatkan lebih dari satu cara pandang.
Pendekatan terpadu dapat diimplementasikan dalam berbagai model pembelajaran. Di Indonesia, khususnya di tingkat pendidikan dasar terdapat tiga model pemdekatan terpadu yang sedang berkembang yaitu model keterhubungan, model jaring laba – laba, model keterpaduan.
Perbandingan model pembelajaran terpadu
Model keterhubungan Model jaring laba – laba Model keterpaduan

C. Beberapa Metode Dalam Proses Pembelajaran
Beberapa metode yang sering digunakan dalam pembelajaran biologi adalah :

1. Metode ceramah
Metode ceramah adalah metode penyampaian bahan pelajaran secara lisan. Metode ini banyak dipilih guru karena mudah dilaksanakan dan tidak membutuhkan alat bantu khusus serta tidak perlu merancang kegiatan siswa. Dalam pengajaran yang menggunakan metode ceramah terdapat unsur paksaan. Dalam hal ini siswa hanya diharuskan melihat dan mendengar serta mencatat tanpa komentar informasi penting dari guru yang selalu dianggap benar itu. Padahal dalam diri siswa terdapat mekanisme psikologis yang memungkinkannya untuk menolak disamping menerima informasi dari guru. Inilah yang disebut kemampuan untuk mengatur dan mengarahkan diri.

2. Metode tanya jawab
Metode tanya jawab dapat menarik dan memusatkan perhatian siswa. Dengan mengajukan pertanyaan yang terarah, siswa akan tertarik dalam mengembangkan daya pikir. Kemampuan berpikir siswa dan keruntutan dalam mengemukakan pokok – pokok pikirannya dapat terdeteksi ketika menjawab pertanyaan. Metode ini dapat menjadi pendorong bagi siswa untuk mengadakan penelusuran lebih lanjut pada berbagai sumber belajar. Metode ini akan lebih efektif dalam mencapai tujuan apabila sebelum proses pembelajaran siswa ditugasi membaca materi yang akan dibahas.

3. Metode diskusi
Metode diskusi adalah cara pembelajaran dengan memunculkan masalah. Dalam diskusi terjadi tukar menukar gagasan atau pendapat untuk memperoleh kesamaan pendapat. Dengan metode diskusi keberanian dan kreativitas siswa dalam mengemukakan gagasan menjadi terangsang, siswa terbiasa bertukar pikiran dengan teman, menghargai dan menerima pendapat orang lain, dan yang lebih penting melalui diskusi mereka akan belajar bertanggung jawab terhadap hasil pemikiran bersama.

4. Metode belajar kooperatif
Dalam metode ini terjadi interaksi antar anggota kelompok dimana setiap kelompok terdiri dari 4-5 orang. Semua anggota harus turut terlibat karena keberhasilan kelompok ditunjang oleh aktivitas anggotanya, sehingga anggota kelompok saling membantu. Model belajar kooperatif yang sering diperbincangkan yaitu belajar kooperatif model jigsaw yakni tiap anggota kelompok mempelajari materi yang berbeda untuk disampaikan atau diajarkan pada teman sekelompoknya.

5. Metode demonstrasi
Metode demonstrasi adalah cara penyajian pelajaran dengan memeragakan suatu proses kejadian. Metode demonstrasi biasanya diaplikasikan dengan menggunakan alat – alat bantu pengajaran seperti benda – benda miniatur, gambar, perangkat alat – alat laboratorium dan lain – lain. Akan tetapi, alat demonstrasi yang paling pokok adalah papan tulis dan white board, mengingat fungsinya yang multi proses. Dengan menggunakan papan tulis guru dan siswa dapat menggambarkan objek, membuat skema, membuat hitungan matematika, dan lain – lain peragaan konsep serta fakta yang memungkinkan.

6. Metode ekspositori atau pameran
Metode ekspositori adalah suatu penyajian visual dengan menggunakan benda dua dimensi atau tiga dimensi, dengan maksud mengemukakan gagasan atau sebagai alat untuk membantu menyampaikan informasi yang diperlukan.

7. Metode karyawisata/widyamisata
Metode karyawisata/widyawisata adalah cara penyajian dengan membawa siswa mempelajari materi pelajaran di luar kelas. Karyawisata memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar, dapat meransang kreativitas siswa, informasi dapat lebih luas dan aktual, siswa dapat mencari dan mengolah sendiri informasi. Tetapi karyawisata memerlukan waktu yang panjang dan biaya, memerlukan perencanaan dan persiapan yang tidak sebentar.

8. Metode penugasan
Metode ini berarti guru memberi tugas tertentu agar siswa melakukan kegiatan belajar. Metode ini dapat mengembangkan kemandirian siswa, meransang untuk belajar lebih banyak, membina disiplin dan tanggung jawab siswa, dan membina kebiasaan mencari dan mengolah sendiri informasi. Tetapi dlam metode ini sulit mengawasi mengenai kemungkinan siswa tidak bekerja secara mandiri.

9. Metode eksperimen
Metode eksperimen adalah cara penyajian pelajaran dengan menggunakan percobaan. Dengan melakukan eksperimen, siswa menjadi akan lebih yakin atas suatu hal daripada hanya menerima dari guru dan buku, dapat memperkaya pengalaman, mengembangkan sikap ilmiah, dan hasil belajar akan bertahan lebih lama dalam ingatan siswa. Metode ini paling tepat apabila digunakan untuk merealisasikan pembelajaran dengan pendekatan inkuiri atau pendekatan penemuan.

10. Metode bermain peran
Pembelajaran dengan metode bermain peran adalah pembelajaran dengan cara seolah – olah berada dalam suatu situasi untuk memperoleh suatu pemahaman tentang suatu konsep. Dalam metode ini siswa berkesempatanm terlibat secara aktif sehingga akan lebih memahami konsep dan lebih lama mengingat, tetapi memerlukan waktu lama.

Pendekatan dan metode yang dipilih guru dalam memberikan suatu materi pelajaran sangat menentukan terhadap keberhasilan proses pembelajaran. Tidak pernah ada satu pendekatan dan metode yang cocok untuk semua materi pelajaran, dan pada umumnya untuk merealisasikan satu pendekatan dalam mencapai tujuan digunakan multi metode.
Metode dibedakan dari pendekatan ; metode lebih menekankan pada pelaksanaan kegiatan, sedangkan pendekatan ditekankan pada perencanaannya. Ada lima hal yang perlu diperhatikan guru dalam memilih suatu metode mengajar yaitu :
Kemampuan guru dalam menggunakan metode.
Tujuan pengajaran yang akan dicapai.
Bahan pengajaran yang perlu dipelajari siswa.
Perbedaan individual dalam memanfaatkan inderanya.
Sarana dan prasarana yang ada di sekolah.

Beberapa pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran biologi adalah pendekatan konsep, pendekatan keterampilan proses, pendekatan lingkungan, pendekatan inkuiri, pendekatan penemuan, pendekatan interaktif, pendekatan pemecahan masalah, pendekatan Sains Teknologi Masyarakat, dan pendekatan terpadu. Untuk merealisasikan suatu pendekatan dalam mencapai tujuan dapat digunakan beberapa metode antara lain metode ceramah, metode tanya jawab, metode diskusi, metode demonstrasi, metode ekspositori, metode karyawisata, metode penugasan, metode eksperimen, metode belajar kooperatif, dan metode bermain peran.

Daftar Pustaka:
Dirdjosoemarto dkk. 2004. Strategi Belajar Mengajar Biologi. Bandung : FPMIPA UPI dan JICA IMSTEP.
Roestiyah. 1991. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Rineka Cipta.
Syah Muhibbin. 1995. Psikologi Pendidikan suatu Pendekatan Baru. Bandung : Remaja Rosda Karya.

emilih Strategi Belajar Mengajar yang Tepat

Ditulis oleh Mahmuddin di/pada Oktober 29, 2009

Strategi digunakan untuk memperoleh kesuksesasan atau keberhasilan dalam mencapai tujuan. Dalam dunia pendidikan J.R. David (1976): Strategy a plan, method, or series of activities designed to achieves a particular educational goal, sehingga dapat diartikan sebagai suatu perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan pendidikan. Ada dua hal yang perlu dicermati dalam ini, yaitu: pertama, strategi pembelajaran merupakan rancangan tindakan (rangkaian kegiatan) termasuk rancangan penggunaan metode dan pemanfaatan berbagai sumber daya/kekuatan dalam pembelajaran. Kedua, strategi disusun untuk mencapai tujuan tertentu. Kemp (1995) menjelaskan bahwa strategi pembelajaran adalah suatu pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. Dick dan Carey (1985) juga menyebutkan bahwa strategi pembelajaran itu adalah suatu set materi dan prosedur pembelajaran yang digunakan secara bersama-sama untuk menimbulkan hasil belajar siswa.

Upaya mengimplementasikan rencana sudah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah disusun tecapai secara optimal, disebut Metode. Dalam satu strategi dapat digunakan beberapa metode, misalnya strategi ekspositori bisa digunakan metode ceramah sekaligus metode tanya jawab atau bahkan diskusi. Dengan demikian, strategi berbeda dengan metode. Strategi menunjuk pada sebuah perencanaan mencapai sesuatu, sedangkan metode adalah cara yang dapat digunakan untuk melaksanakan suatu strategi.

Istilah lain yang mirip dengan strategi adalah pendekatan. Pendekatan dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran. Strategi dan metode, pembelajaran yang digunakan dapat bersumber atau tergantung dari pendekatan tertentu. Roy Killen (1998) mencatat dua pendekatan dalam pembelajaran, yaitu pendekatan yang berpusat pada guru dan pendekatan yang berpusat pada siswa.

Selain strategi, metode, dan pendekatan pembelajaran juga dikenal istilah teknik dan taktik mengajar. Teknik dan taktik merupakan penjabaran dari metode pembelajaran. Teknik adalah cara yang dilakukan seseorang dalam rangka mengimplementasikan suatu metode. Taktik adalah gaya seseorang dalam melaksanakan suatu teknik atau metode tertentu, sehingga taktik bersifat lebih individual.

Suatu strategi pembelajaran yang diterapkan guru akan tergantung pada pendekatan yang digunakan. Strategi dapat didapatkan berbagai metode pembelajaran. Metode pembelajaran guru dapat menentukan teknik yang dianggap relevan dengan metode, dan penggunaan teknik memiliki taktik tersendiri oleh setiap guru.

Pertimbangan dalam Pengembangan Strategi Pembelajaran

Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan strategi pembelajaran yang akan dipilih, sebagai berikut:
Tujuan yang ingin dicapai, semakin kompleks tujuan yang ingin dicapai maka semakin rumit strategi yang akan dirancang. Tujuan pembelajaran berkenaan dengan aspek kognitif, afektif atau psikomotorik, sehingga kompleksitas tujuan berimplikasi pada rancangan strategi dan keterampilan lain yang dibutuhkan untuk pencapaiannya.
Bahan atau materi yang pembelajaran, berkaitan dengan conten yang akan dipelajarai, prasyarat tertentu dan sumber belajar yang dibutuhkan.
Pertimbangan dari sudut siswa, strategi yang dipilih harus sesuai dengan situasi dan kondisi siswa, seperti tingkat kematangan siswa, minat siswa dan gaya belajar siswa.
Pertimbangan dari strategi itu sendiri, berkaitan dengan jumlah strategi yang akan digunakan, strategi terbaik serta efektivitas dan efisiensi strategi yang akan digunakan.

Dari beberapa hal yang dipertimbangkan di atas, sebagai guru yang telah menempah diri melalui proses pendidikan dan pengalaman akan memiliki daya intuisi dalam menentukan strategi yang tepat yang dapat diterapkan pada proses pembelajaran di kelas. Bahwa proses yang baik diasumsikan dapat menghasilkan produk yang baik, maka guru sepatutnya menyediakan lingkungan belajar yang kondusif bagi perkembangan anak

Implementasi Pembelajaran Multimodel dalam Pembelajaran(3)
Membentuk Karakter Kreatif pada Diri Anak melalui Pembelajaran Bersiklus »
Manfaat Pembelajaran Multimodel bagi Pencapaian Kompetensi Anak (4)

Ditulis oleh Mahmuddin di/pada Oktober 21, 2009

Pembelajaran multimodel pada prinsipnya merupakan pendekatan pembelajaran yang secara komprehensif mempertimbangkan kondisi psikologi perkembangan anak, materi pelajaran sebagai objek dan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Secara teoritis, pembelajaran multimodel berupaya mengimplementasikan berbagai teori dan prinsip belajar yang telah ada serta mengakomodasi potensi dan modalitas siswa dalam belajar (gaya belajar). Menurut DePotter dan Hernacki (2002), secara umum ada dua kategori utama dalam belajar, yaitu bagaimana kita menyerap informasi dengan mudah dan cara kita mengatur dan mengolah informasi tersebut. Gaya belajar tersebut, kemudian dibedakan menjadi modalitas visual, auditorial dan kinestetik.

Berdasarkan tahapan belajar yang dikemukakan dalam tulisan seri (3), maka partisipasi siswa dalam pembelajaran multimodel dapat diidentifikasi sebagai berikut:
Siswa turut berpartisipasi dalam merumuskan tujuan pembelajaran, proses ini diharapkan dapat membangun partisipasi siswa selama proses pembelajaran. Dengan keterlibatan dalam perumusan ujuan di awal proses belajar, maka tujuan belajar merupakan milik siswa sehingga mereka akan memiliki rasa tanggung jawab untuk mencapai tujuan yang diinginkannya.
Siswa berpartisipasi dalam mengorganisir kelompok, mengatur peran diri masing-masing dan bekerja sama dalam mencapai target. Hal ini dapat menguatkan kesan bahwa siswalah yang menjadi pemeran utama dalam proses belajar.
Siswa berpartisipasi sebagai sumber informasi bagi orang lain/kelompok lain. Ketika siswa mengkomunikasikan hasil kerja/pikirannya, memberikan kesan bahwa siswa memiliki peran yang sangat penting dalam proses belajar di kelas sehingga dapat menguatkan rasa percaya diri dan semangat untuk menampilkan karya terbaik.
Siswa berpartisipasi dalam penilaian. Ketika siswa dilibatkan dalam proses menilai diri mereka dan menilai orang lain/kelompok lain, memberikan kesan penghargaan yang tinggi dalam menentukan keberhasilan belajar.

Menurut Aunurrahman (2009), Belajar pada dasarnya bercirikan upaya sadar atau disengaja yang dilakukan oleh individu untuk berinteraksi dengan lingkungan yang ditandai dengan adanya perubahan tingkah laku sebagai hasilnya. Proses belajar dalam pendekatan multimodel ini sangat mementingkan keterlibatan siswa dalam berinteraksi. Stimulus yang mendapatkan respon menghasilkan interaksi. Kualitas interaksi sangat ditentukan oleh kualitas respon, dan kualitas respon sangat ditentukan oleh kualitas stimulus, sehingga untuk memperbaiki kualitas interaksi belajar maka stimulus yang diciptakan guru harus berkualitas. Dalam hal ini, tercapainya tujuan pembelajaran sangat ditentukan oleh skenario dan peran guru sebagai stimulator dan partisipasi siswa sebagai bentuk respon yang diberikan sehingga terjadi interaksi belajar yang berkualitas.

Menurut Aunurrhaman (2009), belajar merupakan proses internal yang kompleks, yakni melibatkan seluruh mental yang meliputi ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Proses belajar sebagai proses internal siswa tidak dapat diamati akan tetapi dapat dipahami oleh guru. Proses belajar tersebut tampak melalui perilaku siswa mempelajari bahan ajar. Perilaku belajar tersebut merupakan respon siswa terhadp tindakan pembelajaran dari guru. Mengacu keterlibatan ketiga ranah mental dalam belajar, maka kompetensi siswa dalam belajar dapat diukur dalam tiga aspek yaitu pengetahuan, skill atau keterampilan, dan sikap atau nilai-nilai.

Pembelajaran multimodel dapat memberikan manfaat bagi pencapaian kompetensi siswa, sebagai berikut:
Pengetahuan : Keterlibatan siswa dalam mencari dan mengakses sumber informasi atau sumber belajar memungkinkan siswa dapat mengeksplorasi lebih banyak pengetahuan. Interaksi yang dilakukan secara individual dapat meningkatkan efektivitas dalam pendalaman dan penguasaan informasi dan pengetahuan siswa. Oleh Karena, siswa bebas memilih cara yang sesuai dengan style atau modalitas efektif bagi dirinya sendiri. Interaksi yang terjadi dalam kelompok dan klasikal, menuntut terjadinya kematangan bagi penguasaan informasi yang disajikan sehingga interaksi yang berkualitas dapat meningkatkan tingkat penguasaan materi bagi siswa.
Skill atau Keterampilan: Dari keseluruhan proses belajar yang disetting oleh guru dapat menstimulasi siswa melatih keterampilan siswa baik yang bersifat softskill maupun hardskill. Softkill yang dapat dilatih dari proses belajar ini seperti komunikasi, kerjasama, membangun hubungan interpersonal atau social skill, research skill, kreativitas, penyelesaian masalah dan lain sebagainya. Sedangkan hardskill yang dapat dikembangkan sangat ditentukan oleh aktivitas motorik yang dirancang oleh guru.
Sikap atau nilai-nilai: Dalam proses pembelajaran multimodel yang memperhatikan partisipasi siswa dalam proses belajar, pengembangan sikap atau nilai-nilai sangat mendapatkan ruang. Bahwa dengan tingginya partisipasi siswa dalam proses belajar, maka siswa distimulasi untuk menunjukkan perilaku belajar yang dimilikinya. Hal ini memungkinkan guru dapat memberikan merespon perilaku siswa dalam bentuk penguatan positif atau penguatan negative untuk dikembangkan sebagai perilaku baik. Bahkan guru dapat memberikan hukuman bagi siswa sebagai upaya mengurangi perilaku yang tidak diharapkan. Secara detail, pembelajaran multimodel dapat meningkatkan kesadaran diri siswa dalam belajar, rasa percaya diri, tanggung jawab, melatih kepemimpinan dan kolektivitas, kepedulian sosial, serta dapat mengembangkan sikap ilmiah siswa.

Pembelajaran multimodel sarat dengan perilaku belajar. Ketika siswa dapat berpartisipasi secara aktif dan berkesinambungan dalam proses belajar, maka siswa secara perlahan-lahan dapat menunjukkan perilakunya. Perilaku siswa yang dapat diamati guru merupakan potensi yang dapat dieksplorasi untuk dikembangkan menjadi jati diri. Dengan demikian, implementasi pembelajaran multimodel ini dapat memberikan hasil nyata dalam meningkatkan kompetensi siswa.

1. Pengantar Pembelajaran Multimodel (1)

2. Hakekat Pembelajaran Multimodel (2)

3. Implementasi Pembelajaran Multimodel dalam Pembelajaran (3)

4. Manfaat Pembelajaran Multimodel bagi Pencapaian Kompetensi Anak (4)

« Menggugah Kompetensi Guru Indonesia
Kompetensi Profesional Guru Indonesia »
Kompetensi Pedagogik Guru Indonesia

Ditulis oleh Mahmuddin di/pada Maret 19, 2008

Kompetensi Guru merupakan seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dikuasai, dan diaktualisasikan oleh Guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2007 tentang Guru, dinyatakan bahwasanya kompetensi yang harus dimiliki oleh Guru meliputi kompetensi pedagogic, kompetensi kepribadian, kompetensi social, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Kompetensi Guru tersebut bersifat menyeluruh dan merupakan satu kesatuan yang satu sama lain saling berhubungan dan saling mendukung.Kompetensi pedagogik yang dimaksud dalam makalah ini yakni antara lain kemampuan pemahaman tentang peserta didik secara mendalam dan penyelenggaraan pembelajaran yang mendidik. Pemahaman tentang peserta didik meliputi pemahaman tentang psikologi perkembangan anak sedangkan Pembelajaran yang mendidik meliputi kemampuan merancang pembelajaran, mengimplementasikan pembelajaran, menilai proses dan hasil pembelajaran, dan melakukan perbaikan secara berkelanjutan.Sedangkan menurut PP tentang Guru, bahwasanya kompetensi pedagogik Guru merupakan kemampuan Guru dalam pengelolaan pembelajaran peserta didik yang sekurang-kurangnya meliputi: a. pemahaman wawasan atau landasan kependidikan. Guru memiliki latar belakang pendidikan keilmuan sehingga memiliki keahlian secara akademik dan intelektual. Merujuk pada sistem pengelolaan pembelajaran yang berbasis subjek (mata pelajaran), guru seharusnya memiliki kesesuaian antara latar belakang keilmuan dengan subjek yang dibina. Selain itu, guru memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam penyelenggaraan pembelajaran di kelas. Secara otentik kedua hal tersebut dapat dibuktikan dengan ijazah akademik dan ijazah keahlian mengajar (akta mengajar) dari lembaga pendidikan yang diakreditasi pemerintah.b. pemahaman terhadap peserta didik. Guru memiliki pemahaman akan psikologi perkembangan anak, sehingga mengetahui dengan benar pendekatan yang tepat yang dilakukan pada anak didiknya. Guru dapat membimbing anak melewati masa-masa sulit dalam usia yang dialami anak. Selain itu, Guru memiliki pengetahuan dan pemahaman terhadap latar belakang pribadi anak, sehingga dapat mengidentifikasi problem-problem yang dihadapi anak serta menentukan solusi dan pendekatan yang tepat.c. pengembangan kurikulum/silabus. Guru memiliki kemampuan mengembangkan kurikulum pendidikan nasional yang disesuaikan dengan kondisi spesifik lingkungan sekolah. d. perancangan pembelajaran. Guru memiliki merencanakan sistem pembelajaran yang memamfaatkan sumber daya yang ada. Semua aktivitas pembelajaran dari awal sampai akhir telah dapat direncanakan secara strategis, termasuk antisipasi masalah yang kemungkinan dapat timbul dari skenario yang direncanakan.e. pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis. Guru menciptakan situasi belajar bagi anak yang kreatif, aktif dan menyenangkan. Memberikan ruang yang luas bagi anak untuk dapat mengeksplor potensi dan kemampuannya sehingga dapat dilatih dan dikembangkan.f. pemanfaatan teknologi pembelajaran. Dalam menyelenggarakan pembelajaran, guru menggunakan teknologi sebagai media. Menyediakan bahan belajar dan mengadministrasikan dengan menggunakan teknologi informasi. Membiasakan anak berinteraksi dengan menggunakan teknologi.g. evaluasi hasil belajar. Guru memiliki kemampuan untuk mengevaluasi pembelajaran yang dilakukan meliputi perencanaan, respon anak, hasil belajar anak, metode dan pendekatan. Untuk dapat mengevaluasi, guru harus dapat merencanakan penilaian yang tepat, melakukan pengukuran dengan benar, dan membuat kesimpulan dan solusi secara akurat.h. pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Guru memiliki kemampuan untuk membimbing anak, menciptakan wadah bagi anak untuk mengenali potensinya dan melatih untuk mengaktualisasikan potensi yang dimiliki.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengembangkan kemampuan ini adalah dengan melaksanakan penelitian tindakan kelas. Penelitian tindakan kelas, berbasis pada perencanaan dan solusi atas masalah yang dihadapi anak dalam belajar. Sehingga hasil belajar anak dapat meningkat dan target perencanaan guru dapat tercapai. Pada prinsipnya, Kesemua aspek kompetensi paedagogik di atas senantiasa dapat ditingkatkan melalui pengembangan kajian masalah dan alternatife solusi

Hakekat Pembelajaran Multimodel (2)
Manfaat Pembelajaran Multimodel bagi Pencapaian Kompetensi Anak (4) »
Implementasi Pembelajaran Multimodel dalam Pembelajaran(3)

Ditulis oleh Mahmuddin di/pada Oktober 21, 2009

Pada pembelajaran multimodel, situasi kelas yang tergambar dikelola dengan sangat baik dan kondusif. Proses belajar sangat mengutamakan adanya interaksi dan kerjasama yang baik antara guru dengan siswa, serta siswa dengan siswa secara demokratis sehingga proses pembelajaran sangat dinamis. Peran guru sebagai fasilitator belajar sangat vital dalam mencairkan suasana, mengontrol efektivitas tahapan-tahapan pembelajaran serta mengantar siswa melewati transisi dalam berpindah tahapan. Pendelegasian sebagian peran kepada siswa, semakin memberikan suasana kelas yang memiliki atmosfer belajar.

Fase-fase/Tahapan dalam Pelaksanaan Pembelajaran Multimodel

Pada pembelajaran multimodel, tahapan pembelajaran tidak bersifat permanen tetapi sangat ditentukan oleh konten/materi bahan pelajaran dan situasi kelas yang ingin diciptakan oleh guru. Tahapan dalam proses belajar dengan pembelajaran multimodel sangat memungkinkan terjadinya kombinasi tahapan antar model-model pembelajaran yang telah ada. Prinsip dalam penyusunan tahapan pembelajaran adalah tujuan yang ingin dicapai, pengalaman belajar yang diharapkan, partisipasi siswa dalam belajar, efektivitas dalam mengelola waktu. Namun demikian, salah satu bentuk implementasi pembelajaran multimodel dapat dikemukakan dalam bentuk fase-fase pembelajaran, sebagai berikut:

Fase I (motivasi dan perumusan tujuan)

Pada tahapan awal ini, guru sebagai fasilitator melakukan ice breaker dengan siswa, kemudian direfleksi untuk memberikan motivasi atau membangkitkan semangat belajar siswa. setelah itu, guru memfasilitasi siswa untuk merumuskan tujuan pembelajaran secara demokratis. Keterlibatan siswa dalam merumuskan tujuan belajar, membangun rasa tanggung jawab dan hubungan emosional siswa dengan aktivitas belajar.

Fase II (Penyajian data dan orientasi masalah)

Pada tahapan kedua ini, guru dapat menyajikan materi inti dari konten yang ingin dipahami, skill yang akan dilatih, sikap yang akan ditunjukkan serta mengarahkan kegiatan yang akan dilakukan. Guru dan siswa dapat saling berinteraksi dalam fase ini untuk selanjutnya, siswa memahami kegiatan yang harus dilakukan dalam tahap belajar berikutnya. Pada tahap ini, juga dapat dilakukan pengelompokan siswa secara berimbang dengan memperhatikan faktor efektivitas kegiatan dan kualitas interaksi.

Fase III (kajian masalah dan penyelesaiannya)

Pada tahapan ini siswa diberikan kesempatan untuk menyelesaikan masalah yang ada bersama baik secara individual maupun kelompok yang telah ditentukan. Siswa dapat mengeksplorasi lingkungan, literature, bereksperimen, berdiskusi dengan nara sumber atau sesama anggota kelompok. Dalam tahap ini, guru dapat melakukan pendekatan kepada siswa secara individual atau kelompok untuk pembimbingan untuk efektivitas dalam pencapaian tujuan. Guru juga dapat memberikan motivasi, penguatan dan penghargaan sebagai bentuk perhatian yang dilakukan secara merata dan tepat guna kepada siswa. Namun demikian, orientasi tetap pada tanggung jawab siswa dalam menyelesaikan masalah yang diberikan melalui proses kerja sama yang memberikan peran masing-masing secara proporsional. Teori behavioral untuk pembelajaran menekankan pentingnya pengkondisian sebagai upaya mengaitkan atau mengasosiasi stimuli serta peran konsekuensi perilaku dalam menghasilkan perubahan dalam probabilitas perlaku (Santrock, 2007).

Fase IV (Komunikasi/Penyajian hasil)

Pada tahap ini, guru memfasilitasi siswa mengkomunikasi pemahamannya dan atau menyajikan hasil karyanya untuk dishare kepada anggota kelas/kelompok lain. Pada tahap ini, kelompok lain dapat memberikan tanggapan dan penilaian terhadap materi yang disajikan sehingga terjadi interaksi dalam proses pembelajaran. Intervensi guru dalam hal ini, dapat berperan dalam klarifikasi dan mengarahkan untuk pembentukan kesimpulan. Dengan demikian, pengembangan akan informasi yang didapat akan lebih beraneka ragam. Interaksi yang terjadi dapat memicu kreatifitas dan daya berpikir yang lebih luas, sehingga dapat terbentuk asosiasi pengalaman sebagai stimulus untuk membentuk perilaku yang lebih baik.

Fase V (Refleksi dan Penghargaan/reward)

Pada tahap ini, siswa diarahkan untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap aktivitas yang telah dilakukan dan memikirkan upaya yang dapat dilakukan untuk mengembangkan aktivitas sehingga menjadi lebih baik. Siswa dapat melakukan evaluasi terhadap strategi pembelajaran yang diterapkan guru dan sebaliknya, guru juga dapat memberikan feedback kepada siswa. Setelah itu, guru menyampaikan penghargaan terhadap pencapaian hasil belajar siswa yang ditunjukkan selama proses interaksi serta hasil yang dicapai dari sebuah proses. Penghargaan dapat didukung oleh bukti rekaman aktivitas atau penilaian yang dilakukan oleh guru ataupun oleh siswa sendiri. Penghargaan dapat diberikan dalam bentuk pujian yang positif, sehingga dapat meningkatkan daya respon anak terhadap stimulus. Pada tahap ini pula, guru dapat memberikan suplemen materi, sebagai pengayaan yang dapat dipelajari siswa secara mandiri atau dengan bimbingan guru secara nonreguler.

Hal yang penting menjadi perhatian bagi guru dalam pembelajaran multimodel ini adalah pemeliharaan motivasi siswa agar tetap fokus dalam proses belajar. Dalam hal ini, guru harus kreatif dalam memulai proses belajar, jeli menciptakan kegiatan sela dalam setiap perpindahan fase atau pada setiap term waktu tertentu, serta cerdas dalam mengakhiri setiap fase dan menutup proses pelajaran. Menurut Given (2007), dalam sistem pembelajaran emosional, guru dituntut menciptakan iklim kelas yang kondusif bagi keamanan emosional dan hubungan pribadi untuk siswa agar mereka dapat belajar secara efektif. Guru yang memupuk sistem emosional berfungsi sebagai mentor bagi siswa dengan menunjukkan antusiasme yang tulus terhadap anak didik, dengan membantu siswa menemukan hasrat belajar, dengan membimbing mereka mewujudkan target pribadi yang masuk akal, dan mendukung mereka dalam upaya untuk menjadi apapun yang mereka bisa capai. Oleh karena itu, pelajarn harus menarik, menantang, relevan, berkaitan dengan apa sudah diketahui siswa, bisa dicapai, atau berada dalam zona perkembangan proksimal siswa.

1. Pengantar Pembelajaran Multimodel (1)

2. Hakekat Pembelajaran Multimodel (2)

3. Implementasi Pembelajaran Multimodel dalam Pembelajaran (3)

4. Manfaat Pembelajaran Multimodel bagi Pencapaian Kompetensi Anak (4)

Oleh: mbahnur | 12 Februari 2010

SOSOILOGISASTRA

Jumat Legi 12 Pebruari 2010

KONSEPSI

Sastra merupakan pencerminan masyarakat. Melalui karya sastra, seorang pengarang mengungkapkan problema kehidupan yang pengarang sendiri ikut berada di dalamnya. Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat. Bahkan seringkali masyarakat sangat menentukan nilai karya sastra yang hidup di suatu zaman, sementara sastrawan sendiri adalah anggota masyarakat yang terikat status sosial tertentu dan tidak dapat mengelak dari adanya pengaruh yang diterimanya dari lingkungan yang membesarkan sekaligus membentuknya. Wellek dan Warren membahas hubungan sastra dan masyarakat sebagai berikut:
Literature is a social institution, using as its medium language, a social
creation. They are conventions and norm which could have arisen only in society.
But, furthermore, literature ‘represent’ ‘life’; and ‘life’ is, in large
measure, a social reality, eventhough the natural world and the inner or
subjective world of the individual have also been objects of literary
‘imitation’. The poet himself is a member of society, possesed of a specific
social status; he recieves some degree of social recognition and reward; he
addresses an audience, however hypothetical. (1956:94)

Senada dengan pernyataan diatas, Damono mengungkapkan bahwa sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antar masyarakat, antar masyarakat dengan orang-seorang, antarmanusia, dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang (2003:1). Bagaimanapun juga, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang yang sering menjadi bahan sastra, adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat dan menumbuhkan sikap sosial tertentu atau bahkan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu.

Pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan itu disebut sosiologi sastra dengan menggunakan analisis teks untuk mengetahiu strukturnya, untuk kemudian dipergunakan memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang di luar sastra (Damono, 2003:3).

Sosiologi adalah telaah tentang lembaga dan proses sosial manusia yang objektif dan ilmiah dalam masyarakat. Sosiologi mencoba mencari tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung, dan bagaimana ia tetap ada. Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan segala masalah ekonomi, agama, politik dan lain-lain — yang kesemuanya itu merupakan struktur sosial— kita mendapatkan gambaran tentang cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, tentang mekanisme sosialisasi, proses pembudayaan yang menempatkan anggota masyarakat di tempatnya masing-masing.

Sesungguhnya sosiologi dan sastra berbagi masalah yang sama. Seperti halnya sosiologi, sastra juga berurusan dengan manusia dalam masyarakat sebagai usaha manusia untuk menyesuakan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Dengan demikian, novel dapat dianggap sebagai usaha untuk menciptakan kembali dunia sosial yaitu hubungan manusia dengan keluarga, lingkungan, politik, negara, ekonomi, dan sebagainya yang juga menjadi urusan sosiologi. Dapat disimpulkan bahwa sosiologi dapat memberi penjelasan yang bermanfaat tentang sastra, dan bahkan dapat dikatakan bahwa tanpa sosiologi, pemahaman kita tentang sastra belum lengkap.

Rahmat Djoko Pradopo (1993:34) menyatakan bahwa tujuan studi sosiologis dalam kesusastraan adalah untuk mendapatkan gambaran utuh mengenai hubungan antara pengarang, karya sastra, dan masyarakat.

Pendekatan sosiologi sastra yang paling banyak dilakukan saat ini menaruh perhatian yang besar terhadap aspek dokumenter sastra dan landasannya adalah gagasan bahwa sastra merupakan cermin zamannya. Pandangan tersebut beranggapan bahwa sastra merupakan cermin langsung dari berbagai segi struktur sosial hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas, dan lain-lain. Dalam hal itu tugas sosiologi sastra adalah mengubungkan pengalaman tokoh-tokoh khayal dan situasi ciptaan pengarang itu dengan keadaan sejarah yang merupakan asal usulnya. Tema dan gaya yang ada dalam karya sastra yang bersifat pribadi itu harus diubah menjadi hal-hal yang bersifat sosial.

1. Pengantar

Sosiologi sastra sebagai suatu jenis pendekatan terhadap sastra memiliki paradigma dengan asumsi dan implikasi epistemologis yang berbeda daripada yang telah digariskan oleh teori sastra berdasarkan prinsip otonomi sastra. Penelitian-penelitian sosiologi sastra menghasilkan pandangan bahwa karya sastra adalah ekspresi dan bagian dari masyarakat, dan dengan demikian memiliki keterkaitan resiprokal dengan jaringan-jaringan sistem dan nilai dalam masyarakat tersebut (Soemanto, 1993; Levin, 1973:56). Sebagai suatu bidang teori, maka sosiologi sastra dituntut memenuhi persyaratan-persyaratan keilmuan dalam menangani objek sasarannya.

Istilah “sosiologi sastra” dalam ilmu sastra dimaksudkan untuk menyebut para kritikus dan ahli sejarah sastra yang terutama memperhatikan hubungan antara pengarang dengan kelas sosialnya, status sosial dan ideologinya, kondisi ekonomi dalam profesinya, dan model pembaca yang ditujunya. Mereka memandang bahwa karya sastra (baik aspek isi maupun bentuknya) secara mudak terkondisi oleh lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode tertentu (Abrams, 1981:178).

Sekalipun teori sosiologis sastra sudah diketengahkan orang sejak sebelum Masehi, dalam disiplin ilmu sastra, teori sosiologi sastra merupakan suatu bidang ilmu yang tergolong masih cukup muda (Damono, 1977:3) berkaitan dengan kemantapan dan kemapanan teori ini dalam mengembangkan alat-alat analisis sastra yang relatif masih lahil dibandingkan dengan teori sastra berdasarkan prinsip otonomi sastra.

2. Sejarah Pertumbuhan

Konsep sosiologi sastra didasarkan pada dalil bahwa karya sastra ditulis oleh seorang pengarang, dan pengarang merupakan a salient being, makhluk yang mengalami sensasi-sensasi dalam kehidupan empirik masyarakatnya. Dengan demikian, sastra juga dibentuk oleh masyarakatnya, sastra berada dalam jaringan sistem dan nilai dalam masyarakatnya. Dari kesadaran ini muncul pemahaman bahwa sastra memiliki keterkaitan timbal-balik dalam derajat tertentu dengan masyarakatnya; dan sosiologi sastra berupaya meneliti pertautan antara sastra dengan kenyataan masyarakat dalam berbagai dimensinya (Soemanto, 1993). Konsep dasar sosiologi sastra sebenarnya sudah dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles yang mengajukan istilah ‘mimesis’, yang menyinggung hubungan antara sastra dan masyarakat sebagai ‘cermin’.

Pengertian mimesis (Yunani: perwujudan atau peniruan) pertama kali dipergunakan dalam teori-teori tentang seni seperti dikemukakan Plato (428-348) dan Aristoteles (384-322), dan dari abad ke abad sangat memengaruhi teori-teori mengenai seni dan sastra di Eropa (Van Luxemburg, 1986:15).

Menurut Plato, setiap benda yang berwujud mencerminkan suatu ide asti (semacam gambar induk). Jika seorang tukang membuat sebuah kursi, maka ia hanya menjiplak kursi yang terdapat dalam dunia Ide-ide. Jiplakan atau copy itu selalu tidak memadai seperti aslinya; kenyataan yang kita amati dengan pancaindra selalu kalah dari dunia Ide. Seni pada umumnya hanya menyajikan suatu ilusi (khayalan) tentang ‘kenyataan’ (yang juga hanya tiruan dari ‘Kenyataan Yang Sebenarnya’) sehingga tetap jauh dari ‘kebenaran’. Oleh karena itu lebih berhargalah seorang tukang daripada seniman karena seniman menjiplak jiplakan, membuat copy dari copy.

Aristoteles juga mengambil teori mimesis Plato yakni seni menggambarkan kenyataan, tetapi dia berpendapat bahwa mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataan melainkan juga menciptakan sesuatu yang haru karena ‘kenyataan’ itu tergantung pula pada sikap kreatif orang dalam memandang kenyataan. Jadi sastra bukan lagi copy (jiblakan) atas copy (kenyataan) melainkan sebagai suatu ungkapan atau perwujudan mengenai “universalia” (konsep-konsep umum). Dari kenyataan yang wujudnya kacau, penyair memilih beberapa unsur lalu menyusun suatu gambaran yang dapat kita pahami, karena menampilkan kodrat manusia dan kebenaran universal yang berlaku pada segala jaman.

Levin (1973:56-60) mengungkapkan bahwa konsep ‘mimesis’ itu mulai dihidupkan kembali pada zaman humanisme Renaissance dan nasionalisme Romantik. Humanisme Renaissance sudah berupaya mengbilangkan perdehatan prinsipial antara sastra modern dan sastra kuno dengan menggariskan paham bahwa masing-masing kesusastraan itu merupakan ciptaan unik yang memiliki pembayangan historis dalam jamannya. Dasar pembayangan historis ini telah dikembangkan pula dalam zaman nasionalisme Romantik, yang secara khusus meneliti dan menghidupkan kembali tradisi-tradisi asli berbagai negara dengan suatu perbandingan geografis. Kedua pandangan tersebut kemudian diwariskan kepada zaman berikutnya, yakni positivisme ilmiah.

Pada zaman positivisme ilmiah, muncul tokoh sosiologi sastra terpenting: Hippolyte Taine (1766-1817). Dia adalah seorang sejarawan kritikus naturalis Perancis, yang sering dipandang sebagai peletak dasar bagi sosiologi sastra modern. Taine ingin merumuskan sebuah pendekatan sosiologi sastra yang sepenuhnya ilmiah dengan menggunakan metode-metode seperti yang digunakan dalam ilmu alam dan pasti. Dalam bukunya History of English Literature (1863) dia menyebutkan bahwa sebuah karya sastra dapat dijelaskan menurut tiga faktor, yakni ras, saat (momen), dan lingkungan (milieu). Bila kita mengetahui fakta tentang ras, lingkungan dan momen, maka kita dapat memahami iklim rohani suatu kebudayaan yang melahirkan seorang pengarang beserta karyanya. Menurut dia faktor-faktor inilah yang menghasilkan struktur mental (pengarang) yang selanjutnya diwujudkan dalam sastra dan seni. Adapun ras itu apa yang diwarisi manusia dalam jiwa dan raganya. Saat (momen) ialah situasi sosial-politik pada suatu periode tertentu. Lingkungan meliputi keadaan alam, iklim, dan sosial. Konsep Taine mengenai milieu inilah yang kemudian menjadi mata rantai yang menghubungkan kritik sastra dengan ilmu-ilmu sosial.

Pandangan Taine, terutama yang dituangkannya dalam buku Sejarah Kesusastraan Inggris, oleh pembaca kontemporer asal Swiss, Amiel, dianggap membuka cakrawala pemahaman baru yang berbeda dan cakrawala anatomis kaku (strukruralisme) yang berkembang waktu itu. Bagi Amiel, buku Taine ini membawa aroma baru yang segar bagi model kesusastraan Amerika di masa depan. Sambutan yang hangat terutama datang dari Flaubert (1864). Dia mencatat, bahwa Taine secara khusus telah menyerang anggapan yang berlaku pada masa itu bahwa karya sastra seolah-olah merupakan meteor yang jatuh dari langit. Menurut Flaubert, sekalipun segi-segi sosial tidak diperlukan dalam pencerapan estetik, sukar bagi kita untuk mengingkari keberadaannya. Faktor lingkungan historis ini sering kali mendapat kritik dari golongan yang percaya pada ‘misteri’ (ilham). Menurut Taine, hal-hal yang dianggap misteri itu sebenarnya dapat dijelaskan dari lingkungan sosial asal misteri itu. Sekalipun penjelasan Taine ini memiliki kelemahan-kelemahan tertentu, khususnya dalam penjelasannya yang sangat positivistik, namun telah menjadi pemicu perkembangan pemikiran intelektual di kemudian hari dalam merumuskan disiplin sosiologi sastra.

3. Teori Sastra Marxis

Pendekatan sosiologi sastra yang paling terkemuka dalam ilmu sastra adalah Marxisme. Kritikus-kritikus Marxis biasanya mendasarkan teorinya pada doktrin Manifesto Komunis (1848) yang diberikan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels, khusunya terhadap pernyataan bahwa perkembangan evolusi historis manusia dan institusi-institusinya ditentukan oleh perubahan mendasar dalam produksi ekonomi. Peruhanan itu mengakibatkan perombakan dalam struktur kelas-kelas ekonomi, yang dalam setiap jaman selalu bersaing demi kedudukan sosial ekonomi dan status politik. Kehidupan agama, intelektual, dan kebudayaan setiap jaman -termasuk seni dan kesusastraan – merupakan ‘ideologi-ideologi’ dan ‘suprastruktur-suprastruktur’ yang berkaitan secara dialektikal, dan dibentuk atau merupakan akibat dari struktur dan perjuangan kelas dalam jamannya (Abrams, 1981:178).

Sejarah dipandang sebagai suatu perkembangan yang terus-menerus. Daya-daya kekuatan di dalam kenyataan secara progresif selalu tumbuh untuk menuju kepada suatu masyarakat yang ideal tanpa kelas. Evolusi ini tidakberjalan dengan mulus melainkan penuh hambatan-hambatan. Hubungan ekonomi menimbulkan berbagai kelas sosial yang saling bermusuhan. Pertentangan kelas yang terjadi pada akhirnya dimenangkan oleh suatu kelas tertentu. Hubungan produksi yang baru perlu melawan kelas yang berkuasa agar tercapailah suatu tahap masyarakat ideal tanpa kelas, yang dikuasai oleh kaum proletar.

Bagi Marx, sastra dan semua gejala kebudayaan lainnya mencerminkan pola hubungan ekonomi karena sastra terikat akan kelas-kelas yang ada di dalam masyarakatnya. Oleh karena itu, karya sastra hanya dapat dimengerti jika dikaitkan dengan hubungan-hubungan tersebut (Van Luxemburg, 1986:24-25). Menurut Lenin, seorang tokoh yang dipandang sebagai peletak dasar bagi kritik sastra Marxis, sastra (dan seni pada umumnya) merupakan suatu sarana penting dan strategis dalam perjuangan proletariat melawan kapitalisme.

4. George Lukacs: Sastra Sebagai Cermin

George Lukacs adalah seorang kritikus Marxis terkemuka yang berasal dari Hungaria dan menulis dalam bahasa Jerman (Damono, 1979:31). Lukacs mempergunakan istilah “cermin” sebagai ciri khas dalam keseluruhan karyanya. Mencerminkan menurut dia, berarti menyusun sebuah struktur mental. Sebuah novel tidak hanya mencerminkan ‘realitas’ tetapi lebih dari itu memberikan kepada kita “sebuah refleksi realitas yang lebih besar, lebih lengkap, lebih hidup, dan lebih dinamik” yang mungkin melampaui pemahaman umum. Sebuah karya sastra tidak hanya mencerminkan fenomena idividual secara tertutup melainkan lebih merupakan sebuah ‘proses yang hidup’. Sastra tidak mencerminkan realitas sebagai semacam fotografi, melainkan lebih sebagai suatu bentuk khusus yang mencerminkan realitas. Dengan demikian, sastra dapat mencerminkan realitas secara jujur dan objektif dan dapat juga mencerminkan kesan realitas subjektif (Selden, 1991:27).

Lukacs menegaskan pandangan tentang karya realisme yang sungguh-sungguh sebagai karya yang memberikan perasaan artistik yang bersumber dari imajinasi-imajinasi yang diberikannya. Imajinasi-imajinasi itu memiliki totalitas intensif yang sesuai dengan totalitas ekstensif dunia. Penulis tidak memberikan gambaran dunia abstrak melainkan kekayaan imajinasi dan kompleksitas kehidupan untuk dihayati untuk membentuk sebuah tatanan masyarakat yang ideal. Jadi sasarannya adalah pemecahan kontradiksi melalui dialektika sejarah.

5. Bertold Brecht: Efek Alienasi

Bertold Brecht adalah seorang dramawan Jerman yang terhakar jiwanya ketika membaca buku Marx sekitar tahun 1926. Drama-dramanya bersifat radikal, anarkistik, dan anti borjuis. Sebagai seorang yang anti terhadap paham-paham realisme sosialis, ia terkenal sebagai penentang aliran Aristoteles. Aristoteles menekankan universalitas dan kesatuan aksi tragik dan identifikasi penonton terhadap pahlawan-pahlawan positif untuk menghasilkan ‘katarsis’ (pelepasan hehan) perasaan.

Menurut Brecht, dramawan bendaknya menghindari alur yang dihuhungkan secara lancar dengan makna dan nilai-nilai universal yang pasti. Fakta-fakta ketidakadilan dan ketidakwajaran perlu dihadirkan untuk mengejutkan dan mengagetkan penonton. Penonton jangan ditidurkan dengan ilusi-ilusi palsu. Para pelaku tidak harus menghilangkan personalitas dirinya untuk mendorong identifikasi penonton atas tokoh-tokoh pahlawannya. Mereka harus mampu menimbulkan efek alienasi (keterasingan). Pemain bukan berfungsi menunjukkan melainkan mengungkapkan secara spontan individualitasnya (Selden, 1991:30-32).

6. Aliran Frankfurt

Aliran Frankfurut adalah sebuah aliran filsafat sosial yang dirintis oleh Horkheimer dan Th. W. Adorno yang berusaha menggabungkan teori ekonomi sosial Marx dengan psikoanalisis Freud dalam mengkritik teori sosial kapitalis (Hartoko, 1986:29-30). Dalam bidang sastra, estetika Marxis Aliran Frankfurt mengembangkan apa yang disebut “Teori Kritik” (dimulai tahun 1933). Teori Kritik merupakan sebuah bentuk analisis kemasyarakatan yang juga meliputi unsur-unsur aliran Marx dan aliran Freud. Tokoh-tokoh utama dalam filsafat dan estetika adalah: Max Horkheimer, Theodor Adorno, Berhert Marcuse dan J. Habermas (Selden, 1993:32-37).

Seni dan kesusastraan mendapat perhatian istimewa dalam teori sosiologi Frankfurt, karena inilah satu-satunya wilayah di mana dominasi totaliter dapat ditentang. Adorno mengkritik pandangan Lukacs bahwa sastra berbeda dari pemikiran, tidak mempunyai hubungan yang langsung dengan realitas. Keterpisahan itu, menurut Adorno, justru memberi kekuatan kepada seni untuk mengkritik dan menegasi realitas, seperti yang ditunjukkan oleh seni-seni Avant Garde. Seni-seni populer sudah bersekongkol dengan sistem ekonomi yang membentuknya, sehingga tidak mampu mengambil jarak dengan realitas yang sudah dimanipulasi oleh sistem sosial yang ada. Mereka memandang sistem sosial sebagai sebuah totalitas yang di dalamnya semua aspek mencerminkan esensi yang sama (masyarakat satu dimensi).

Adorno menolak teori-teori tradisional tentang kesatuan dan pentingnya individualitas (paham ekspresionisme) atau mengenai bahasa yang penuh arti (strukturalisme) karena hanya membenarkan sistem sosial yang ada. Menurutnya, drama menghadirkan pelaku-pelaku tanpa individualitas dan klise-klise bahasa yang terpecah-pecah, diskontinuitas wacana yang absurd, penokohan yang memhosankan, dan ketiadaan alur. Semuanya itu menimbulkan efek estetik yang menjauhkan realitas yang dihadirkan dalam drama itu, dan inilah sebuah pengetahuan tentang eksistensi dunia modern sekaligus pemberontakan terhadap tipe masyarakat satu dimensi.

7. Teori-Teori Neomarxisme

Kaum Neomarxis merupakan pemikir sastra yang meneliti ajaran Marx (khusus pada masa mudanya), dan dengan bantuan sosiologi, ingin menjadikannya relevan dengan masyarakat modern. Mereka tidak mendasarkan argumennya pada Marx, Lenin, dan Engels sebagai dogma politik, ataupun menerima supremasi Partai Komunis terhadap budaya dan ilmu. Kaum Neomarxis hanya mengambil ajaran Marx sebagai sumber inspirasi, khususnya dalam hal studi kritik sastra Marxis (Fokkema & Kunne-Ibsch, 1977:115). Aliran Frankfurt, oleh beberapa pengamat dipandang sebagai salah satu bentuk teori Neomarxis. Tokoh-tokoh pentingnya antara lain Fredric Jameson, Walter Benjamin, Lucien Goldman, dan Th. Adorno.

Neomarxisme lebih bersifat epistemologis daripada politis. Mereka menganut paham “metode dialektik”. Sekalipun lingkup diskusi mereka sangat luas, lagi pula pandangan mereka tidak secara khusus diterapkan pada Teori Sastra saja, Th. Adorno meagemukakan bahwa ada empat gagasan pokok dalam pembicaraan aliran ini (Fokkema & Kunne-Ibsch, 1977:134-135).

1) Metode dialektika dapat memberikan suatu pemahaman mengenai totalitas masyarakat’. Penggunaan metode ini mencegah kekerdilan pandangan terhadap seni hanya sebagai fakta atau masalah. Metode ini merupakan suatu bagian kajian ilmiah yang mampu mempelajari konteks sosial suatu fakta estetik. Di samping mendalami objek (seni) tertentu, mereka juga harus menguji objek itu yang ditempatkan sebagai subjek dalam masyarakat. Studi mereka dapat terfokus pada konteks historis, dengan melakukan observasi terhadap fenomena-fenomena serta harapan tertentu mengenai implikasinya di masa depan. Objek kajian metode dialektika tidak terbatas, karena masyarakat yang satu merupakan totalitas dalam dialektika kata.

2) Metode dialektik berorientasi pada hubungan antara konkretisasi sejarah umum dan sejarah individual. Konteks kajiannya bukan hanya sekedar masa lampau tetapi juga masa depan. Masa depan memang terbuka untuk berbagai kemungkinan, namun dia ditentukan oleh intensi-intensi yang telah ditetapkan manusia, masyarakat, sejarah. Setiap bidang (ilmu, politik, sejarah) selalu mengandung aspek teleologis (tujuan, sasaran) berkenaan dengan masa depan yang masih jauh.

3) Aspek teleologikal itu tergantung kepada perbedaan antara hukum kebenaran yang tampak dan kebenaran esensial. Hanya fenomena-fenomena yang tampak secara nyatalah yang dapat dikaji secara empiris, tetapi tetap harus dipandang dalam kerangka kebenaran esensial. Jadi aspek teleologis memiliki identitas ganda terhadap suatu subjek: dapat mencapai kesadaran yang benar (yang lebih tinggi), tetapi dapat pula mencapai kesadaran yang salah (yang lebih rendah) tergantung pada konteks yang berbeda-beda.

4) Perlu diperhatikan perbedaan antara teori dan praktik, antara objek bahasa dan metabahasa, dan antara fakta-fakta hasil observasi dengan nilai-nilai yang dilekatkan pada fakta itu. Subjek harus selalu menyadari posisinya dalam masyarakat. Identitas tidak lagi terletak di antara dua konsep, melainkan tergantung pada relasi subjek dan objeknya, antara proses berpikir dan realitasnya.

Berdasarkan metode berpikir dialektis tersebut, Fredric Jameson mengungkapkan bahwa hakikat suatu karya sastra dapat diketahui dari penelitian tentang latar belakang historisnya. Kita tidak hanya sekedar ingin menangkap nilai-nilai yang sempit pada permukaan (seperti dilakukan kaum New Criticism), melainkan harus dapat menemukan hubungan orisinal antara Subjek dan Objek sesuai dengan kedudukannya (Culler, 1981:12-13). Jadi hasil kritik dialektikal itu bukan hanya sekedar suatu interpretasi sastra, melainkan juga sejarah model interpretasi dan kebutuhan akan suatu model interpretasi yang khusus.

Dalam bukunya The Political Unconscious: Narrative As a Socially SimhoUc Act (1981), Jameson mengusulkan interpretasi politik terhadap sastra. Perspektif politik ini tidak merupakan metode pelengkap atau tambahan pada metode lainnya (seperti: psikoanalisis, kritik mitos, stilistika, etika, strukturalisme) melainkan suatu pandangan politik yang absolut. Dasar pandangannya adalah bahwa setiap teks mengandung resonansi sosial, historis, dan polios. Dengan persepsi bahwa cerita hanyalah permukaan sebuah teks yang menguhur sejarahnya yang hakiki, maka pentinglah analisis mengenai ‘ketaksadaran politis’ dalam teks-teks sastra. Dalam setiap teks tercakup beragam operasi mental sehingga pemahaman dialektikal pun sifatnya tidak mutlak. Metode dialektika menempatkan karya sastra sebagai subjek yang mengandung totalitas masyarakatnya.

Jameson mengungkapkan kekecewaannya terhadap paradigma dan ohsesi intelektual paham strukturalisme selama kurun abad kedua puluh, yang ingin memikirkan persoalan-persoalan hidup dan totalitasnya melalui sarana bahasa dalam teks sastra (Eagleton, 1983:97). Menurut dia, bahasa hanya akan menjadi semacam penjara bagi persoalan hidup dan totalitasnya karena hidup dan permasalahannya terlalu luas untuk diwadahi oleh sarana bahasa.

Menurut Jameson, sebuah karya individual selalu merupakan bagian dari struktur yang lebih besar. Dengan demikian bentuk dan struktur karya individual harus selalu dipahami dalam dimensi sejarah, yang secara dominan dilandaskan pada dasar (infrastructure) ekonomi. Sekalipun faktor-faktor yang memengaruhi pengarang menuangkan gagasannya sangat beragam, namun kekuatan-kekuatan itu mempunyai satu hasis utama, yakni ekonomi. Ekonomi dan efek-efeknya merupakan taktor utama yang melahirkan suprastruktur: budaya, ideologi, filsafat, agama, hukum, bahkan pemerintah dan negara.

Manusia selalu berada dalam situasi ‘ketaksadaran politik. Teks-teks sastra pun mengandung ketaksadaran politik, yang menawarkan strategi bagi pengbilangan kontradiksi-kontradiksi sejarah. Pengarang individual seolah dihius oleh ketaksadaran politik ini, sehingga dia secara tidak sadar mengungkapkan modus-modus heterogenitas di luar teks. Heterogenitas sosial mengakibatkan keberagaman teks. Dengan demikian tidak ada suatu kerangka referensi yang pasti dan mutlak yang diperlukan sebagai model acuan bagi eksplikasi tekstual. Setiap teks membutuhkan kategori-kategori eksplikasi tertentu sesuai dengan kekhususannya, dan sifatnya pun hanya sekedar menggambarkan saat tertentu.

Terry Eagleton juga seorang kritikus Neomarxis yang berusaha meng-hidupkan kembali kritik Marx di Inggris dan menghasilkan kritik impresif terhadap tradisi kritik Inggris melalui revolusi radikal perkembangan novel Inggris (Selden, 1991:42). Tugas utama kritik sastra, menurut dia, adalah mendefinisikan hubungan antara sastra dan ideologi, karena sastra tidak merupakan cerminan kenyataan melainkan mengandung efek ideologis yang nyata (Selden, 1991:43).

Pada bagian penutup bukunyaLiterary Theory: An Introduction (1985:194), Eagleton menyebut teori-teori sastra modem yang ‘murni’ sebagai mitos airaftemik yang melarikan diri dari kondisi huruk sejarah modern. Teori-teori itu, ironisnya, justru menjadi pelarian dari realitas menuju sejumlah alternatif tanpa batasan. Mereka bukannya terlihat dengan situasi konkret manusia, tetapi melarikan diri kepada puisi itu sendiri, masyarakat organik (yang bulat dan utuh, bukannya terpecah-pecah), kebenaranabadi, imajinasi, struktur pemikiran manusia, mitos, bahasa, dan sebagainya. Bagi Eagleton, alternatif-alteraatif pelarian itu lebih merupakan penipuan. Secara ironis, Eagleton menilai teori-teori itu sebagai proyek kaum Scrunity (= peneliti yang cermat), yang sudah saatnya ditinggalkan karena sukar, abstrak, dan absurd (Culler, 1988:57-68). Secara umum, Eagleton merasa kecewa terhadap ideologi borjuis yang telah terbukti menelantarkan kaum miskin dan lemah ke dalam marginalitas sosial politik.

Sebagaimana Jameson, Eagleton juga mengusulkan kritik politik. Menurut dia, politik adalah semua cara pengaturan kehidupan bermasyarakat yang meli-hatkan hubungan kekuasaan di dalamnya. Dalam kehidupan bermasyarakat selalu terlihat ideologi tertentu. Teori kritik sastra harus mendefinisikan model ideologi tersebut. Asumsi dasamya adalah sastra secara vital terlihat dalam kehidupan konkret manusia dan bukan sekedar gambaran abstrak (1985:196).

Seorang peneliti sastra harus membongkar gagasan-gagasan kesusastraan dan menempatkan ideologi yang berperan membentuk subjektivitas pembaca, dan lebih jauh menghasilkan efek-efek politis tertentu yang harangkali tidak diharapkan (Selden, 1991:45). Dia melinat bahwa kebanyakan studi sastra memulai pendekatan secara benar, tetapi kemudian gagal dalam melihat relevansi sosial-politiknya, lebih-lebih karena tidak ada relevansinya sama sekali dengan ideologi. Kebanyakan kritik sastra justru lebih memperkuat sistem-sistem kekuasaan daripada menentangnya.

8 Rangkuman

Teori-teori sosiologi sastra mempersoalkan kaitan antara karya sastra dan ‘kenyataan’. Sebenarnya teori sosiologi sastra inilah yang paling tua usianya dalam sejarah kritik sastra. Dalam kenyataannya, teori yang sudah dirintis oleh filsafat Plato (Abad 4-3 SM) tentang ‘mimesis’ itu baru mulai dikembangkan pada abad 17-18 — yakni zaman positivisme ilmiah — oleh Hippolite Taine dan berkembang pesat pada awal abad ke-19 dengan dicanangkannya doktrin Manifesto Komunis oleh Marx dan Engels.

Studi-studi sosiologis terhadap sastra menghasilkan pandangan bahwa karya sastra dalam taraf tertentu merupakan ekspresi masyarakat dan bagian dari suatu masyarakat. Kenyataan inilah yang menarik perhatian para teoretisi sosiologi sastra untuk mencoba menjelaskan pola dan model hubungan resiprokal itu. Penjelasan Taine dengan menggunakan metode-metode ilmu pasti menarik perhatian, namun ciri positivistis dalam teorinya menimbulkan permasalahan yang rumit mengenai hakikat karya sastra sebagai ‘karya fiksi’. Teori-teori Marxisme, yang memandang seni (sastra) sebagai ‘alat perjuangan politik’ terlalu menekankan aspek pragmatis sastra dan dalam banyak hal mengabaikan struktur karya sastra.

Pemikir-pemikir Neomarxis memanfaatkan filsafat dialektika materialisme Marx untuk mendefinisikan aspek ideologi, politik, dan hubungan ekonomi suatu masyarakat. Asumsi epistemologis mereka adalah bahwa sastra menyimpan sejarahnya yang sebenarnya dan menjadi tugas studi sastra untuk mendefinisikannya secara jelas.

Minggu, 26 Juli 2009
Pendekatan Sosiologi Sastra Sebagai Alat Analisa Novel

1. Sosiologi Sastra
Sosiologi sebagai studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial. Oleh karenanya sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai masyarakat dimungkinkan, bagaimana carakerjanya dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup. Gambaran ini akan menjelaskan cara-cara manusia menyesuaiakan diri dengan ditentukan oleh masyarakat-masyarakat tertentu, gambaran mengenai mekanisme sosialisasi, proses belajar secara kultural, yang dengannya individu-individu dialokasikan pada dan menerima peranan-peranan tertentu dalam strutur sosial. Di samping itu sosiologi juga menyangkut mengani perubahan-perubahan sosial yang terjadi secara berangsur-angsur maupun secara revolusioner dengan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perubahan tersebut (Damono, 1978).

2. Sasaran Penelitian Sosiologi Sastra
a. Konteks Sosial Pengarang
Konteks sosial sastrawan ada hubungannya dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dalam bidang pokok ini termasuk juga faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi karya sastranya. Oleh karena itu, yang terutama diteliti adalah sebagai berikut.
1) Bagaimana sastrawan mendapatkan mata pencaharian; apakah ia menerima bantuan dari pengayom atau dari masyarakat secara langsung atau bekerja rangkap.
2) Profesionalisme dalam kepengarangan; sejauh mana sastrawan menganggap pekerjaannya sebagai suatu profesi.
3) Masyarakat yang dituju oleh sastrawan. Dalam hal ini, kaitannya antara sastrawan dan masyarakat sangat penting sebab seringkali didapati bahwa macam masyarakat yang dituju itu menentukan bentuk dan isi karya sastra mereka (Damono, 1979: 3-4).
b. Sastra Sebagai Cermin Masyarakat
Sastra sebagai cermin masyarakat yaitu sejauh mana sastra dianggap sebagai mencerminkan keadaan masyarakatnya. Kata “cermin” di sini dapat menimbulkan gambaran yang kabur, dan oleh karenanya sering disalahartikan dan disalahgunakan. Dalam hubungan ini, terutama harus mendapatkan perhatian adalah.
1) Sastra mungkin dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ia ditulis, sebab banyak ciri masyarakat yang ditampilkan dalam karya sastra itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia ditulis.
2) Sifat “lain dari yang lain” seorang sastrawan sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya.
3) Genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh masyarakat.
4) Sastra yang berusaha menampilkan keadaan masyarakat yang secermat-cermatnya mungkin saja tidak bisa dipercaya atau diterima sebagai cermin masyarakat. Demikian juga sebaliknya, karya sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan keadaan masyarakat secara teliti barangkali masih dapat dipercaya sebagai bahan untuk mengetahui keadaan masyarakat. Pandangan sosial sastrawan harus diperhatikan apabila sastra akan dinilai sebagai cermin masyarakat (Damono, 1979: 4).
c. Fungsi Sosial Sastra
Pendekatan sosiologi berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti “Sampai berapa jauh nilai sastra berkait dengan nilai sosial?”, dan “Sampai berapa jauh nilai sastra dipengaruhi nilai sosial?” ada tiga hal yang harus diperhatikan.
1) Sudut pandang yang menganggap bahwa sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi. Dalam pandangan ini, tercakup juga pandangan bahwa sastra harus berfungsi sebagai pembaharu dan perombak.
2) Sudut pandang lain yang menganggap bahwa sastra bertugas sebagai penghibur belaka. Dalam hal ini gagasan-gagasan seni untuk seni misalnya, tidak ada bedanya dengan usaha untuk melariskan dagangan agar menjadi best seller.
3) Sudut pandang kompromistis seperti tergambar sastra harus mengajarkan dengan cara menghibur (Damono, 1979: 4).
Apabila dikaitkan dengan sastra maka terdapat tiga pendekatan; Pertama, konteks sosial pengarang. Hal ini berhubungan dengan sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dalam pokok ini termasuk pula faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi pengarang sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya. Hal yang terutama di teliti dalam pendekatan ini adalah: (a) bagaimana pengarang mendapatkan mata pencaharian (b) sejauh mana pengarang menganggap pekerjaannya sebagai profesi dan (c) mayarakat yang dituju oleh pengarang. Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat. Hal yang terutama di teliti dalam pendekatan ini adalah (a) sejauh mana sifat pribadi pengarang mempengaruhi gambaran masyarakat yang ingin disampaikan (c) sejauh mana genre sastra yang digunakan pengarang dapat mewakili seluruh masyarakat. Ketiga, fungsi sosial sastra. Dalam hubungan ini ada tiga hal yang menjadi perhatian (a) sejauh mana sastra dapat berfungsi sebagai perombak masyarakatnya (b) sejauh mana pengarang hanya berfungsi sebagai penghibur saja dan (c) sejuah mana terjadi sintesis antara kemungkinan point a dan b diatas (Damono, 1978).
Secara epitesmologis dapat dikatakan tidak mungkin untuk mebangun suatu sosiologi sastra secara general yang meliputi pendekatan yang dikemukakan itu. Konsep mengenali masyarakat akan berbeda satu dengan yang lain. Dalam penelitian novel ”Sang Pemimpi” karya Andrea Hirata ini maka konsep sosiologi sastra akan menggunakan pendekatan sastra sebagai cermin masyarakat. Hal ini akan digunakan untuk menjelaskan sejauh mana pengarang dapat mewakili dan menggambarkan seluruh masyarakat dalam karyanya.

3. Sastra dan Masyarakat
Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat (Semi, 1990: 73). Sastra dapat dikatakan sebagai cerminan masyarakat, tetapi tidak berarti struktur masyarakat seluruhnya tergambarkan dalam sastra, yang didapat di dalamnya adalah gambaran masalah masyarakat secara umum ditinjau dari sudut lingkungan tertentu yang terbatas dan berperan sebagai mikrokosmos sosial, seperti lingkungan bangsawan, penguasa, gelandangan, rakyat jelata, dan sebagainya. Sastra sebagai gambaran masyarakat bukan berarti karya sastra tersebut menggambarkan keseluruhan warna dan rupa masyarakat yang ada pada masa tertentu dengan permasalahan tertentu pula.
Novel merupakan salah satu di antara bentuk sastra yang paling peka terhadap cerminan masyarakat. Menurut Johnson (Faruk, 2005: 45-46) novel mempresentasikan suatu gambaran yang jauh lebih realistik mengenai kehidupan sosial. Ruang lingkup novel sangat memungkinkan untuk melukiskan situasi lewat kejadian atau peristiwa yang dijalin oleh pengarang atau melalui tokoh-tokohnya. Kenyataan dunia seakan-akan terekam dalam novel, berarti ia seperti kenyataan hidup yang sebenarnya. Dunia novel adalah pengalaman pengarang yang sudah melewati perenungan kreasi dan imajinasi sehingga dunia novel itu tidak harus terikat oleh dunia sebenarnya.
Sketsa kehidupan yang tergambar dalam novel akan memberi pengalaman baru bagi pembacanya, karena apa yang ada dalam masyarakat tidak sama persis dengan apa yang ada dalam karya sastra. Hal ini dapat diartikan pula bahwa pengalaman yang diperoleh pembaca akan membawa dampak sosial bagi pembacanya melalui penafsiran-penafsirannya. Pembaca akan memperoleh hal-hal yang mungkin tidak diperolehnya dalam kehidupan. Menurut Hauser (Ratna, 2003: 63), karya seni sastra memberikan lebih banyak kemungkinan dipengaruhi oleh masyarakat, daripada mempengaruhinya.
Sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat, sebenarnya erat kaitannya dengan kedudukan pengarang sebagai anggota masyarakat. Sehingga secara langsung atau tidak langsung daya khayalnya dipengaruhi oleh pengalaman manusiawinya dalam lingkungan hidupnya. Pengarang hidup dan berelasi dengan orang lain di dalam komunitas masyarakatnya, maka tidaklah heran apabila terjadi interaksi dan interelasi antara pengarang dan masyarakat.
Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat dan dengan demikian harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat, sebagai berikut.
Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota masyarakat.
1. Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap espek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat.
2. Medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui kompetensi masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung masalah-masalah kemasyarakatan.
3. Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat-istiadat, dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetika, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat berkepentingan terhadap ketiga aspek tersebut.
4. Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menentukan citra dirinya dalam suatu karya (Ratna, 2006: 322-333).
Gambaran kehidupan yang terpancar dalam novel akan memberikan pengalaman baru bagi masyarakat atau pembaca, karena apa yang ada dalam masyarakat tidak sama persis dengan apa yang ada dalam karya sastra. Melalui penafsirannya, pembaca akan memperoleh hal-hal yang mungkin tidak diperolehnya dalam kehidupan.
Dengan demikian, dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra adalah salah satu pendekatan untuk mengurai karya sastra yang mengupas masalah hubungan antara pengarang dengan masyarakat, hasil berupa karya sastra dengan masyarakat, dan hubungan pengaruh karya sastra terhadap pembaca. Namun dalam kajian ini hanya dibatasi dalam kajian mengenai gambaran pengarang melalui karya sastra mengenai kondisi suatu masyarakat.

ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA
(*Oleh Mahmud Saefi)

Karya sastra dikatakan sebagai hasil lukisan percampuran pengalaman nyata dan imajinasi. Artinya, pengalaman seorang pengarang, apa yang dirasa, didengar, dan dilihat dituangkan kembali dalam bentuk cerita tertulis atau lisan dengan bahasa sebagai alatnya. Namun, pengalaman itu tidak ditampilkan sebagaimana adanya. Ia telah mengalami sebuah proses; penghayatan, penafsiran, dan penilaian. Melalui imajinasi, preses itu akan sampai pada usaha pemberian makna. Makna inilah yang direfleksikan oleh pengarang dalam bentuk karya sastra.
Prinsip dasar dari rumusan karya sastra, apa pun jenisnya tidak lain dari ungkapan pengalaman ditambah imajinasi. Biasanya ciptaan sastra adalah rekaman dari perjalalanan hidup pengarang yang menciptakannya, sebagai manusia yang tak lepas dari pengaruh zaman dan tempat ia hidup (Hutagalung, 1967:19).
Disadari atau tidak, akar tradisi budaya yang melingkupi diri seorang pengarang, acapkali tertuangkan atau mencuat dalam karya sastra yang dihasilkannya. Wawasan imajinasi dan pegalamannya tidak dapat lepas dari lingkungan sosial budaya. Dengan kata lain, karya sastra juga merupakan refleksi evaluatif perikehidupan seorang pengarang. Semakin intens ia menghayati kehidupan, semakin dalam pula hasil evaluasinya yang diungkapkan. Biasanya pengarang menampilkan sisi lain yang langsung menyentuh kemanusiaan.
Demikian juga berbagai soal dalam kehidupan manusia ini akan tetap menjadi sumber bagi seorang pengarang. Ia akan terus menggalinya sampai ke hakikat kehidupan serta berupaya menemukan makna yang terkandung di dalamnya.
Pada tingkat kesadaran yang tinggi, apa yang diajukan sastrawan adalah hasil dialog antara dirinya dengan lingkungan realitas, yang berbagai dimensi itu, sedangkan pada tingkat kesadaran yang rendah karya sastra itu adalah pantulan dari realitas itu (Abdullah, 1983: ix).

Oleh: mbahnur | 12 Februari 2010

METODE PENELITIAN SOSIOLINGUISTIK

PENELITIAN SOSIOLINGUISTIK

Oleh: Sailal Arimi, S.S., M.Hum

1. Pendahuluan
Istilah metode penelitian dan beberapa istilah yang berhampiran dengannya merupakan istilah-istilah kunci dalam literatur metodologi penelitian ilmu bahasa dan sosial. Dalam sebagian literatur ilmu bahasa, pengertian metode seringkali dibedakan dengan teknik (Sudaryanto, 1993: 9; Subroto, 1992: 32) . Metode dipahami sebagai cara penelitian yang lebih abstrak, sedangkan teknik dipandang sebagai cara penelitian yang lebih kongkret atau bersifat operasional. Di samping metode dan teknik, istilah metodologi dipakai sebagai acuan terhadap ilmu tentang metode. Berbeda halnya dalam literatur ilmu sosial (seperti sosiologi dan antropologi) (lih. Koentjaraningrat (ed.), 1994), pengertian metode dan teknik nyaris tidak dibedakan. Istilah metode dan teknik diacu untuk satu pengertian yang sama, yaitu cara melakukan penelitian. Bahkan, metodologi dengan metode juga hampir sulit dibedakan; di satu literatur dipakai metodologi penelitian, di literatur lain dipakai metode penelitian.
Dari sejumlah literatur tersebut, baik ilmu bahasa maupun ilmu sosial, ditarik satu pemahaman bahwa pengertian metode mengacu pada cara penelitian. Dalam kata lain, metode dapat pula dirumuskan sebagai langkah-langkah yang diambil peneliti untuk memecahkan masalah penelitian. Oleh karena itu, sesungguhnya, metode penelitian ini dimulai dari penyediaan data, analisis data, dan penyajian hasil analisis.
Dalam ilmu sosial, langkah-langkah penelitian yang penting berkisar pada metode penyediaan data. Sebaliknya, dalam ilmu bahasa terutama literatur linguistik struktural, yang lebih diutamakan adalah metode analisis bahasa. Hal ini agaknya dapat dikaitkan dengan asumsi bahwa data bahasa lebih mudah diperoleh karena bahasa tersedia pada penuturnya atau ada dalam teks. Walaupun demikian, pendapat semacam ini tidak selalu benar karena data bahasa berbeda-beda sifat pengadaan atau penyediaannya, seperti penyediaan data dalam ilmu sosial. Oleh karena itu, di samping pentingnya analisis data, ilmu bahasa juga memandang penting metode penyediaan data, bahkan penyajian hasil analisis. Metode penyajian hasil analisis juga dipandang penting karena ada soal yang agak berbeda terhadap penyajian data bahasa dengan bahasa (metabahasa). Dalam ilmu bahasa, metode penyajian hasil analisis dilakukan dengan visualisasi verbal (rumusan kata-kata biasa) dan visualisasi nonverbal seperti penyajian sistem tanda.
Berangkat dari pertimbangan istilah-istilah di atas, setiap peneliti perlu memperhatikan esensi objek kajian dalam sebuah penelitian. Objek kajian (object of study) adalah sesuatu atau apa yang ingin diteliti. Hymes (dalam Garvin, 1970 : 252) mengatakan jika sebuah bahasa dijadikan objek kajian, bahasa itu hanyalah gerbang masuk dan pendahuluan ke arah penelitian yang sebenarnya. Fokus kajian bahasa itu adalah isi bahasa. Apa yang menjadi isi bahasa dalam konteks masyarakat misalnya adalah basa-basi, makian, sapaan, latahan, sanjungan, dan sebagainya. Objek kajian dalam sosiolinguistik ini nyaris tidak terbatas karena begitu banyak jumlahnya. Seorang peneliti diharapkan jeli melihat objek kajian yang menarik untuk kepentingan manusia (humanities) pemakainya daripada hanya untuk ilmu itu sendiri.
Kadang-kadang objek kajian dipahami sama dengan topik atau tema dalam kajian sosiolinguistik, tetapi sering pula berbeda. Dalam perspektif sosiolinguistik, topik cenderung lebih luas dan berkorelasi dengan faktor-faktor sosial budaya, misalnya sapaan hormat (honorifik) dalam masyarakat Jawa. Pengertian masyarakat Jawa bisa dikaitkan dengan penutur yang berbeda status sosial, umur, atau jenis kelaminnya. Namun demikian, topik yang sudah cukup panjang ini bisa pula disebut objek kajian. Selain objek kajian dan tema (topik), judul sebuah penelitian juga menarik untuk dicermati.
Judul bisa diacu dari objek kajian, atau tema penelitian. Hanya saja ada preferensi sekelompok ilmuwan yang menganggap bahwa judul yang berasal dari topik atau objek kajian tidak merangsang selera untuk ingin tahu objek tersebut lebih jauh. Berdasarkan pengamatan yang berkembang belakangan ini, ada kecenderungan judul yang menarik adalah judul yang berasal dari hasil analisis, misalnya”Diskriminasi Sosial Masyarakat X dalam Sistem Sapaan” adalah judul yang berasal dari hasil analisis tema sapaan hormat (honorifik). Ada pendapat yang mengatakan sebuah judul yang menarik adalah judul yang merangsang orang untuk berpikir (thought provoking), atau tidak dapat diramalkan (unpredictable) sebelumnya.
Selain berkaitan dengan istilah pokok dalam sebuah penelitian, perihal paradigma dan asumsi sosiolinguistik perlu dicamkan dalam benak peneliti agar esensi kajian bahasa dan masyarakat sosial ini tidak melenceng jauh dari relnya atau sekurang-kurangnya tidak menjadi bias. Pertama, kaum sosiolinguis berpendapat bahwa paradigma masyarakat homogen tidak pernah ada karena setiap masyarakat bahkan setiap individu berbeda satu sama lainnya. Oleh karena itu, dalam kajian sosiolinguistik dianut satu paradigma yang menyatakan bahwa masyarakat selalu heterogen. Dengan heterogenitas inilah pilihan kode bahasa itu menjadi bermacam-macam. Ada bentuk yang ringkas, ada yang lengkap, ada yang formal, ada pula yang informal, ada bentuk yang santun ada pula yang kasar, atau gradasi lain di antaranya. Di samping itu, ada dua asumsi pokok yang perlu dipahami sebelum melakukan penelitian sosiolinguistik, yaitu asumsi bahwa (1) penjelasan tentang bahasa tidak memadai tanpa melibatkan unsur-unsur di luar bahasa, dan (2) bahasa selalu mempunyai variasi. Karena bahasa harus dihubungkan dengan nonbahasa, maka ancangan penelitian sosiolinguistik mestinya kontekstual. Demikian pula, karena konsep masyarakat dipahami heterogen maka bahasa pasti memiliki variasi. Secara deskriptif, varian bahasa yang satu diperlakukan sama dengan varian yang lain. Pemahaman ini perlu dipertegas karena berdasarkan paradigma masyarakat yang homogen, adanya variasi karena bersumber dari bentuk pemakaian bahasa yang seharusnya, bahkan ada pendapat yang menyatakan secara ekstrem bahwa variasi bahasa terjadi karena kesalahan pemakaian bahasa. Pendapat ini sama saja ingin mengatakan bahwa sebenarnya tidak ada variasi bahasa.

2. Beberapa Dimensi Penelitian Sosiolinguistik
Dimensi adalah kisi-kisi yang dapat membangun kerangka berpikir dalam sebuah penelitian. Ada beberapa dimensi yang penting untuk diketahui sebelum langkah-langkah penelitian dilakukan sehubungan dengan penggunaan metode yang seharusnya dipilih sesuai tujuan penelitian atau tujuan analisis. Sekurang-kurangnya ada 3 dimensi, yaitu dimensi pemerian (to describe the object), dimensi penjelasan (to explain the object), dan dimensi pengkondisian situasi (to situate the object within the contexts) .
Dimensi deskriptif cederung melihat bahasa secara sinkronis, yaitu bahasa ada pada waktu diamati. Pada prinsipnya hasil pengamatan bahasa dalam dimensi ini digambarkan secara objektif berdasarkan apa yang dilihat (what you see) bukan seperti apa yang diharapkan (not what you expect to). Hasil penelitian deskriptif sering pula disebut etnografi (komunikasi atau berbicara). Dalam kaitan ini, peneliti akan melihat sifat-sifat objek yang diamati, yaitu sifat umum bahasa (kesemestaan/universalitas), dan sifat khusus bahasa (kekhususan/ partikularitas). Dalam mengamati fenomena bahasa dalam masyarakat hampir dapat dipastikan, sang peneliti dapat menguraikan ihwal keumuman (kesemestaan) objek bahasa ini, misalnya sifat-sifat bahasa umumnya memiliki penanda solidaritas, penanda kesantunan, penanda kekuasaan, dan penanda fungsi. (Perihal kesemestaan sosiolinguistik lihat Janet Holmes, 1992). Sebaliknya, kekhususan pemakaian bahasa di masyarakat juga memiliki ciri-ciri yang khas, misalnya antara satu objek dengan objek lain, atau satu objek yang sama dalam masyarakat bahasa (speech community) yang berbeda.
Dimensi eksplanatif melihat bahasa tidak an sich pada apa yang dilihat, tetapi lebih dari itu. Dalam dimensi ini, peneliti berusaha menjelaskan mengapa objek yang diamati demikian faktanya. Peneliti harus menjelaskan sebab-akibat (lantaran-tujuan) mengapa objek itu tampak demikian. Untuk menjelaskan objek kajian ini, peneliti bisa menarik bahasa ke luar dari titik waktu yang ia lihat, artinya bisa secara diakronis dan bisa pula secara sinkronis. Asumsinya yang perlu diingat adalah bahwa penjelasan bahasa karena bahasa itu adalah proposisi yang tidak memadai, tetapi lebih dari itu, yaitu bahwa bahasa disebabkan atau menyebabkan unsur-unsur luar bahasa. Secara kongkret, penjelasan hubungan kausalitas ini dipandang lebih memuaskan dari sekadar dimensi deskriptif. Misalnya, untuk objek kajian apologi (permaafan), peneliti memberi penjelasan mengapa seseorang dituntut minta maaf atau memberi maaf. Penjelasan ini bisa menyangkut alasan kesalahan, ketersinggungan atau penyelaan, atau sekadar kesopanan..
Dimensi pengkondisian situasi (to situate the object within the contexts) tampak mirip dengan kedua dimensi di atas. Namun demikian, dimensi ini agaknya bisa diperinci ke dalam tiga aspek, yaitu aspek temporal, aspek lokatif dan aspek material. Dimensi pengkondisian situasi dengan aspek temporal menyangkut waktu kosmis dan waktu biologis. Pertama, ketika sebuah objek diamati, objek itu bisa dilihat dari realitas waktu kosmis yang bergulir dari waktu lampau, kekinian, dan masa datang. Untuk kasus permaafan, orang bisa meminta maaf karena peristiwa yang telah terjadi (mis. Maaf kemarin saya lupa…), atau karena peristiwa kekinian (maaf numpang tanya), dan karena peristiwa yang akan terjadi (misalnya maaf besok nggak bisa datang, dsb.). Dari aspek kosmis semacam ini, peneliti bisa mengkategorisasikan jenis apologi ke dalam 3 jenis, misalnya apologi normatif, apologi permisif, dan apologi antisipatif. Kedua, objek bisa pula diamati berdasarkan waktu biologis, yaitu berdasarkan perkembangan waktu yang dijalani manusia, dari balita, anak-anak, remaja, dewasa, orang tua dan lansia. Ketika orang mengamati pemakaian kelompok penutur balita, bahasa akan dijelaskan berdasarkan konteks waktu biologis ini, dst.
Dimensi pengkondisian situasi dengan aspek lokatif berkaitan dengan pemakaian ruang komunikasi (spasial). Ada pemakaian bahasa yang dipengaruhi oleh aspek lokatif ini, misalnya objek pemakaian bahasa pada kampanye dengan percakapan keluarga akan menempati ruang yang berbeda, yang satu pada ruang publik yang yang lain pada ruang domestik. Demikian pula, jika orang mengamati fenomena pemakaian bahasa pada demonstrasi dengan talk-show akan berbeda ruang komunikasinya, yang pertama biasanya pada ruang luar gedung (outdoor) dan yang terakhir biasanya pada ruang dalam gedung (indoor).
Dimensi pengkondisian situasi dengan aspek material menyangkut satuan pengisi ruang dan waktu di atas, yaitu bagaimana bahasa menjadi interaksional dalam wacana atau teks. Pengisinya adalah bahasa (dalam wujud teks) itu sendiri dan penuturnya (sebagai pengguna teks). Aspek pengisi ruang dan waktu komunikasi ini sangat signifikan menentukan pilihan kode tuturan, orang yang berbeda akan memilih kode yang berbeda atau sama, demikian pula bahasa yang berbeda akan berdampak sama atau berbeda pada makna, maksud, dan fungsinya. Karena begitu banyak aspek-aspek yang dapat membantu analisis pemilihan varian bahasa, Dell Hymes (1972) mengajukan instrumen analisis yang apik dan mudah diingat dalam bentuk singkatan SPEAKING (masing-masing setting-scene, participants, ends, act sequence, key, instruments, norms, dan genre).

3. Kartu Truf buat Peneliti
Sebuah penelitian yang berhasil dapat dikaitkan dengan kemampuan si peneliti merumuskan masalah, mengukur keterjangkauan (aksesibilitas penelitian), dan memprediksi keuntungan yang diperoleh pascapenelitian. Apabila peneliti telah berhasil memecahkan ketiga hal ini dapat dikatakan bahwa peneliti telah memegang kartu truf.
Pertama, soal perumusan masalah bukan tanpa masalah. Setelah objek kajian ditentukan, peneliti harus cermat melihat masalah apa yang perlu diangkat. Perumusan masalah ini penting karena tanpa masalah tidak akan ada pemecahan masalah. Artinya tidak ada masalah tidak ada penelitian. Kehandalan seorang peneliti merumuskan masalah dapat ditentukan dari pemahaman dasarnya terhadap konsep makro dalam sosiolinguistik, yaitu bermula dari pemahaman tentang masyarakat bahasa yang terpilih, pemerian etnografi komunikasi hingga etnografi berbicara, pengamatan terhadap situasi tutur, peristiwa tutur dan kemudian tindak tutur yang dipakai. Secara mikro, satuan bahasa berupa tindak tutur itu dilihat sebagai satuan lainnya, yaitu satuan bentuk, makna, informasi, maksud dan fungsi. Dasar-dasar unsur kebahasaan ini kemudian dicermati apakah ada masalah yang dikaitkan dengan objek kajian. Sebagai ilustrasi, seorang peneliti yang memilih objek penelitian ’makian’ dalam masyarakat Indonesia, misalnya, akan berpikir pada pilihan-pilihan bentuk makian yang dikaitkan dengan heterogenitas masyarakat penuturnya. Pilihan makian oleh laki-laki diasumsikan berbeda dengan pilihan makian oleh perempuan. Demikian pula, pilihan makian yang berdasarkan situasi atau peristiwa tutur tertentu akan berbeda dengan situasi atau peristiwa tutur lainnya. Kemudian, peneliti bisa pula berpendapat bahwa pilihan makian akan berhubungan dengan referen yang diacunya berdasarkan perspektif bentuk atau makna tuturan, bahkan informasi, maksud dan juga fungsi. Semua persoalan ini oleh peneliti dapat diangkat sebagai masalah penelitian yang perlu dicarikan pemecahannya. Perumusan masalah penelitian lazimnya diajukan dalam pertanyaan misalnya (a) apakah laki-laki dengan perempuan memakai bentuk makian yang sama atau berbeda dalam komunikasi?, (b) apakah tingkat kekasaran makian dapat ditentukan oleh faktor situasi dan peristiwa tutur?, dan seterusnya.
Kedua, setiap peneliti pasti memiliki keterbatasan. Keterbatasan ini berkaitan dengan waktu, dana, kemampuan aksesibilitas terhadap sumber data. Logikanya semakin panjang waktu yang dialokasikan tentunya akan semakin banyak masalah yang dapat dipecahkan. Sebaliknya, semakin pendek waktu semakin sedikit masalah yang akan terpecahkan. Demikian halnya dengan dana, semakin lama waktu dan semakin rumit masalah penelitian, tentunya semakin besar biaya yang diperlukan baik untuk hidup maupun untuk menyediakan berbagai bahan penelitian. Selain waktu dan dana, keterbatasan aksesibilitas seseorang juga tidak dapat dipungkiri karena semakin mudah akses seseorang mendapatkan data semakin cepat penelitian dapat diselesaikan. Logika ini secara sederhana dapat dicontohkan ketika seorang peneliti yang berbahasa Indonesia akan lebih mudah baginya meneliti bahasa itu daripada meneliti bahasa lain seperti bahasa Jepang, bahasa Inggris atau bahasa Yoruba di Afrika. Namun demikian, bagi penutur bahasa Jepang akan mudah meneliti bahasanya sendiri daripada bahasa Indonesia. Tidak hanya menyangkut bahasa saja, seorang peneliti yang hidup di lingkungan tertentu akan lebih mudah meneliti lingkungannya sendiri daripada lingkungan yang tidak pernah ia ketahui. Oleh karena itu, pandangan terhadap keterbatasan ini sangat relatif sifatnya. Si A bisa lebih cepat melakukan penelitian X, si B belum tentu dapat melakukannya, dan sebaliknya.
Terakhir, ada baiknya seorang peneliti mempertimbangkan apa keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh pascapenelitian. Pada dasarnya, kajian sosiolinguistik ingin memperoleh pemahaman terhadap objek bahasa yang dikaitkan dengan aspek nonbahasa, di samping mengkonfirmasi proposisi bahwa bahasa memiliki variasi-variasi. Namun demikian, sejumlah keuntungan lain dapat dikemukakan sesuai dengan objek kajian yang dipecahkan. Sekadar contoh, peneliti dapat menggambarkan realitas bahasa yang kompleks dalam masyarakat, dapat menunjukkan hubungan kausalitas antarvariabel, atau dapat mencarikan generalisasi atau kekhasan pemakaian bahasa dalam masyarakat. Secara praktis, agaknya penelitian sejenis dapat menemukan sumber terjadinya kedamaian atau konflik yang disebabkan oleh pemakaian bahasa, dapat menjelaskan tren-tren sosial seperti media, politik, militer, transportasi, hiburan dan sebagainya yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh bahasa tertentu. Bahkan, peneliti dapat menyumbangkan hasil penelitiannya terhadap upaya untuk mengembangkan atau mengujikan teori dan metode sosiolinguistik itu sendiri.

4. Metode Penyediaan Data Sosiolinguistik
Sebagaimana dikemukakan di awal, objek kajian bisa diteliti berdasarkan tiga langkah-langkah yang penting, yaitu langkah penyediaan data, langkah analisis data, dan langkah penyajian hasil analisis. Ada prinsip yang wajib diingat dalam konteks penelitian sosiolinguistik, yaitu bahwa aspek luar bahasa sangat signifikan menjelaskan atau dijelaskan oleh bahasa itu sendiri. Artinya, konsep dasar kajian sosiolinguistik adalah konsep korelasi. Yang dilakukan peneliti di bidang ini adalah mengkorelasikan bahasa dengan aspek sosial (baca sosial budaya masyarakat). Memang, ada persoalan penamaan dalam metode penelitian sosiolinguistik, walaupun para penelitinya merasa bahwa penamaan bukan masalah yang urgen untuk membuat keputusan meneruskan atau menghentikan penelitian sosiolinguistik itu karena tanpa penamaan terhadap jenis-jenis metode itu pun, mereka telah dapat mengamati dan menjelaskan isu-isu dalam kajian sosiolinguistik.
Pertama-tama, seorang peneliti dalam bidang sosiolinguistik harus dapat membedakan bahasa sebagaimana adanya (deskriptif) dan bahasa sebagaimana seharusnya (preskriptif atau sering pula disebut normatif). Dalam studi sosiolinguistik jelas bahwa bahasa harus diteliti sebagaimana adanya, oleh karena itu bahan atau data linguistik yang diperoleh harus bersifat alamiah (naturally occuring language), tidak boleh dibuat-buat (contrived). Pengertian data bahasa yang alamiah ini nyata adanya (real), sekalipun ia dapat dibangkitkan oleh si peneliti tetapi data itu harus dapat diujikan kepada penutur asli lainnya. Walaupun data dapat dibangkitkan peneliti, data bahasa yang diperoleh perlu diselaraskan dengan pemakaian bahasa oarng lain dalam masyarakat bahasa yang sama agar datanya sahih.
Kedua, seorang peneliti harus mampu menyediakan data sesuai dengan objek dan masalah penelitiannya. Kalau peneliti ingin mengamati pemakaian bentuk ringkas dari /begitu saja kok repot/ tentunya ia tidak akan menunggu kapan informan memakai tuturan tersebut, tetapi peneliti akan mengajukan pertanyaan langsung kepada informan. Di sisi lain, ketika peneliti ingin meneliti pemakaian campur kode misalnya, ia akan mengamati pemakaian bahasa seseorang atau lebih dalam sejumlah percakapan. Si peneliti dalam hal ini tidak dapat mengajukan pertanyaan kata apa yang Anda campurkan jika Anda mengucapkan tuturan seperti ini atau seperti itu. Ilustrasi semacam ini memberi gambaran ringkas bagaimana menyediakan data sesuai dengan objeknya.
Pada prinsipnya melihat sifat dapat seperti diilustrasikan di atas, ada dua macam metode penyediaan data yang paling dikenal. Kedua metode penyediaan data ini dikenal tidak hanya dalam literatur ilmu bahasa tetapi juga dalam ilmu sosial, yaitu metode observasi dan metode wawancara (lih. Chaika, 1982: 23-25; Kartomiharjo, 1988: 17-19); Spolsky, 2003: 9-12) . Metode observasi (dalam literatur metodologi penelitian linguistik di Indonesia) disebut metode simak, sedangkan metode wawancara disebut metode cakap (lih. Sudaryanto, 1993).
Metode observasi adalah metode penelitian yang dilakukan dengan cara mengamati objek kajian dalam konteksnya. Misalnya, seorang peneliti sedang meneliti pemakaian peribahasa, maka ia harus mengumpulkan peribahasa itu bersama dengan teks-teks lain yang menyertainya, para pemakai peribahasa itu, dan juga unsur-unsur nonverbal lain yang melatarinya, termasuk unsur prakondisi atau aspek sosial dan budaya. Kemungkinan cara pengamatan berdasarkan metode observasi ini bisa murni secara tekstual bisa pula secara kontekstual. Dikatakan murni secara tekstual artinya bahwa si peneliti hanya mengamati teks tanpa melihat kehadiran penuturnya. Misalnya, peneliti mengamati pemakaian peribahasa dalam lagu, cerpen, novel, komik, dan media lainnya. Namun karena teks tersebut menggunakan bahasa yang dipahami si peneliti maka maka peneliti seyogyanya mampu menghadirkan kembali konteks sosial budaya yang bersifat bawaan dari bahasa itu. Sebaliknya dikatakan secara kontekstual berarti bahwa peneliti mengamati teks lengkap dengan konteks ketika bahasa itu dipakai.
Pemakaian metode observasi dengan bahan teks sebagai acuan disebut penelitian kepustakaan (library research), sedangkan metode observasi dengan bahan teks dengan konteks yang lebih luas disebut penelitian lapangan (field research). Dari pemilihan bahan ini jelas disebutkan bahwa bahan menentukan jenis penelitian. Secara umum dipahami bahwa penelitian lapangan dipandang lebih meyakinkan daripada penelitian kepustakaan. Pandangan ini cukup beralasan karena penelitian kepustakaan yang bersumber dari teks hasil karya manusia atau hasil salinan diasumsikan tidak seobjektif penelitian lapangan yang bersumber langsung pada interaksi penutur bahasa pada konteks pemakaiannya. Karena sifat bahan penelitian ini pula dikenal bahwa penelitian kepustakaan sebagai penelitian sekunder, sedangkan penelitian lapangan sebagai penelitian primer.
Dalam praktik pelaksanaan observasi ini, peneliti bisa melakukan pengamatan dengan cara terlibat langsung, dan bisa pula dengan cara tidak terlibat langsung. Observasi terlibat langsung ini sering dinamai metode observasi partisipasi atau metode observasi berperan serta, sedangkan observasi tidak terlibat langsung dikenal pula sebagai metode observasi nonpartisipasi atau metode observasi tidak berperan serta. Nama-nama metode ini lazim dipakai dalam literatur metodologi penelitian sosiolinguistik (Chaika, 1982: 23) dan ilmu sosial lainnya ( Nasution, 2004: 106-113). Perlu diberi catatan bahwa Sudaryanto (1993: 133-134) menamakan metode observasi partisipasi sebagai teknik simak libat cakap, sedangkan metode observasi nonpartipasi sebagai teknik simak bebas libat cakap.
Ada perbedaan yang menyolok antara metode observasi partisipasi dengan nonpartisipasi. Dengan cara partisipasi, peneliti mengamati objek sekaligus terlibat dalam interaksi dengan penutur lain. Sebaliknya, dengan cara nonpartisipasi, peneliti memang mengamati objek tetapi tidak terlibat dalam interaksi dengan penutur lain. Dalam konteks terakhir ini, peneliti betul-betul hanya mengamati. Sebagai contoh, ketika seorang peneliti ingin menyelidiki bentuk teriakan suporter bola voli maka dia bisa melakukannya tanpa terlibat langsung sebagai pemain voli. Ia bisa saja berdiri atau duduk manis sebagai penonton dan mengamati teriakan-teriakan yang muncul dari para pendukung olahraga tersebut. Sebaliknya jika si peneliti ingin menyelidiki bentuk teriakan para pemain bola voli tersebut sebaiknya ia terlibat langsung menjadi pemain, artinya ia menggunakan metode observasi partisipasi karena dengan menjadi pemain kemungkinan ia menerima atau melontarkan teriakan. Keuntungan lainnya ia dapat merasakan emosi antarpemain tanpa teman-temannya mengetahui bahwa ia sedang meneliti. Agar semua situasi dan peristiwa tutur yang teramati ini bisa diingat maka peneliti perlu memikirkan bagaimana semua teks dan konteks itu bisa didokumentasikan. Ia bisa saja memilih teknik rekaman dengan memakai alat perekam atau memilih teknik catat dengan memakai catatan tentu saja teknik terakhir ini dikerjakan setelah pertandingan usai.
Selain metode observasi, metode kedua yang paling dikenal adalah metode wawancara (interview method). Penamaan metode wawancara ini jauh lebih umum daripada metode konsultatif seperti dijumpai dalam ensiklopedi bahasa dan linguistik karya Asher (1994: 3256), atau metode cakap seperti yang dikemukakan dalam buku metode penelitian linguistik karya Sudaryanto (1993). Penggunaan istilah wawancara dipandang lebih luas dan lentur daripada sekadar konsultasi atau cakap.
Pada prinsipnya, metode wawancara adalah metode penyediaan data dengan cara tanya jawab antara peneliti dengan informan secara langsung. Dikatakan secara langsung karena hanya tim peneliti saja yang dapat melakukan wawancara, baik ketua peneliti atau para asistennya. Hal ini perlu digarisbawahi karena apabila wawancara dilakukan orang lain maka informasi yang diperoleh kurang memadai bahkan akan banyak kehilangan konteks. Kemudian, informan di sini dipahami sebagai orang yang memberi informasi kepada peneliti. Informasi yang diberikan itu disebut data oleh peneliti.
Dari beberapa jenis metode wawancara yang terdapat dalam literatur ilmu sosial , satu jenis metode wawancara yang sering diacu dalam penelitian sosiolinguistik adalah metode wawancara yang direncanakan secara terstruktur atau tidak terstruktur. Berdasarkan cara ini pula, metode wawancara dibagi atas dua klasifikasi, yaitu metode wawancara terstruktur (structured interview) dan metode wawancara tidak terstruktur (unstructured interview). Metode wawancara jenis pertama menyangkut pada persiapan peneliti untuk menyusun daftar pertanyaan kepada informan. Biasanya peneliti membuat sejumlah pertanyaan berdasarkan rumusan masalah yang akan dipecahkan. Dengan data yang tersedia peneliti akan menganalisis pemecahan masalah tersebut. Metode wawancara jenis kedua, peneliti justru mempersiapkan pertanyaan pokok saja. Ketika wawancara berlangsung, informan akan memberi jawaban pertama dan dengan jawaban pertama itu peneliti akan memperjelas jawaban itu dengan mengajukan pertanyaan yang sifatnya lebih mendalam, begitu seterusnya secara beruntun. Apabila dipandang sudah jelas, peneliti akan beralih pada pertanyaan dengan pokok bahasan yang lain. Untuk mendapatkan data yang lengkap, peneliti bisa menggunakan teknik elisitasi (Spolsky, 2003: 9), yaitu satu strategi untuk memancing atau mengarahkan informan dalam memberi informasi yang sebenarnya. Sistem wawancara tidak terstruktur ini seringkali disamakan pengertiannya dengan metode wawancara mendalam (indept interwiewing method).
Kadang-kadang metode wawancara terstruktur disamakan dengan metode angket atau metode kuesioner karena menggunakan daftar pertanyaan. Sebenarnya keduanya sangat berbeda. Berdasarkan perkembangan kajian metodologi, antara metode wawancara dan metode angket ini sudah seharusnya dipisahkan dan dipandang sebagai metode sendiri-sendiri. Lazimnya metode angket ini dipergunakan untuk mendapatkan poling suara atau mendapatkan penjelasan dari responden. Secara sederhana dapat didefinisikan bahwa metode angket adalah metode penyediaan data dengan mengajukan sejumlah pertanyaan kepada responden dengan atau tanpa bertatap muka secara langsung. Peneliti bahkan bisa saja tidak mengenali para respondennya. Responden dibedakan dengan informan berkaitan dengan jenis metodenya. Pemberi informasi secara tertulis semacam ini disebut responden, tetapi pemberi informasi secara lisan dan bertatap muka secara langsung dengan penelitinya disebut informan.
Penelitian yang menggunakan angket pada hakikatnya adalah penelitian dengan jumlah sampel yang relatif besar. Berbeda dengan metode wawancara, metode angket lebih lama waktu pelaksanaannya. Kadang-kadang angket yang diberikan dengan cara dikirim via pos tidak sampai ke tangan peneliti. Oleh karena itu, ada spekulasi. Untuk mengatasinya peneliti harus mempersiapkan sejumlah besar orang yang akan diberikan angket berdasarkan metode pengambilan sampel. Cara gampang pemberian angket justru dilakukan secara langsung, setelah pertanyaan diisi dengan lengkap peneliti atau asisten peneliti mengumpulkannya untuk kemudian ditabulasi.
Teknik penyusunan angket bergantung pada jawaban apa yang ingin diperoleh. Jika peneliti menginginkan jawaban kuantitatif berupa penghitungan jumlah pendapat atau perilaku maka si peneliti membuat pertanyaan yang jawabannya bergradasi, misalnya pada pertanyaan ”apakah bentuk sapaan X menurut Anda sangat santun?, pilihan jawabannya bisa berupa (i) sangat setuju, (ii) setuju, (iii) ragu-ragu, (iv) tidak setuju, dan (v) sangat tidak setuju. Dengan pertanyaan yang sama, pilihan jawabannya bisa pula diberikan sebagai berikut: (i) ya, (ii) netral, (iii) tidak. Namun demikian, jika peneliti menginginkan jawaban kualitatif berupa penjelasan makan si peneliti perlu membuat pertanyaan yang sifatnya esei. Misalnya, mengapa Anda menggunakan sapaan X?, dengan pertanyaan ini responden akan menjawab alasan-alasannya.
Selain tiga jenis metode penyediaan data yang telah dibicarakan di atas, sebenarnya ada satu jenis metode lain yang khas dalam penelitian linguistik, yaitu metode intuisi. Dalam literatur lain metode ini disebut metode introspeksi (Sudaryanto, 1993; Mahsun, 2005: 101). Metode intuisi adalah metode penyediaan data dengan cara membangkitkan sendiri data kebahasaan yang dimiliki peneliti dengan mengandalkan intuisinya.
Menurut Asher (1992) penyediaan data dengan metode ini memang relatif cepat, namun hasilnya sangat mungkin bersifat idiosinkretik (gaya tutur individu yang mungkin saja merupakan kesalahan bagi orang lain), sebagaimana diungkapkan Schriffin (1987), ”People tend to be more creative than linguists can imagine.” Dalam hubungannya dengan penelitian sosiolinguistik, metode intuisi yang mengandalkan kemampuan parole pribadi penelitinya dipandang tidak valid kecuali bersama-sama dengan peneliti lain guna mendapatkan informasi kolektif dalam komunitas sosial tertentu. Untuk menyamakan persepsi terhadap masalah yang akan dipecahkan tim peneliti secara bersama-sama menyelenggarakan diskusi kelompok secara terfokus atau sering disebut teknik focus group discussion. Hasil sekelompok orang ini baru agaknya dapat dipandang sebagai bahan kajian sosiolinguistik, yaitu suatu kajian bahasa yang melibatkan sekelompok orang dalam satu masyarakat tutur (speech community).
Seperti dikemukakan di awal, metode penyediaan data ini pada prinsipnya dipilih berdasarkan sifat datanya. Metode observasi, metode wawancara, metode angket, dan metode intuisi adalah metode penyediaan data yang memiliki keunggulan dan kekurangannya masing-masing. Jika Anda ingin meneliti ’pemakaian bahasa pada waktu bercinta’ agaknya mengandalkan metode observasi akan mengalami kegagalan, mungkin metode wawancara atau metode angket bisa berhasil tetapi dapat diprediksi bahwa informan atau responden agaknya tidak akan membuka habis rahasia kehidupan pribadinya. Agaknya metode intuisi justru akan lebih berhasil karena itikad peneliti atau tim peneliti untuk mengungkap objek kajian ini cukup tinggi sehingga mereka mampu membuka tabir teks dan konteks objek kajian yang dimaksud.

5. Metode Analisis Data
Setelah data diperoleh, tugas peneliti selanjutnya adalah menganalisis data tersebut. Langkah analisis data ini adalah langkah terpenting untuk mendapatkan jawaban dari masalah yang ingin dipecahkan. Sebelum dijelaskan jenis-jenis metode analisis perlu dikemukakan pemahaman dasar dari studi sosiolinguistik mengenai teks sebagai objek kajian yang bersifat verbal, ko-teks sebagai lingkungan teks yang bersifat verbal, dan konteks sebagai unsur nonteks yang bersifat nonverbal, yaitu menyangkut konteks situasi dan konteks sosial dan budaya.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik satu simpulan bahwa studi sosiolinguistik melihat objek kajiannya tidak pernah terpisah dari teks lain dan konteks dalam pengertian lebih luas. Artinya objek kajian harus ada pada pemakaian termasuk variasinya (uses), pemakainya (users) yang berkaitan dengan informasi umur, jenis kelamin, latar belakang etnik, pendidikan, dan pekerjaan, serta pada ciri interaksi verbal tersebut seperti situasi tuturan, peristiwa, lokasi, topik, hubungan antarpenutur, bagaimana tuturan disampaikan, dsb. Bahasa tidak hanya dipandang sebagai tuturan verbal (ko-teks), tetapi juga dipandang sebagai unsur nonverbal. Ko-teks menempati posisi sebelum atau setelah teks verbal yang dikaji. Selain ko-teks, konteks amat penting dalam mengurai dan menjelaskan fenomena objek kajian. Konteks disepakati sebagai unsur nonbahasa.
Sebenarnya ada aspek lain selain ko-teks dan konteks yang terdapat pada data penelitian. Aspek lain itu adalah aspek suprasegmental seperti intonasi, tekanan atau titi nada. Aspek suprasegmental ini penting dalam korpus data bahasa lisan ketika seseorang mengamati penuturan satuan bahasa itu. Orang yang sedang marah berbeda pilihan kata dan cara penuturannya dari orang yang sedang dimabuk asmara, demikian pula orang yang sedang berpidato di depan publik berbeda penggunaan bahasanya dengan orang yang sedang melakukan dialog, dan seterusnya. Karena itu pula, terdapat pemetaan varian yang sangat signifikan karena faktor suprasegmental ini.
Dengan demikian, sesungguhnya seorang peneliti bahasa seyogyanyalah ia menempatkan posisi objek kajian yang diteliti itu dengan jelas atau kasat mata. Objek kajian hadir dalam tiga komponen pembentuk bahasa yaitu ko-teks (verbal), konteks (nonverbal), dan suprasegmental. Ketika seseorang ingin mengamati penggunaan bahasa yang hidup tentu berdasarkan tujuan peneltiannya maka ia melibatkan aspek suprasegmental bersama ko-teks dan konteks secara simultan. Sebaliknya ketika seseorang meneliti bahasa yang telah diubah ke dalam bentuk tulisan maka ia akan melihat bahasa itu sebagai fenomena yang berkorelasi secara ko-tekstual dan kontekstual.
Berangkat dari cara pandang data sosiolinguistik di atas, metode analisis dalam kajian sosiolinguistik ini dapat dibagi ke dalam dua jenis, pertama, metode yang berkaitan dengan pengkorelasian objek bahasa secara eksternal dengan unsur nonbahasa, dan kedua, metode yang berkaitan dengan pembedahan, pengolahan atau pengotak-atikan teks verbal secara internal. Cara kerja tiap-tiap metode ini sesungguhnya menggambarkan penamaan metode ini. Metode pertama dapat disebut metode korelasi atau metode pemadanan, sedangkan metode kedua disebut metode operasi atau metode distribusi. Ada sumber lain yang menyebutkan metode korelasi atau metode pemadanan ini sebagai metode kontekstual (Jendra, 1999), ada pula yang menyebutnya metode padan saja (Sudaryanto, 1993). Sementara itu, metode operasi atau metode distribusi kadang-kadang disebut juga metode agih (Sudaryanto, 1993; Djajasudarma, 1993).
Metode korelasi adalah metode analisis yang menjelaskan objek kajian dalam hubungannya dengan konteks situasi atau konteks sosial budaya. Secara umum dalam metode penelitian ilmu sosial, termasuk ilmu komunikasi (lih. Rakhmat, 1993: 31), metode korelasi dipakai untuk menganalisis hubungan dua variabel. Dalam kaitannya dengan penelitian sosiolinguistik, bahasa dipandang sebagai variabel dependen atau varibel terikat, sedangkan unsur luar bahasa dalam hal ini konteks situasi dan konteks sosial budaya dipandang sebagai variabel independen atau variabel bebas. Skema berikut dapat mengilustrasikan antarunsur yang dianalisis.

BAHASA ßà KONTEKS
(variabel dependen) (variabel independen)

Metode operasi atau metode distribusi adalah metode analisis yang menguraikan unsur-unsur substansial objek kajian dan mendistribusikannya dengan unsur-unsur verbal lainnya untuk mendapatkan pola, aturan atau kaidah yang berhubungan dengan konteks situasi dan sosial budayanya. Pada dasarnya, metode ini menganalisis antarunsur bahasa seperti digambarkan dalam skema di bawah ini.

BAHASA ßà BAHASA
(variabel dependen) (variabel dependen)

Baik metode korelasi maupun metode operasi sama-sama menjelaskan adanya variasi dalam kajian interdisiplin ini. Pemahaman ini dibuktikan oleh analisis substitusi unsur-unsur konteks atau bahasa secara umum. Sebagai contoh, pemakaian sapaan terhadap seseorang niscaya berbeda-beda berdasarkan substitusi konteks situasinya. Seseorang disapa dengan nama kecil, nama keluarga, atau dengan gelar, dengan pangkat atau jabatan sudah galibnya ditentukan oleh konteks situasi tempat peristiwa tutur itu berlangsung. Variasi sapaan ini muncul, padahal, untuk referen (orang) yang sama. Di samping itu, substitusi pemakai bahasa misalnya si A dengan si B akan berakibat perbedaan pilihan kode bahasanya walaupun untuk maksud yang sama. Demikian pula, contoh lain yang memunculkan variasi karena substitusi unsur bahasanya, seperti dalam kasus campur kode atau interferensi. Seorang peneliti dapat menarik variasi standar dari tuturan bercampur kode atau berinterferensi itu. Dengan cara mengganti satuan bahasa yang terdapat dalam tuturan itulah peneliti dapat menyimpulkan bahwa bentuk tuturan bercampur kode atau varian dari bentuk lainnya, dan seterusnya.
Secara lebih khusus, setiap unsur konteks situasi dan konteks sosial budaya akan sangat signifikan mempengaruhi atau dipengaruhi oleh setiap tataran bahasa. Semakin banyak jenis variabel yang terlibat dalam analisis seperti umur, jenis kelamin, latar belakang etnik, pendidikan, pekerjaan, status sosial, wilayah, adat-istiadat, hingga pemakaian bahasa berjenjang dari tataran fonologi, morfologi, sintaksis, dan wacana akan semakin kompleks analisis yang dihasilkan. Walaupun demikian, kerumitan analisis amat bergantung pada ruang lingkup penelitian dan masalah yang ingin dipecahkan. Kedalaman analisis kajian sosiolinguistik ditentukan oleh penggunaan metode operasi atau distribusi setelah pemakaian metode korelasi. Pemakaian metode korelasi saja sudah dapat dikatakan hasil analisisnya sebagai hasil analisis sosiolinguistik, namun penggunaan metode operasi atau distribusi saja belum tentu dapat dikatakan hasil analisis sosiolinguistik kecuali jika melibatkan isu-isu yang menyangkut masyarakat yang berbeda, misalnya isu kontak bahasa.
Berikut ini diuraikan beberapa contoh penelitian yang dapat dianalisis berdasarkan metode korelasi atau metode lainnya. Pilihan metode analisis ini bergantung pada alasan yang berkaitan dengan variasi bahasa sebagai tema sentral dalam penelitian sosiolinguistik. Karena variasi bahasa muncul berdasarkan fasilitas yang terdapat dalam tiap-tiap bahasa itu sendiri dan berdasarkan kebutuhan pemakainya, isu-isu sosiolinguistik dapat diklasifikasi ke dalam dua kelompok besar, yaitu (1) isu ragam intrabahasa (misalnya, standar-nonstandar, ringkas-lengkap, santun-solidaritas), dan (2) isu kontak antarbahasa (seperti, bilingualisme, alih kode, campur kode, interferensi).
Isu ragam intrabahasa menghasilkan analisis yang berkaitan variasi pemakaian bahasa seperti dikemukakan di atas. Gradasi standar-nonstandar (baku-tidak baku) misalnya dapat dianalisis berdasarkan hubungannya dengan ragam situasi (situation grading), ragam sosial (social-grading), bahkan ragam umur (age-grading) dan ragam jenis kelamin (sex-grading). Penghubungbandingan pemakaian bahasa dengan berbagai ragam ini jelas memakai kerangka kerja metode korelasi. Hasil penemuan Wolfram (1969, via Wardhaugh, 1986) di Detroit menyatakan bahwa semakin formal situasi tuturan, bahasa seseorang semakin mendekati penggunaan bahasa standar, dan semakin ke atas kelompok sosial penutur semakin standar pula bahasanya. Begitu pula halnya, bahasa anak-anak kurang formal daripada bahasa orang dewasa walaupun berasal dari latar belakang yang sama. Demikian juga, bahasa pria kurang standar daripada bahasa kaum wanita.
Sejumlah penelitian intrabahasa lain yang pantas dikemukakan di sini seperti penelitian Fisher (1958), dan Labov (1966) juga menggunakan metode korelasi dalam analisisnya (lih. Wardhaugh, 1986). Pertama, penelitian Fisher tentang variasi bunyi [ŋ] dan [n] pada contoh singing /si ŋi ŋ/ yang berlawanan dengan singin’ /si ŋin/ dikaitkan dengan sampel 12 orang anak laki-laki dan 12 anak perempuan yang berusia antara 3 s.d. 10 tahun di New England. Sampel yang ada diinterview menurut tiga situasi yang berbeda-beda, yaitu pada situasi yang sangat formal, kurang formal, dan tidak formal sama sekali. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa anak laki-laki menggunakan lebih banyak bentuk /in’/ daripada anak perempuan. Kedua, penelitian Labov (1966) untuk disertasinya menghubungkan variabel linguistik [r] dengan status sosial pemakainya. Labov menggunakan sejumlah sampel dari tiga supermarket yang masing-masingnya tergolong supermarket kelas atas, menengah, dan kelas bawah. Diperoleh hasil bahwa informan kelas menengah ke atas lebih banyak melafalkan bunyi [r] pada kata /floor/ dan /fourth/ daripada informan kelas bawah pada kata yang sama.
Isu kontak antarbahasa terutama tema bilingual dapat dianalisis dengan metode korelasi. Bilingualisme adalah kemampuan seseorang untuk berbahasa lebih dari satu bahasa. Biasanya konsep bilingualisme mengacu pada dua bahasa, sedangkan multilingualisme mengacu pada tiga bahasa atau lebih. Karena isu bilingualisme menyangkut kemampuan bahasa seseorang maka isu ini pontensial dianalis dengan metode korelasi. Beberapa contoh menarik adalah penelitian Sorensen (1971, via Wardhaugh, 1986) dan Aikhenvald (2003) tentang kemampuan bilingual di Amazon (Brazil). Sorensen (1971) meneliti kemampuan berbahasa masyarakat Tukano di Barat Laut Amazon, tepatnya di perbatasan Kolumbia dan Brazil. Masyarakat Tukano adalah masyarakat yang bahkan multilingual karena laki-aki di sana harus menikah dengan perempuan dari kelompok bahasa yang berbeda. Laki-laki yang menikahi perempuan dari bahasa yang sama dipandang sebagai perkawinan sesama saudara (incest). Oleh karena itu laki-laki memilih menikahi dengan perempuan dari suku tetangganya. Ketika menikah sang istri dibawa ke rumah suami dan akhirnya istri pun harus bisa berbahasa keluarga suami termasuk anak-anaknya. Penelitian Aikhenvald (2003) merupakan lanjutan dari penelitian Sorensen (1970) dengan topik yang tidak jauh berbeda. Aikhenvald (2003) meneliti kemungkinan korelasi pilihan bahasa dengan stereotipe etnik penggunanya. Objek bahasa yang dikaji adalah bahasa Tariana yang dipakai oleh 100 orang di wilayah multilingual Lembah Vaupes di Amazonia Barat Laut (Brazil). Di wilayah itu juga terdapat bahasa Tucano (lingua franca), bahasa Baniwa (Bahasa Arawak) dan bahasa Portugis (bahasa Nasional). Seperti halnya pada masyarakat Tukano di perbatasan Kolumbia dan Brazil, wilayah ini juga dikenal eksogami kelompok bahasa dan kemultilingualan masyarakatnya terlembagakan. Salah satu hasil penelitiannya menunjukkan bahwa korelasi pilihan bahasa disebabkan oleh hubungan kekuasaan dan status.
Berbeda dengan penelitian di atas, isu kontak antarbahasa yang diteliti Arimi (2005a) berdasarkan analisis korelasi peribahasa dari 4 bahasa Eropa (Belanda, Inggris, Perancis, dan Jerman) dan 3 bahasa Asia (Cina, Indonesia, dan Jepang) dengan aspek perilaku dan motivasi masyarakatnya. Awalnya data dianalisis berdasarkan makna peribahasa, lalu diklasifikasi, kemudian dikorelasikan berdasarkan motif-motif koeksistensi peribahasa itu. Koeksistensi muncul akibat tiga hipotesis, yaitu (1) pandangan yang sama terhadap dunia sekitar walaupun mereka berasal dari masyarakat berbeda bahasa dan wilayahnya, (2) pengalaman hidup yang dialami secara bersama dan berulang-ulang, (3) keinginan untuk menirukan kearifan peribahasa yang baik dari masyarakat bahasa yang berbeda. Tentu saja, hipotesis yang disajikan ini akan lebih menarik jika diujikan kepada sejumlah informan atau responden dari ke-7 negara tersebut.
Isu bilingualime sebenarnya tidak hanya dapat dianalisis dengan metode korelasi. Isu ini juga dapat dianalisis dengan metode operasi atau distribusi. Sebagaimana dikemukakan di bagian depan, kemungkinan pilihan metode analisis ditentukan oleh masalah yang akan dipecahkan. Jika masalahnya adalah untuk mengetahui derajat kebilingualan seseorang, maka metode operasilah yang tepat untuk digunakan. Sebagaimana diuraikan Mackey (1968, via Romaine, 1989) ada empat kegiatan berbahasa yang dapat mengukur derajat kebilingualan seseorang, yaitu mendengar, membaca, berbicara, dan menulis. Selain itu, tataran bahasa yang berkaitan dengan kegiatan berbahasa tadi menyangkut tataran fonologi, gramatika, leksikon, semantik, dan stilistika. Dengan penguraian aspek-aspek internal bahasa berikut pendistribusiannya dalam kegiatan berbahasa ini jelas bahwa metode yang tepat untuk kajian semacam ini adalah metode operasi atau metode distribusi.
Tidak ada ketentuan sebuah isu atau masalah penelitian hanya dapat dianalisis oleh satu jenis metode, bahkan kombinasi keduanya pun dapat dibenarkan sejauh kedua metode itu berasalan untuk digunakan. Kegiatan penelitian semacam ini pernah dilakukan Arimi (2005b) ketika ia meneliti kearifan peribahasa menurut sejumlah responden dari dua masyarakat berbeda, yaitu masyarakat Jepang (142 responden) dan Indonesia (197 responden). Untuk mencapai penelitian tersebut, Arimi (2005b) melakukan dua jenis penyelidikan Penyelidikan pertama berdasarkan penelitian lapangan dengan menggunakan metode kuesioner dan penyelidikan kedua berdasarkan penelitian eksperimen dengan metode yang sama. Penyelidikan pertama dilakukan dengan menanyakan definisi peribahasa dan koleksi peribahasa yang responden ingat. Penelitian lapangan semacam ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran pemahaman terhadap peribahasa secara empirik dan mengkaji popularitas peribahasa dalam ingatan masyarakatnya. Penyelidikan kedua dilanjutkan dalam bentuk eksperimen. Peneliti, yang juga menggunakan kuesioner, berikutnya mengamati sejauh mana responden mengetahui peribahasa-peribahasa yang telah dipilih secara random. Para responden diidentifikasi pemahamannya lewat kategori identifikasi seperti, sangat tidak familiar, tidak familiar, ragu-ragu, familiar, dan sangat familiar. Dengan penelitian eksperimen ini peneliti mendapatkan data orisinil untuk memeriksa frekuensi popularitas peribahasa pada masyarakat secara acak. Hasilnya diharapkan dapat mengkroscek penelitian lapangan sebelumnya.
Dalam kaitannya dengan penelitian Arimi (2005b) di atas, metode korelasi digunakan untuk melihat fakta pemakaian peribahasa dengan masyarakat penuturnya berikut alasan-alasan yang dipakai. Hasilnya menunjukkan sebuah fakta sosiolinguistik bahwa ada sejumlah peribahasa yang populer di Jepang dan ada sejumlah lainnya yang populer di Indonesia. Dari sejumlah peribahasa tersebut ditemukan bahwa peribahasa yang paling populer di Jepang adalah ”saru mo ki kara ochiru” (kera sekalipun akan jatuh dari pohon), dan peribahasa paling populer di Indonesia adalah ”Tong kosong nyaring bunyinya”.
Selain metode korelasi, metode operasi atau metode distribusi juga dipakai untuk memecahkan masalah mengapa peribahasa yang satu lebih populer daripada peribahasa lainnya. Dengan cara menghubungkan peribahasa populer dengan yang tidak populer tetapi kedua peribahasa atau lebih itu memiliki makna yang sama, peneliti menafsirkan berdasarkan fakta-fakta yang terdapat dalam bentuk atau makna peribahasa itu dengan cara mengurai, mengganti, menambah atau menghilangkan sebagian unsur yang dapat memberi penjelasan kaidah mengapa peribahasa A lebih populer dari peribahasa B. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa popularitas peribahasa sebenarnya ditentukan tingkat kompetisi peribahasa itu dengan peribahasa lainnya. Berdasarkan analisis maknanya, semakin dekat kearifan peribahasa kepada kebutuhan masyarakat pemakainya dipandang semakin kompetitif peribahasa itu. Hasil lain secara bentuk, diketahui bahwa tidak kompetitifnya peribahasa bisa dikaitkan dengan pilihan leksikon dan dialek yang kurang disukai.

6. Metode Penyajian Hasil Analisis
Hasil analisis dapat disajikan secara metabahasa atau menurut sistem tanda. Secara metabahasa artinya analisis bahasa dinyatakan dengan bahasa. Metode semacam ini bisa disebut metode metabahasa saja. Dalam literatur lain metode serupa disebut metode informal (Sudaryanto, 1993). Sementara itu, menurut sistem tanda, hasil analisis bahasa direproduksi dalam berbagai bentuk nonbahasa, seperti simbol, ikon, indeks, atau sistem tanda lain yang diwujudkan dalam bentuk tabel, grafik, bagan, skema, dan gambar. Karena sangat erat kaitannya dengan sistem tanda ini, agaknya metode ini dapat diperkenalkan sebagai metode semiotik. Dalam pengertian yang serupa, Sudaryanto (1993) menyebutnya sebagai metode formal.
Untuk penyajian hasil analisis dengan metode metabahasa, peneliti perlu mempertimbangkan beberapa faktor seperti tata urut penyajian, dan cara merumuskan kaidah. Tata urut penyajian yang dijadikan pedoman mengikuti hirarki sebagai berikut: (1) dari tataran yang rendah ke tataran yang tinggi, atau sebaliknya, (2) dari tataran yang sederhana ke tataran yang lebih rumit, (3) dari yang pasti ke yang mungkin, dan (4) dari yang dasar ke bentuk turunan. Sementara itu, cara merumuskan kaidah seringkali akan mengikuti logika-logika bahasa atau silogisme, misalnya (1) (a). proposisi adalah k; (b) proposisi selalu k; (c) Semua proposisi adalah k, (2) proposisi1’ adalah k1’, sedangkan proposisi2” adalah k2”, (3) jika proposisi1 adalah k1 , maka proposisi2 adalah k2, (4) gabungan-gabungan di antara ketiganya.
Untuk penyajian hasil analisis dengan metode semiotik, peneliti perlu memperhatikan logika dan seni visualisasi sistem tanda. Besar-kecil, tinggi-rendah, panjang-pendek, arsiran-tidak arsiran sebuah sistem tanda yang disajikan dalam tabel dan seterusnya tersebut dapat menaksir logika dan seni visualisasinya. Namun demikian, isi hasil analisis verbal dipandang lebih akuntabel daripada indahnya visualisasi sistem tanda.

7. Penutup
Hasil analisis dengan menggunakan berbagai metode di muka pada dasarnya akan mengujikan dua asumsi pokok dalam sosiolinguistik, yaitu pertama, penjelasan tentang bahasa tidak memadai tanpa melibatkan unsur-unsur di luar bahasa, kedua, pemakaian bahasa dalam masyarakat selalu bervariasi. Dalam pada itu, dalam melihat hubungan antara bahasa dan konteks sosial budaya, Wardhaugh (1986: 10-11) menyatakan kemungkinan hubungan itu ke dalam empat korelasi.
Pertama, struktur sosial dapat mempengaruhi dan menentukan struktur atau perilaku bahasa. Salah satu contoh hubungan ini berkaitan dengan fenomena ragam-umur (age-grading). Anak-anak berbeda bicaranya dengan remaja, demikian pula remaja berbeda bahasanya dengan orang dewasa. Cara berbicara, pilihan kata dan kaidah dalam percakapan sangat ditentukan oleh realitas sosial umur ini.
Kedua, hubungan yang sebaliknya dari yang pertama, yaitu struktur dan perilaku bahasa dapat mempengaruhi dan menentukan struktur sosial. Hubungan ini dapat dilihat dari Hipotesis Whorf, teori Ragam Bahasa Bernstein dan teori yang mengatakan bahasa adalah seksis. Hipotesis Whorf atau dikenal juga hipotesis Whorf-Sapir berargumentasi bahwa bahasa mempengaruhi jalan pikiran manusia, sedangkan ragam bahasa Bernstein berpandangan bahwa tuturan lengkap (elaborated code) dipakai di kalangan anak-anak kelas menengah, sedangkan tuturan ringkas (restricted code) dipakai di kalangan anak-anak kelas bawah (buruh). Sementara itu, teori yang mengatakan bahasa adalah seksis berpandangan bahwa cara bahasa digunakan (baik laki-laki maupun perempuan) bisa mengindikasikan stereotipe jender dan laki-laki dianggap jenis kelamin yang berperan penting (Lund, 2003: 35-36).
Ketiga, hubungan keduanya adalah timbal-balik. Bahasa dan masyarakat mempengaruhi satu sama lain. Saling pengaruh ini bersifat dialektal, sebagaimana dikutip Dittmar bahwa kaum Marxis berpendapat bahwa perilaku bahasa dan perilaku sosial merupakan interaksi yang konstan.
Terakhir, struktur bahasa dan struktur sosial tidak berhubungan sama sekali. Karena itu, masing-masingnya berdiri sendiri. Pandangan ini diperkenalkan oleh Chomsky yang dalam berbagai tulisannnya memberi satu pandangan bahwa bahasa adalah a-sosial.

DAFTAR RUJUKAN
Aikvenhald, Alexandra Y. 2003. “Multilingualism and Ethnic Stereotypes: The Tariana of Northwest Amazonia”. Dalam Language in Society. No. 32. USA: Cambridge University Press. Hal. 1-21.
Arimi, Sailal. 2005a. “Hypotheses of International Proverb Similarity (IPS Hypotheses)”. dalam Sumijati Atmosudiro dan Marsono (editor). Potret Transformasi Budaya di Era Global. Yogyakarta: Divisi Penerbitan Unit Pengkajian dan Pengembangan, Fakultas Ilmu Budaya, UGM.
Arimi, Sailal. 2005b. “Contested Wisdom in Indonesian and Japanese Proverbs, A Linguistic-Cultural Mapping.” Dalam Studies in Urban Cultures. Vol. 6. Osaka: UCRC, Osaka City University. Hal. 76-101.
Asher, R.E. 1994. The Encyclopedy of Language and Linguistics. Oxford: Pergam.
Chaika, Elaine. 1982. Language the Social Mirror. Massachussetts: Newbury House Publishers, Inc.
Djajasudarma, Fatimah. 1993. Metode Linguistik, Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung: PT Eresco.
Holmes, Janet. 1995. An Introduction to Sociolinguistics. (Cetakan ke-6). Harlow Essex: Longman Group Limited.
Hymes, Dell. 1970. “ Linguistic Method in Etnography: Its Development in the United States” dalam Paul L. Garvin. Method and Theory in Linguistics. The Hague, Paris: Mouton.
Kartomiharjo, Soeseno. 1988. Bahasa Cermin Kehidupan Masyarakat. Jakarta: Dpedikbud, Dirjen Dikti, Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidikan.
Koentjaraningrat (editor). 1994. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. (cetakan ke-13). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Lund, Nick. 2003. Language and Thought. London dan New York: Routledge.
Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Nababan, P.W.J. 1993. Sosiolinguistik, Suatu Pengantar. (Cetakan ke-4). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Nasution. 2004. Metode Research, Penelitian Ilmiah. (cetakan ke-7). Jakarta: PT Bumi Aksara.
Rakhmat, Jalaludin. 1993. Metode Penelitian Komunikasi. (edisi kedua cetakan ketiga). Bandung: PT Rosdakarya.
Romaine, Suzanne. 1989. Bilingualism. Oxford: Basil Blackwell Ltd.
Schriffin, Deborah. 1987. “Discovering the Context of An Utterance”. Dalam Linguistics. N. Dittmar (editor). Hal. 11-32.
Spolsky, Bernard. 2003. Sociolinguistics. (Cetakan ke-4). Oxford: Oxford University Press
Subroto, D.Edi. 1992. Pengantar Metode Penelitian Linguistik Struktural, Surakarta: Sebelas Maret University Press.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Wardhaugh, Ronald. 1986. An Introduction to Sociolinguistics. Oxford: Basil Blackwell.

Oleh: mbahnur | 11 Februari 2010

PERIODISASI SASTRA INDONESIA

Karya Sastra dan Periodisasinya

A. Karya Sastra Bentuk Prosa

Karangan prosa ialah karangan yang bersifat menerangjelaskan secara terurai mengenai suatu masalah atau hal atau peristiwa dan lain-lain. Pada dasarnya karya bentuk prosa ada dua macam, yakni karya sastra yang bersifat sastra dan karya sastra yang bersifat bukan sastra. Yang bersifat sastra merupakan karya sastra yang kreatif imajinatif, sedangkan karya sastra yang bukan astra ialah karya sastra yang nonimajinatif.

Macam Karya Sastra Bentuk Prosa

Dalam khasanah sastra Indonesia dikenal dua macam kelompok karya sastra menurut temanya, yakni karya sastra lama dan karya sastra baru. Hal itu juga berlaku bagi karya sastra bentuk prosa. Jadi, ada karya sastra prosa lama dan karya sastra prosa baru.

Perbedaan prosa lama dan prosa baru menurut Dr. J. S. Badudu adalah:

Prosa lama:

1. Cenderung bersifat stastis, sesuai dengan keadaan masyarakat lama yang mengalami perubahan secara lambat.

2. Istanasentris ( ceritanya sekitar kerajaan, istana, keluarga raja, bersifat feodal).

3. Hampir seluruhnya berbentuk hikayat, tambo atau dongeng. Pembaca dibawa ke dalam khayal dan fantasi.

4. Dipengaruhi oleh kesusastraan Hindu dan Arab.

5. Ceritanya sering bersifat anonim (tanpa nama)

6. Milik bersama

Prosa Baru:

1. Prosa baru bersifat dinamis (senantiasa berubah sesuai dengan perkembangaN masyarakat)

2. Masyarakatnya sentris ( cerita mengambil bahan dari kehidupan masyarakat sehari-hari)

3. Bentuknya roman, cerpen, novel, kisah, drama. Berjejak di dunia yang nyata, berdasarkan kebenaran dan kenyataan

4. Terutama dipengaruhi oleh kesusastraan Barat

5. Dipengaruhi siapa pengarangnya karena dinyatakan dengan jelas

6. Tertulis

1. Prosa lama

Prosa lama adalah karya sastra daerah yang belum mendapat pengaruh dari sastra atau kebudayaan barat. Dalam hubungannya dengan kesusastraan Indonesia maka objek pembicaraan sastra lama ialah sastra prosa daerah Melayu yang mendapat pengaruh barat. Hal ini disebabkan oleh hubungannya yang sangat erat dengan sastra Indonesia. Karya sastra prosa lama yang mula-mula timbul disampaikan secara lisan. Disebabkan karena belum dikenalnya bentuk tulisan. Dikenal bentuk tulisan setelah agama dan kebudayaan Islam masuk ke Indonesia, masyarakat Melayu mengenal tulisan. Sejak itulah sastra tulisan mulai dikenal dan sejak itu pulalah babak-babak sastra pertama dalam rentetan sejarah sastra Indonesia mulai ada.

Bentuk-bentuk sastra prosa lama adalah:

a. Mite adalah dongeng yang banyak mengandung unsur-unsur ajaib dan ditokohi oleh dewa, roh halus, atau peri. Contoh Nyi Roro Kidul

b. Legenda adalah dongeng yang dihubungkan dengan terjadinya suatu tempat. Contoh: Sangkuriang, SI Malin Kundang

c. Fabel adalah dongeng yang pelaku utamanya adalah binatang. Contoh: Kancil

d. Hikayat adalah suatu bentuk prosa lama yang ceritanya berisi kehidupan raja-raja dan sekitarnya serta kehidupan para dewa. Contoh: Hikayat Hang Tuah.

e. Dongeng adalah suatu cerita yang bersifat khayal. Contoh: Cerita Pak Belalang.

f. Cerita berbingkai adalah cerita yang di dalamnya terdapat cerita lagi yang dituturkan oleh pelaku-pelakunya. Contoh: Seribu Satu Malam
Prosa Baru

Prosa baru adalah karangan prosa yang timbul setelah mendapat pengaruh sastra atau budaya Barat. Prosa baru timbul sejak pengaruh Pers masuk ke Indonesia yakni sekitar permulaan abad ke-20. Contoh: Nyai Dasima karangan G. Fransis, Siti mariah karangan H. Moekti.

Berdasarkan isi atau sifatnya prosa baru dapat digolongkan menjadi:

1. Roman adalah cerita yang mengisahkan pelaku utama dari kecil sampai mati, mengungkap adat/aspek kehidupan suatu masyarakat secara mendetail/menyeluruh, alur bercabang-cabang, banyak digresi (pelanturan). Roman terbentuk dari pengembangan atas seluruh segi kehidupan pelaku dalam cerita tersebut. Contoh: karangan Sutan Takdir Alisjahbana: Kalah dan Manang, Grota Azzura, Layar Terkembang, dan Dian yang Tak Kunjung Padam

2. Riwayat adalah suatu karangan prosa yang berisi pengalaman-pengalaman hidup pengarang sendiri (otobiografi) atau bisa juga pengalaman hidup orang sejak kecil hingga dewasa atau bahkan sampai meninggal dunia. Contoh: Soeharto Anak Desa atau Prof. Dr. B.I Habibie atau Ki hajar Dewantara.

3. Otobiografi adalah karya yang berisi daftar riwayat diri sendiri.

4. Antologi adalah buku yang berisi kumpulan karya terplih beberapa orang. Contoh Laut Biru Langit Biru karya Ayip Rosyidi

5. Kisah adalah riwayat perjalanan seseorang yang berarti cerita rentetan kejadian kemudian mendapat perluasan makna sehingga dapat juga berarti cerita. Contoh: Melawat ke Jabar – Adinegoro, Catatan di Sumatera – M. Rajab.

6. Cerpen adalah suatu karangan prosa yang berisi sebuah peristiwa kehidupan manusia, pelaku, tokoh dalam cerita tersebut. Contoh: Tamasya dengan Perahu Bugis karangan Usman. Corat-coret di Bawah Tanah karangan Idrus.

7. Novel adalah suatu karangan prosa yang bersifat cerita yang menceritakan suatu kejadian yang luar biasa dan kehidupan orang-orang. Contoh: Roromendut karangan YB. Mangunwijaya.

8. Kritik adalah karya yang menguraikan pertimbangan baik-buruk suatu hasil karya dengan memberi alasan-alasan tentang isi dan bentuk dengan kriteria tertentu yangs ifatnya objektif dan menghakimi.

9. Resensi adalah pembicaraan/pertimbangan/ulasan suatu karya (buku, film, drama, dll.). Isinya bersifat memaparkan agar pembaca mengetahui karya tersebut dari ebrbagai aspek seperti tema, alur, perwatakan, dialog, dll, sering juga disertai dengan penilaian dan saran tentang perlu tidaknya karya tersebut dibaca atau dinikmati.

10. Esei adalah ulasan/kupasan suatu masalah secara sepintas lalu berdasarkan pandangan pribadi penulisnya. Isinya bisa berupa hikmah hidup, tanggapan, renungan, ataupun komentar tentang budaya, seni, fenomena sosial, politik, pementasan drama, film, dll. menurut selera pribadi penulis sehingga bersifat sangat subjektif atau sangat pribadi.

B. Puisi

Puisi adalah bentuk karangan yang terkikat oleh rima, ritma, ataupun jumlah baris serta ditandai oleh bahasa yang padat. Unsur-unsur intrinsik puisi adalah

a. tema adalah tentang apa puisi itu berbicara

b. amanat adalah apa yang dinasihatkan kepada pembaca

c. rima adalah persamaan-persamaan bunyi

d. ritma adalah perhentian-perhentian/tekanan-tekanan yang teratur

e. metrum/irama adalah turun naik lagu secara beraturan yang dibentuk oleh persamaan jumlah kata/suku tiap baris

f. majas/gaya bahasa adalah permainan bahasa untuk efek estetis maupun maksimalisasi ekspresi

g. kesan adalah perasaan yang diungkapkan lewat puisi (sedih, haru, mencekam, berapi-api, dll.)

h. diksi adalah pilihan kata/ungkapan

i. tipografi adalah perwajahan/bentuk puisi

Menurut zamannya, puisi dibedakan atas puisi lama dan puisi baru.

a. puisi lama

Ciri puisi lama:

1. merupakan puisi rakyat yang tak dikenal nama pengarangnya

2. disampaikan lewat mulut ke mulut, jadi merupakan sastra lisan

3. sangat terikat oleh aturan-aturan seperti jumlah baris tiap bait, jumlah suku kata maupun rima

Yang termausk puisi lama adalah

1. mantra adalah ucapan-ucapan yangd ianggap memiliki kekuatan gaib

2. pantun adalah puisi yang bercirikan bersajak a-b-a-b, tiap bait 4 baris, tiap baris terdiri dari 8-12 suku kata, 2 baris awal sebagai sampiran, 2 baris berikutnya sebagai isi. Pembagian pantun menurut isinya terdiri dari pantun anak, muda-mudi, agama/nasihat, teka-teki, jenaka

3. karmina adalah pantun kilat seperti pantun tetapi pendek

4. seloka adlah pantun berkait

5. gurindam adalah puisi yang berdirikan tiap bait 2 baris, bersajak a-a-a-a, berisi nasihat

6. syair adalah puisi yang bersumber dari Arab dengan ciri tiap bait 4 baris, bersajak a-a-a-a, berisi nasihat atau cerita

7. talibun adalah pantun genap yang tiap bait terdiri dari 6, 8, ataupun 10 baris

b. puisi baru

Puisi baru bentuknya lebih bebas daripada puisi lama baik dalam segi jumlah baris, suku kata, maupun rima.Menurut isinya, puisi dibedakan atas

1. balada adalah puisi berisi kisah/cerita

2. himne adAlah puisi pujaan untuk Tuhan, tanah air, atau pahlawan

3. ode adalah puisi sanjungan untuk orang yang ebrjasa

4. epigram adalah puisi yang berisi tuntunan/ajaran hidup

5. romance adalah puisi yang berisi luapan perasaan cinta kasih

6. elegi adalah puisi yang berisi ratap tangis/kesedihan

7. satire adalah puisi yang berisi sindiran/kritik

Membaca Puisi

Adapun faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam membaca puisi antara lain:

1. jenis acara: pertunjukkan, pembuka acara resmi, performance-art, dll.,

2. pencarian jenis puisi yang cocok dengan tema: perenungan, perjuangan, pemberontakan, perdamaian, ketuhanan, percintaan, kasih sayang, dendam, keadilan, kemanusiaan, dll.,

3. pemahaman puisi yang utuh,

4. pemilihan bentuk dan gaya baca puisi, meliputi poetry reading, deklamasi, dan teaterikal

5. tempat acara: indoor atau outdoor,

6. audien,

7. kualitas komunikasi,

8. totalitas performansi: penghayatan, ekspresi( gerak dan mimik)

9. kualitas vokal, meliputi volume suara, irama (tekanan dinamik, tekanan nada, tekanan tempo)

10. kesesuaian gerak,

11. jika menggunakan bentuk dan gaya teaterikal, maka harus memperhatikan:

a) pemilihan kostum yang tepat,

b) penggunaan properti yang efektif dan efisien,

c) setting yang sesuai dan mendukung tema puisi,

d) musik yang sebagai musik pengiring puisi atau sebagai musikalisasi puisi

C. Drama/Film

Drama atau film merupakan karya yang terdiri atas aspek sastra dan asepk pementasan. Aspek sastra drama berupa naskah drama, dan aspek sastra film berupa skenario. Unsur instrinsik keduanya terdiri dari tema, amanat/pesan, plot/alur, perwatakan/karakterisasi, konflik, dialog, tata artistik (make up, lighting, busana, properti, tata panggung, aktor, sutradara, busana, tata suara, penonton), casting (penentuan peran), dan akting (peragaan gerak para pemain).

D. Periodisasi Sastra Indonesia

Periodisasi sastra adalah pembabakan waktu terhadap perkembangan sastra yang ditandai dengan ciri-ciri tertentu. Maksudnya tiap babak waktu (periode) memiliki ciri tertentu yang berbeda dengan periode yang lain.

1. Zaman Sastra Melayu Lama

Zaman ini melahirkan karya sastra berupa mantra, syair, pantun, hikayat, dongeng, dan bentuk yang lain.

2. Zaman Peralihan

Zaman ini dikenal tokoh Abdullah bin Abdulkadir Munsyi. Karyanya dianggap bercorak baru karena tidak lagi berisi tentang istana danraja-raja, tetapi tentang kehidupan manusia dan masyarakat yang nyata, misalnya Hikayat Abdullah (otobiografi), Syair Perihal Singapura Dimakan Api, Kisah Pelayaran Abdullah ke Negeri Jedah. Pembaharuan yang ia lakukan tidak hanya dalam segi isi, tetapi juga bahasa. Ia tidak lagi menggunakan bahasa Melayu yang kearab-araban.

3. Zaman Sastra Indonesia

a. Angkatan Balai Pustaka (Angkatan 20-an)

Ciri umum angkatan ini adalah tema berkisari tentang konflik adat antara kaum tua dengan kaum muda, kasih tak sampai, dan kawin paksa, bahan ceritanya dari Minangkabau, bahasa yang dipakai adalah bahasa Melayu, bercorak aliran romantik sentimental.

Tokohnya adalah Marah Rusli (roman Siti Nurbaya), Merari Siregar (roman Azab dan Sengsara), Nur Sutan Iskandar (novel Apa dayaku Karena Aku Seorang Perempuan), Hamka (roman Di Bawah Lindungan Ka’bah), Tulis Sutan Sati (novel Sengsara Membawa Nikmat), Hamidah (novel Kehilangan Mestika), Abdul Muis (roman Salah Asuhan), M Kasim (kumpulan cerpen Teman Duduk)

b. Angkatan Pujangga Baru (Angkatan 30-an)

Cirinya adalah 1) bahasa yang dipakai adalah bahasa Indonesia modern, 2) temanya tidak hanya tentang adat atau kawin paksa, tetapi mencakup masalah yang kompleks, seperti emansipasi wanita, kehidupan kaum intelek, dan sebagainya, 3) bentuk puisinya adalah puisi bebas, mementingkan keindahan bahasa, dan mulai digemari bentuk baru yang disebut soneta, yaitu puisi dari Italia yang terdiri dari 14 baris, 4) pengaruh barat terasa sekali, terutama dari Angkatan ’80 Belanda, 5)aliran yang dianut adalah romantik idealisme, dan 6) setting yang menonjol adalah masyarakat penjajahan.

Tokohnya adalah STA Syhabana (novel Layar Terkembang, roman Dian Tak Kunjung Padam), Amir Hamzah (kumpulan puisi Nyanyi Sunyi, Buah Rindu, Setanggi Timur), Armin Pane (novel Belenggu), Sanusi Pane (drama Manusia Baru), M. Yamin (drama Ken Arok dan Ken Dedes), Rustam Efendi (drama Bebasari), Y.E. Tatengkeng (kumpulan puisi Rindu Dendam), Hamka (roman Tenggelamnya Kapa nVan Der Wijck).

c. Angkatan ’45

Ciri umumnya adalah bentuk prosa maupun puisinya lebih bebas, prosanya bercorak realisme, puisinya bercorak ekspresionisme, tema dan setting yang menonjol adalah revolusi, lebih mementingkan isi daripada keindahan bahasa, dan jarang menghasilkan roman seperti angkatan sebelumnya.

Tokohnya Chairil Anwar (kumpulan puisi Deru Capur Debu, kumpulan puisi bersama Rivai Apin dan Asrul Sani Tiga Menguak Takdir), Achdiat Kartamiharja (novel Atheis), Idrus (novel Surabaya, Aki), Mochtar Lubis (kumpulan drama Sedih dan Gembira), Pramduya Ananta Toer (novel Keluarga Gerilya), Utuy Tatang Sontani (novel sejarah Tambera)

d. Angkatan ’66

Ciri umumnya adalah tema yang menonjol adalah protes sosial dan politik, menggunakan kalimat-kalimat panjang mendekati bentuk prosa.

Tokohnya adalah W.S. Rendra (kumpulan puisi Blues untuk Bnie, kumpulan puisi Ballada Orang-Orang Tercinta), Taufiq Ismail (kumpulan puisi Tirani, kumpulan puisi Benteng), N.H. Dini (novel Pada Sebuah Kapal), A.A. Navis (novel Kemarau), Toha Mohtar (novel Pulang), Mangunwijaya (novel Burung-burung Manyar), Iwan Simatupang (novel Ziarah), Mochtar Lubis (novel Harimau-Harimau), Mariannge Katoppo (novel Raumannen).

E. Identifikasi Moral, Estetika, Sosial, Budaya Karya Sastra

1. Identifikasi Moral

Sebuah karya umumnya membawa pesan moral. Pesan moral dapat disampaikan oleh pengarang secara langsung maupun tidak langsung. Dalam karya satra, pesan moral dapat diketahui dari perilaku tokoh- tokohnya atau komentar langsung pengarangnya lewat karya itu.

2. Identifikasi Estetika atau Nilai Keindahan

Sebuah karya sastra mempunyai aspek-aspek keindahan yang melekat pada karya sastra itu. Sebuah puisi, misalnya: dapat diamati aspek persamaan bunyi, pilihan kata, dan lain-lain. Dalam cerpen dapat diamati pilihan gaya bahasanya.

3. Identifikasi Sosial Budaya

Suatu karya sastra akan mencerminkan aspek sosial budaya suatu daerah tertentu. Hal ini berkaitan dengan warna daerah. Sebuah novel misalnya, warna daerah memiliki corak tersendiri yang membedakannya dengan yang lain. Beberapa karya sastra yang mengungkapkan aspek sosial budaya:

a. Pembayaran karya Sunansari Ecip mengungkapkan kehidupan di Sulawesi Selatan.

b. Bako Karya Darman Moenir mengungkapkan kehidupan Suku Minangkabau di Sumatera Barat.

eriodisasi Sastra Indonesia – Presentation Transcript
Periodisasi Sastra Indonesia
Oleh:
Alexander Gotama
Deviana Maria
Fiona Angelina
Rafaello Simorangkir
Menurut HB. Jassin
Periodisasi Sastra
Pengertian:
penggolongan sastra berdasarkan pembabakan waktu dari awal kemunculan sampai dengan perkembangannya.
Periodisasi sastra, selain berdasarkan tahun kemunculan, juga berdasarkan ciri-ciri sastra yang dikaitkan dengan situasi sosial, serta pandangan dan pemikiran pengarang terhadap masalah yang dijadikan objek karya kreatifnya.
Periodisasi Sastra
Ada banyak periodisasi sastra yang disusun oleh para kritikus, antara lain oleh:
HB. Jassin
Ajip Rosidi
A. Teeuw
Rahmat Djoko Pradopo
Yang akan dibahas dalam presentasi ini adalah Periodisasi Sastra menurut HB. Jassin.
HB. Jassin , kritikus Indonesia
Periodisasi Sastra Indonesia Menurut HB. Jassin
Berikut ini adalah periodisasi sastra menurut HB. Jassin:
Sastra Melayu Lama
Sastra Indonesia Modern
Angkatan Balai Pustaka
Angkatan Pujangga Baru
Angkatan ’45
Angkatan ‘66
Sastra Melayu Lama
Sastra Melayu Lama merupakan sastra Indonesia sebelum abad 20.
Ciri-ciri Sastra Melayu Lama:
Masih menggunakan bahasa Melayu
Umumnya bersifat anonim
Berciri istanasentris
Menceritakan hal-hal berbau mistis seperti dewa-dewi, kejadian alam, peri, dsb.
Sastra Melayu Lama
Contoh sastra pada masa Sastra Melayu Lama:
Dongeng tentang arwah, hantu/setan, keajaiban alam, binatang jadi-jadian, dsb.
Berbagai macam hikayat seperti; Hikayat Mahabharata, Hikayat Ramayana, Hikayat Sang Boma.
Syair Perahu dan Syair Si Burung Pingai oleh Hamzah Fansuri.
Gurindam Dua Belas dan Syair Abdul Muluk oleh Raja Ali Haji
Angkatan Balai Pustaka
Balai Pustaka merupakan titik tolak kesustraan Indonesia.
Ciri-ciri Angkatan Balai Pustaka adalah:
Menggunakan bahasa Indonesia yang masih terpengaruh bahasa Melayu
Persoalan yang diangkat persoalan adat kedaerahan dan kawin paksa
Dipengaruhi kehidupan tradisi sastra daerah/lokal
Cerita yang diangkat seputar romantisme.
Angkatan Balai Pustaka terkenal dengan sensornya yang ketat. Balai Pustaka berhak mengubah naskah apabila dipandang perlu.
Contoh hasil sastra yang mengalami pen-sensoran adalah Salah Asuhan oleh Abdul Muis yang diubah bagian akhirnya dan Belenggu karya Armyn Pane yang ditolak oleh Balai Pustaka karena tidak boleh diubah.
Angkatan Balai Pustaka
Contoh sastra pada masa Angkatan Balai Pustaka:
Roman
Azab dan Sengsara (Merari Siregar)
Sitti Nurbaya (Marah Rusli)
Muda Teruna (M. Kasim)
Salah Pilih (Nur St. Iskandar)
Dua Sejoli (M. Jassin, dkk.)
Kumpulan Puisi
Percikan Permenungan (Rustam Effendi)
Puspa Aneka (Yogi)
Angkatan ‘45
Angkatan ’45 lahir dalam suasana lingkungan yang sangat prihatin dan serba keras, yaitu lingkungan fasisme Jepang dan dilanjutkan peperangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Ciri-ciri Angkatan ’45 adalah:
Terbuka
Pengaruh unsur sastra asing lebih luas
Corak isi lebih realis, naturalis
Individualisme sastrawan lebih menonjol, dinamis, dan kritis
Penghematan kata dalam karya
Ekspresif
Sinisme dan sarkasme
Karangan prosa berkurang, puisi berkembang
Chairil Anwar , sastrawan Angkatan ‘45
Angkatan ‘45
Contoh sastra pada masa Angkatan ’45:
Tiga Menguak Takdir (Chairil Anwar-Asrul Sani-Rivai Apin)
Deru Campur Debu (Chairil Anwar)
Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus (Chairil Anwar)
Pembebasan Pertama (Amal Hamzah)
Kata Hati dan Perbuatan (Trisno Sumarjo)
Tandus (S. Rukiah)
Puntung Berasap (Usmar Ismail)
Suara (Toto Sudarto Bakhtiar)
Surat Kertas Hijau (Sitor Situmorang)
Dalam Sajak (Sitor Situmorang)
Rekaman Tujuh Daerah (Mh. Rustandi Kartakusumah)
Angkatan ‘66
Angkatan ’66 ditandai dengan terbitnya majalah sastra Horison. Semangat avant-garde sangat menonjol pada angkatan ini.
Banyak karya sastra pada angkatan yang sangat beragam dalam aliran sastra, seperti munculnya karya sastra beraliran surrealistik, arus kesadaran, arketip, absurd, dan lainnya.
Ciri-ciri sastra pada masa Angkatan ’66 adalah:
Bercorak perjuangan anti tirani proses politik, anti kezaliman dan kebatilan
Bercorak membela keadilan
Mencintai nusa, bangsa, negara dan persatuan
Berontak
Pembelaan terhadap Pancasila
Protes sosial dan politik
Angkatan ‘66
Contoh sastra pada masa Angkatan ’66 adalah:
Putu Wijaya
Pabrik
Telegram
Stasiun
Iwan Simatupang
Ziarah
Kering
Merahnya Merah
Djamil Suherman
Sarip Tambak-Oso
Perjalanan ke Akhirat
ANGKATAN PUJANGGA BARU
Angkatan Pujangga Baru
Angkatan Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan.
Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis menjadi "bapak" sastra modern Indonesia.
Angkatan Pujangga Baru
Angkatan Pujangga Baru (1930-1942) dilatarbelakangi kejadian bersejarah “Sumpah Pemuda” pada 28 Oktober 1928.
Ikrar Sumpah Pemuda 1928:
Pertama Kami poetera dan poeteri indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kedoea Kami poetera dan poeteri indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga Kami poetera dan poeteri indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Melihat latar belakang sejarah pada masa Angkatan Pujangga Baru, tampak Angkatan Pujangga Baru ingin menyampaikan semangat persatuan dan kesatuan Indonesia, dalam satu bahasa yaitu bahasa Indonesia.
Angkatan Pujangga Baru
Pada masa ini, terbit pula majalah "Poedjangga Baroe" yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah dan Armijn Pane.
Pada masa Angkatan Pujangga Baru, ada dua kelompok sastrawan Pujangga baru yaitu:
Kelompok “Seni untuk Seni”
Kelompok “Seni untuk Pembangunan Masyarakat”
Angkatan Pujangga Baru
Ciri-ciri sastra pada masa Angkatan Pujangga Baru antara lain sbb:
Sudah menggunakan bahasa Indonesia
Menceritakan kehidupan masyarakat kota, persoalan intelektual, emansipasi (struktur cerita/konflik sudah berkembang)
Pengaruh barat mulai masuk dan berupaya melahirkan budaya nasional
Menonjolkan nasionalisme, romantisme, individualisme, intelektualisme, dan materialisme.
Angkatan Pujangga Baru
Salah satu karya sastra terkenal dari Angkatan Pujangga Baru adalah Layar Terkembang karangan Sutan Takdir Alisjahbana.
Layar Terkembang merupakan kisah roman antara 3 muda-mudi; Yusuf, Maria, dan Tuti.
Yusuf adalah seseorang mahasiswa kedokteran tingkat akhir yang menghargai wanita.
Maria adalah seorang mahasiswi periang, senang akan pakaian bagus, dan memandang kehidupan dengan penuh kebahagian.
Tuti adalah guru dan juga seorang gadis pemikir yang berbicara seperlunya saja, aktif dalam perkumpulan dan memperjuangkan kemajuan wanita.
Angkatan Pujangga Baru
Dalam kisah Layar Terkembang, Sutan Takdir Alisjahbana ingin menyampaikan beberapa hal yaitu:
Perempuan harus memiliki pengetahuan yang luas sehingga dapat memberikan pengaruh yang sangat besar didalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan demikian perempuan dapat lebih dihargai kedudukannya di masyarakat.
Masalah yang datang harus dihadapi bukan dihindarkan dengan mencari pelarian. Seperti perkawinan yang digunakan untuk pelarian mencari perlindungan, belas kasihan dan pelarian dari rasa kesepian atau demi status budaya sosial.
Angkatan Pujangga Baru
Selain Layar Terkembang, Sutan Takdir Alisjahbana juga membuat sebuah puisi yang berjudul “Menuju ke Laut”.
Puisi “Menuju ke Laut” karya Sutan Takdir Alisjahbana ini menggunakan laut untuk mengungkapkan h ubungan antara manusia, alam, dan Tuhan.
Ada pula seorang sastrawan Pujangga Baru lainnya, Sanusi Pane yang menggunakan laut sebagai sarana untuk mengungkapkan hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan.
Karya Sanusi Pane ini tertuang dalam bentuk puisi yang berjudul “ Dalam Gelombang”.
Sanusi Pane , pengarang puisi “ Dalam Gelombang”
Angkatan Pujangga Baru
Ditinjau dari segi struktural, ada persamaan struktur antara puisi Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane yaitu pengulangan bait pertama pada bait terakhir.
Sementara itu, ditinjau dari segi isi, tampak ada perbedaan penggambaran laut dalam puisi Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane.
Jika Sutan Takdir Alisjahbana menggambarkan laut sebagai sebuah medan perjuangan, Sanusi Pane menggambarkan laut sebagai suatu tempat yang penuh ketenangan.
Angkatan Pujangga Baru
Kami telah meninggalkan engkau,
Tasik yang tenang tiada beriak,
diteduhi gunung yang rimbun,
dari angin dan topan.
Sebab sekali kami terbangun,
dari mimpi yang nikmat.
Ombak riak berkejar-kejaran
di gelanggang biru di tepi langit.
Pasir rata berulang di kecup,
tebing curam ditentang diserang,
dalam bergurau bersama angin,
dalam berlomba bersama mega.

… Aku bernyanyi dengan suara Seperti bisikan angin di daun Suaraku hilang dalam udara Dalam laut yang beralun-alun Alun membawa bidukku perlahan Dalam kesunyian malam waktu Tidak berpawang tidak berkawan Entah kemana aku tak tahu Menuju ke Laut Oleh Sutan Takdir Alisjahbana Dibawa Gelombang Oleh Sanusi Pane
Angkatan Pujangga Baru
Amir Hamzah diberi gelar sebagai “Raja Penyair” karena mampu menjembatani tradisi puisi Melayu yang ketat dengan bahasa Indonesia yang sedang berkembang. Dengan susah payah dan tak selalu berhasil, dia cukup berhasil menarik keluar puisi Melayu dari puri-puri Istana Melayu menuju ruang baru yang lebih terbuka yaitu bahasa Indonesia, yang menjadi alasdasar dari Indonesia yang sedang dibayangkan bersama.
Selain Sutan Takdir Alisjahbana, ada pula tokoh lain yang terkenal dari Angkatan Pujangga Baru sebagai “Raja Penyair” yaitu Tengku Amir Hamzah .
Sastrawan dan Hasil Karya
Sastrawan pada Angkatan Pujangga Baru beserta hasil karyanya antara lain sbb:
Sultan Takdir Alisjahbana
Contoh: Di Kakimu, Bertemu
Sutomo Djauhar Arifin
Contoh: Andang Teruna (fragmen)
Rustam Effendi
Contoh: Bunda dan Anak, Lagu Waktu Kecil
Asmoro Hadi
Contoh: Rindu, Hidup Baru
Hamidah
Contoh: Berpisah, Kehilangan Mestika (fragmen)
Sastrawan dan Hasil Karya
Amir Hamzah
Contoh: Sunyi, Dalam Matamu
Hasjmy
Contoh: Ladang Petani, Sawah
Lalanang
Contoh: Bunga Jelita
O.R. Mandank
Contoh: Bagaimana Sebab Aku Terdiam
Mozasa
Contoh: Amanat, Kupu-kupu
Presentasi selesai sampai di sini–
Terima kasih atas waktu yang telah diluangkan untuk mendengarkan presentasi kelompok kami 

PERIODISASI SASTRA INDONESIA

MENURUT NUGROHO NOTOSUSANTO
Kesusastraan Melayu Lama
Kesusastraan Indonesia Modern
Masa Kebangkitan
Periode 1920
Periode 1933
Periode 1942
Masa Perkembangan
Periode 1945
Periode 1950
MENURUT AJIP ROSIDI
Masa Kelahiran
Periode awal abad ke-20 sampai dengan tahun 1933
Periode 1933 s.d. 1942
Periode 1942 s.d. 1945
Masa Perkembangan
Periode 1945 – 1953
Periode 1953 – 1960
Periode 1960 – sekarang
MENURUT HB. JASSIN
Kesusastraan Melayu Lama
Kesusastraan Indonesia Modern
Angkatan 20
Angkatan 33 atau Angkatan Pujangga Baru
Angkatan 45
Angkatan 66
MENURUT JS. BADUDU
Kesusastraan Lama
Kesusastraan Masa Purba
Kesusastraan Masa Hindu-Arab
Kesusastraan Peralihan
Abdullah bin Abdulkadir Munsyi
Angkatan Balai Pustaka
Kesusastraan Baru
Angkatan Pujangga Baru
Angkatan Modern (Angk. 45)
Angkatan Muda
MENURUT SABARUDDIN AHMAD
Kesusastraan Lama
Dinamisme
Hinduisme
Islamisme
Kesusastraan Baru
Masa Abdullah bin Abdul-kadir Munsyi
Masa Balai Pustaka
Masa Pujangga Baru
Masa Angkatan 45
MENURUT ZUBER USMAN
Kesusastraan Lama
Zaman Peralihan (Masa Abdul-lah bin Abdulkadir Munsyi)
Kesusastraan Baru
Zaman Balai Pustaka
Zaman Pujangga Baru
Zaman Jepang
Zaman Angkatan 45
MENURUT USMAN EFFENDI
Kesusastraan Lama ( … sampai dengan 1920)
Kesusastraan Baru (1920 sampai dengan 1945)
Kesusastraan Modern (1945 sampai dengan …)
MENURUT ZAIDAN HENDY
Sastra Lama
Sastra Kuno
Sastra Zaman Hindu
Sastra Zaman Islam
Sastra Peralihan (Abdullah bin Abdulkadir Munsyi)
Sastra Baru
Angkatan Balai Pustaka
Angkatan Pujangga Baru
Angkatan 45
Angkatan 66

Periodisasi Sastra Indonesia

Periodisasi Sastra Indonesia
Menurut Para Ahli

Ada berbagai macam periodisasi sastra Indonesia menurut para ahli. Secara umum, periodisasi sastra Indonesia dapat dipaparkan sebagai berikut. (1) Sastra lama (2) Sastra peralihan, dan (3) Sastra Indonesia Baru. Sastra Lama dibedakan menjadi tiga (a) sastra jaman purba, (b) sastra pengaruh Hindu, dan (c) sastra pengaruh Islam. Sementara sastra peralihan sering disebut dengan sastra jaman Abdullah. Sedangkan sastra Indonesia baru bias dibedakan menjadi (a) sastra balai pustaka (angkatan 20), (b) sastra Pujangga Baru (angk. 30), (c) Sastra Angk. 45, (d) Sastra Angk. 66, dan (e) Sastra kontemporer (angk. 70-an).

Menurut B. Simorangkir, periodisasi sastra Indonesia dibedakan menjadi 4 yaitu (1) Sastra lama.purba, (2) Sastra pengaruh Hindu dan Arab, (3) Sastra Indonesia baru, dan (4) Sastra mutakhir. Sastra Indonesia baru masih bias dirinci menjadi (a) Sastra jaman Abdullah, (b) Balai Pustaka, dan (c) Pujangga Baru

Menurut Sabarudin Ahmad, periodisasi sastra Indonesia hanya dibedakan menjadi 2. yaitu sastra lama dan (2) sastra baru. Sastra lama mencakup (a. dinamisme, (b) Hinduisme, (c) Islamisme. Sedangkan sastra Indonesia baru dibedakan menjadi (a) Sastra jaman Abdullah, (b) Balai Pustaka, (c) Pujangga Baru, dan (c) Sastra angkatan 45.

Menurut JS. Badudu, Sastra Indonesia juga dibedakan menjadi 2, yaitu (1) Sastra Melayu, dan (2) Sastra Indonesia. Sastra melayu menurut Badudu dibedakan menjadi 3 (a) Purba, (b) Hindu/Islam, (c) Abdullah. Sedangkan sastra Indonesia Baru dibedakan menjadi (a) Balai Pustaka, (b) Pujangga Baru, (c) Angk. 45, dan (d) sesudah Angk. 45.

Menurut Usman Effendi, sastra Indonesia dibedakan menjadi 3 yakni (1) sastra lama (…. – 1920), (2) Sastra Indonesia Baru ( 1920 – 1945), dan (3) Sastra Indonesia Modern (1945 – …..)

Menurut HB Jassin, periodisasi Sastra Indonesia juga dibedakan menjadi 2, yakni (1) Sastra Melayu atau sering disebut dengan sastra lama, dan (2) Sastra Indonesia modern. Jassin tidak merinci sastra melayu atau sastra lama. Jassin justru merinci sastra Indonesia modern menjadi 4 bagian (a) Balai pustaka, (b) Pujangga Baru, (c) Angkatan 45, dan (d) Angkatan 66.

Lain Lagi dengan Nugroho Noto Susanto. Nugroho membedakan sastra Indonesia menjadi 2, yakni (1) sastra Melayu atau sastra lama, dan (2) sastra Indonesia modern. Sastra Indonesia modern oleh Nugroho dibedakan menjadi 2 yaitu (a) masa kebangkitan, dan (b) masa perkembangan. Masa kebangkitan masih dirinci menjadi 3 (i) periode 20, (ii) periode 33, dan (iii) periode 42. Sedangkan masa perkembangan dibedakan menjadi 2, yaitu (i) periode 45 dan (ii) periode 50

Ajib Rosidi membedakan periodisasi sastra Indonesia juga menjadi 2, yaitu (1) Masa kelahiran dan (2) masa perkembangan. Masa kelahiran dirinci menjadi 3 yaitu (a) awal abad XX s/d 1933, (b) 1933-1942, dan (c) 1942 – 1945. Sedangkan masa perkembangan dibedakan juga menjadi 3, yaitu (a) 1945 – 1953, (b) 1953 – 1960, dan (c) 1960 – ….

Older Posts »

Kategori